"Kamu dengar yang dikatakan Ardiansyah? Kamu dengar, Irvan?" Stefi memandang Irvan. "Ya, sangat jelas. Manis sekali. Dia tidak menyalahkan kamu, Stefi. Dia tidak marah dan penuh emosi. Dia sangat tenang tapi tegas mengatakan semua." Irvan juga terkejut pernyataan Ardiansyah tidak memojokkan siapapun. Pria itu seperti bisa menerima pilihan Stefi dan Arnon. "Apa memang Tuan Ardiansyah sebaik itu?" Stefi masih memandang Irvan. "Aku tidak mengenal dia. Entahlah. Aku berharap dia mengatakan itu bukan sekadar di depan media. Tapi kurasa yang dia utarakan, itu baik buat kamu. Orang tidak menilai buruk padamu. Seperti rumor yang beredar," ucap Irvan. "Rumor apa?" Stefi mengerutkan kedua alisnya. "Calon istri Arnon punya pria lain, mungkin lebih sultan. Arnon kena batunya karena terlalu sering main perempuan, dia dikerjain perempuan ga beres." Irvan mengucapkan berita yang dia dengar. Memang tidak menyenangkan, tapi itu yang muncul. "Aiihhh, dasar." Stefi mengumpat. "Selalu seperti itu. A
Malam perlahan bergulir, menyongsong pagi yang akan segera hadir, membuka hari baru. Rembulan dan bintang-bintang pun bergeser, menuju sisi lain angkasa, memberi waktu sang fajar akan menampakkan cantiknya. Hari masih gelap, Fea sudah terbangun. Tapi dia tetap diam di atas kasur. Selimut tebal dia tutupkan ke seluruh tubuh hingga di atas kepalanya. Dia mendengar nafas Arnon yang teratur naik turun. Arnon masih lelap. Fea mengingat kembali malam dia melepaskan bagian yang paling berharga buat dirinya. Arnon, dia lembut sekali. Meskipun ini kali pertama buat Fea, dia merasa sangat nyaman. Semua takut yang awalnya menghampiri, dengan cepat lenyap, berganti rasa ingin terus menikmati cinta Arnon. Fea yang sudah di dalam selimut, menutup wajahnya, masih merasa malu jika mengingatnya. Dan hatinya bergemuruh. Seindah itu melepas cinta buat orang terkasih, yang dia doakan selama ini dan dia jaga hatinya agar tetap buat Arnon. Tiba-tiba di dekatnya, Fea merasa hembusan nafas. Seketika dia m
Menghabiskan waktu berdua, rasanya semua begitu menyenangkan dan indah. Arnon bahkan berpikir dia akan menambah beberapa hari menikmati bulan madu bersama Fea. Fea tampak sangat senang menjejalah kota cantik dan romantis. Ke mana pun Arnon mengajaknya, Fea terus berdecak kagum dengan semua yang dia lihat di depan matanya. Memang menakjubkan bangunan bersejarah yang sudah berabad-abad masih berdiri kokoh dan terpelihara dengan baik. Fea sebelumnya hanya bisa memandang dari layar, berbagai tempat cantik di negeri yang dia kunjungi bersama Arnon. Akhirnya dia bisa menjejakkan kaki dan berpetualang bersama pria yang dia cintai. Sama seperti Arnon, jika boleh, Fea tak mau semua ini berakhir. "Mau lebih lama di sini?" tanya Arnon pada Fea. Mereka tengah berjalan menuju sebuah restoran untuk makan malam. Fea menoleh pada Arnon. Sebenarnya iya, tapi ada hal lain yang perlu dipertimbangkan. Fea cuti hanya dua minggu. Arnon juga, restoran tidak mungkin ditinggal terlalu lama. Biaya di luar ne
Fea dengan cepat mengeringkan air mata yang ingin berkejaran membasahi pipinya. Arnon menarik dagu istrinya dan memandang wajah Fea yang sedih. "Fea ..." ucapnya. "Kenapa kamu ga percaya aku, Ar? Aku ga mungkin berbuat hal bodoh. Aku cinta kamu, bahkan sejak remaja. Dan ga bisa hatiku pindah ke tempat lain. Kenapa kamu menilai aku begitu buruk?" kata Fea dengan hati pedih. Sakit dan marah, itu yang Fea rasakan. "Sayang ..." Arnon memeluk Fea dan mengecup puncak kepalanya berulang kali. Fea tidak bereaksi. Masih ada rasa berat mengganjal di hati Fea. "Maafkan aku. Kukira kamu benar, aku cemburu. Aku tidak suka melihat kamu dekat pria lain. Maafkan aku," ujar Arnon. Dia memang paling tidak bisa melihat Fea menangis. Fea melebarkan tangannya membalas pelukan Arnon. Hatinya sedikit membaik karena Arnon minta maaf dengan suara lembut. Fea bisa merasa itu dari hati Arnon, bukan hanya ingin meredakan ketegangan di antara mereka. "Masuk, ya? Hampir tengah malam. Di sini sangat dingin,"
