Dengan senyum yang lepas Arnon menggandeng Fea masuk ke dalam rumah besar itu. Dia ingin mamanya tahu, Fea adalah kebahagiaannya. Keputusannya menikah dengan Fea adalah yang terbaik dalam hidupnya. Fea, di dalam hatinya ada degupan lumayan besar, mengganggu dirinya. Tetapi dia berusaha bersikap tenang, bahkan tidak memberitahu Arnon dia merasa canggung dan tidak nyaman bertemu dengan Arnella siang itu. Fea masih ingat dengan sangat jelas, hari terakhir dia di rumah ini. Arnella menolak dia mentah-mentah, dengan mengatakan kalau Arnon ingin menikahi Fea untuk memenuhi persayaratan mendapatkan salah satu perusahaan Hendrawan. Dengan marah dan kecewa, Fea hari itu meninggalkan rumah besar ini. Fea tidak pernah lagi berpikir akan kembali. Dia mengira hari itu selesai sudah hubungannya dengan Arnon, selesai sudah urusannya dengan keluarga Hendrawan. Namun kali ini, Fea datang, sudah dengan status baru. Istri Arnon, menantu keluarga Hendrawan. "Selamat siang. Selamat pulang kembali." Arn
Irvan memandang Stefi. Gadis itu rapi, bersiap pergi keluar rumah setelah hampir dua minggu di rumah Irvan. Dia akan menemui Arnella hari ini, sesuai dengan kesepakatannya dengan wanita itu. "Kamu yakin tidak akan apa-apa?" Irvan justru yang merasa kuatir. Dia sedikit lebih dekat dengan Stefi. Hatinya mulai sedikit terpaut dengan wanita muda yang cerdas dan penuh semangat itu. "Tenang saja, Ir. Aku pasti bisa menghadapinya." Stefi tersenyum. Dia meraih tasnya yang ada di atas meja, lalu melangkah menuju teras rumah. Taksi online yang Stefi pesan hampir sampai. "Kamu tidak mau aku antar?" Irvan bertanya lagi. "Kamu secemas itu?" Stefi tersenyum tipis. "Berhati-hati itu perlu," sahut Irvan. "Apa yang Nyonya Arnella katakan kalau dia melihat kamu yang mengantar aku?" Stefi memicingkan matanya. Masih segar dalam ingatan Stefi, bagaimana Nyonya Arnella bersih tegang dengan Irvan karena Fea. "Tapi kamu janji, kalau ada apa-apa, kamu bilang. Apapun yang dia katakan, jangan menyimpannya
Irvan mendengarkan dengan serius kabar yang dia dengar tentang ibunya di telpon. Wajah Irvan semakin tegang. Stefi menatapnya dengan rasa penasaran, apa yang terjadi. Irvan menutup telpon dan seketika berdiri. "Kita pulang." "Irvan, ada apa?" Stefi bertanya dengan rasa mulai cemas. Dia yakin ada yang buruk terjadi. "Ibu jatuh. Dia demam tinggi." Irvan menjawab sambil berjalan cepat keluar resto. "Ya Tuhan. Ir, aku telpon mama, biar lihat ibu di rumah." Sigap, Stefi menghubungi Deasy. Sementara dia menyusul Irvan yang berjalan semakin cepat ke tempat parkir. Perjalanan menuju rumah seakan lambat. Apalagi jalanan cukup ramai. Irvan tidak sabar. Dia sangat kuatir ibunya akan mengalami hal yang berat. Kehilangan ayah karena kecelakaan, lalu ibunya lumpuh adalah hal yang menyakitkan buat Irvan. Dia tidak mau ibunya akan pergi sebelum dia bisa memenuhi keinginannya yang terakhir, punya pendamping dan anak-anak, hidup bahagia dengan keluarga yang dia miliki. Irvan terlihat gusar dan cem