Tatapan Kartika penuh harap Irvan memahami apa yang dia inginkan. Irvan sudah mapan. Dia punya pekerjaan yang baik, punya rumah yang nyaman. Hanya tinggal pendamping saja yang dia belum temukan. Sekarang, di rumahnya, ada seorang gadis cantik dan baik, apalagi yang dia tunggu? "Ibu ... aku belum menemukan yang tepat. Gadis yang kucintai ternyata mencintai orang lain. Ibu sabar saja." Irvan menenangkan Kartika. "Kamu tidak ada hati dengan Stefi? Dia baik dan manis. Lihat, baru berapa hari di sini, aku sudah bisa dekat dengannya. Buka pintu hatimu lebar-lebar, Irvan. Coba dekati dia." Kartika terus terang mengatakan yang dia pikirkan. Irvan mengembuskan nafas berat. Ibunya yang jatuh cinta pada Stefi. Tapi seandainya Stefi pun mau bersamanya, apakah itu bukan hal yang tidak mungkin? Tapi Irvan tetap merasa pernikahan harus didasari cinta agar kuat menghadapi semua badai yang nanti datang dalam sebuah rumah tangga. "Aku ga bisa janji, Bu. Doakan saja, pintu itu terbuka buat aku dan St
Irvan lega, Stefi memilih tinggal. Dia mau menemani Kartika beberapa hari lagi. Sekaligus memastikan situasi di luar lebih kondusif. Jadi waktu Stefi keluar rumah media tidak peduli dengannya. "Aku mau istirahat dulu. Mulai ngantuk juga. Selamat malam, Ir." Stefi berjalan ke arah kamar. Dia dan Irvan baru mengantar Deasy yang meninggalkan rumah itu dari teras. "Oke. Sampai besok, Stef." Irvan ikut melangkah, dia juga akan ke kamarnya sendiri. Stefi masuk ke dalam kamar. Dia menyalakan lampu, berjalan ke arah lemari pakaian hendak mengambil baju tidur. Tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang jatuh ke tubuhnya. Kontan Stefi menjerit. "Ahh!!" Irvan yang belum sampai masuk kamarnya terkejut dengan teriakan itu. Secepatnya dia berlari menuju kamar Stefi. Stefi sedang berlari keluar kamar. Tanpa sengaja mereka bertabrakan. "Stefi! Kenapa?" tanya Irvan. Seketika Stefi memeluk Irvan erat sambil menangis. Tangannya gemetar karena ketakutan. "Stefi?!" Irvan memanggil lagi. "Ada ci
Dengan cepat Fea duduk dan mengambil piring. Dia sudah tidak sabar makan apa yang dihidangkan Melia di atas meja. Soto daging lengkap dengan sambal dan krupuk. Fea terheran-heran, apa yang dia bayangkan ternyata sudah ada di depan matanya. "Mbak, sampai ga ingat suami." Arnon bicara pada Melia, tapi matanya melirik Fea. Fea mengangkat mukanya, batal mengambil nasi. "Suami ga butuh makan, kok. Lanjut aja. Aku butuh dielus." Arnon menarik kursi dan duduk di sisi Fea. "Ihh, ngambek." Fea mencibir. Melia terkikik melihat Fea dan Arnon saling mengganggu. Fea melanjutkan mengambil makanan, lalu dia sodorkan ke depan Arnon. "Ini, Tuan Muda. Silakan dimakan. Harus habis, biar sehat, ga gampang sakit." Fea sengaja mengatakan itu, seakan Arnon yang di depannya ini adalah Arnon yang masih bocah. Kalimat itu yang sering Nenek Ellina dan Fea katakan pada Arnon dulu. "Terima kasih, Sayang." Arnon tersenyum lebar. "Tuan Muda, Fea ... aku sudah dijemput. Bisakah aku pamit pulang?" Melia menyel
Wajah Arnon masih tegang memikirkan situasi yang terjadi dengan bisnisnya. Seminggu terakhir omset menurun lebih sepuluh persen. Jika tidak segera tertangani, bisa lebih buruk. Pertanyaan Riko membuat Arnon berpikir. Dia menikah, tiba-tiba situasi bisnisnya memburuk. Stafnya sudah mengkonfirmasi dengan resto yang lain, mereka tidak merasa ada masalah dengan barang yang mereka perlukan di pasar. Hampir seratus persen bisa diyakini, jika memang ada yang sengaja bermain dengan Arnon. "Kalau aku katakan ini ulah keluarga Hendrawan, kamu percaya?" Arnon memandang Riko. "Maksud kamu orang tua kamu? Mereka meninginkan kamu bangkrut?" Riko mengerutkan kening heran dengan kata-kata Arnon. "Kakak-kakak tiriku, mereka tidak pernah suka dengan aku dan mamaku. Beberapa waktu lalu Ardan dan Ardina menemuiku. Mereka semacam memberikan ancaman padaku, jika aku bertingkah yang merugikan keluarga besar, mereka tidak akan tinggal diam." Arnon menduga saudara-saudaranya mulai bergerak mengganggu hidup