Bukan hal baru, kalau Fea dianggap rendah oleh orang lain. Bukan hal yang aneh, kalau temannya melihat Fea hanya sebelah mata. Namun, perkataan Isti kali ini entah kenapa membuat Fea sangat kesal. "Rania, kurasa aku akan berhenti bekerja." Fea menoleh pada Rania. "Apa?" Dengan cepat Rania memutar kursi kerjanya menghadap Fea. "Sebenarnya Arnon meminta aku berhenti bekerja. Dia ingin aku mengurus rumah saja. Aku masih bernegoisasi sama dia. Minta waktu sampai aku hamil." Fea menjawab dengan wajah kesal campur sendu. "Kamu marah karena Isti?" tanya Rania. Dia yakin itu alasannya. "Hm, kamu benar. Apa salah aku marah? Aku lelah dengan orang-orang yang hanya merasa paling benar. Mengatakan orang lain semaunya padahal tidak kenal dengan baik. Akhir bulan ini aku akan resign." Fea memutuskan. "Itu sepuluh hari lagi, Fea. Kamu tega ninggalin aku?" Rania memegang kedua tangan Fea. Fea memandang Rania yang seketika memadang wajah memelas. "Aku sayang pekerjaan di sini, Ran. Aku senang b
Arnon menghubungi Fea sementara dia menuju ke tempat Fea kerja. Arnon minta Fea bersiap pulang. Fea memang sudah membereskan mejanya saat Arnon menelpon. Dia tinggal menunggu saja dijemput. Lima menit berikut Arnon dan Fea sudah berada dalam satu mobil. Arnon memperhatikan raut wajah Fea yang sedikit tegang. "Hai, are you okay?" tanya Arnon. Dia tetap pegang kemudi, melihat jalanan yang ramai. "Not really. But, I am ready." Fea berkata dengan tegas. Dia sedang menguatkan dirinya. Ini resiko yang harus dia hadapi. Arnella sudah bereaksi. Entah bagaimana Ardiansyah, lalu Hendrawan yang lain. Pasti akan lebih berat ke depan. Tapi Fea sudah siap. Dia sudah menjadi satu dengan Arnon. Tidak ada alasan untuk Fea mundur. Sampai di rumah, Arnon mengajak Fea duduk di ruang tengah dan bicara. "Sampai beberapa waktu ke depan, cerita kita akan kembali ramai. Orang mau bilang apa aku ga peduli. Aku sayang kamu, Fea. Yang aku kuatir, tindakan keluarga Hendrawan. Ini bukan lagi soal cinta kita a
Fea mengusap lembut pipi Arnon. Fea sangat, sangat sayang Arnon. Namun, memanggil Arnon dengan sebutan romantis masih tidak mudah buat Fea. Dia sadari itu karena Arnon kekasih pertamanya. Dia kenal Arnon sejak kecil dan mengenalnya sebagai Tuan Mudanya, majikannya. "Kamu sudah lelah, lihat mata kamu. Makin kecil," kata Fea. Dia masih memandang Arnon, dengan tangan juga masih di pipi Arnon. Sedang hatinya sudah makin bergemuruh. "Iya, sangat lelah. Tapi ga mau tidur." Arnon membalas tatapan Fea. Hasrat Arnon mulai bangkit. Fea tersenyum. Dia makin memahami bahasa cinta Arnon. Dia tahu apa yang Arnon minta. Arnon menuntun Fea meninggalkan ruang kerja, masuk ke dalam kamar mereka. Malam mulai larut. Meski lelah mendera, Arnon belum ingin cepat tidur. Dia butuh merengkuh wanita yang dia cintai. Dia butuh melepas semua penat dengan memberikan sentuhan cinta buat istrinya. Fea berusaha mengerti ini. Sekalipun dia juga letih, dia harus bisa memenuhi kebutuhan terdalam suaminya. Apalagi
Irvan memahami yang Stefi katakan. Irvan tidak terlalu pusing dengan masalah seorang wanita masih murni atau tidak, masih gadis atau tidak. Itu masalah pribadi masing-masing orang. Dia hanya ingin yakin Stefi memang mau menjalin hubungan lebih serius dengan dirinya. "Aku mungkin terlalu berani menurut kamu ... Hanya saja ... aku ..." Stefi masih harus memilih kalimat yang tepat untuk mengungkapkan apa yang dia pikirkan. "Tapi aku tidak menganggap hubungan di antara pria dan wanita itu hanya untuk kesenangan semata. Aku ..." Irvan menarik Stefi kembali dalam dekapannya. Dia sekarang yang memulai. Irvan mengecup lembut Stefi. Irvan mau stefi pun tahu, dia ingin serius dengan hubungan yang dia akan jalani dengan Stefi. "Ir ..." Stefi akhirnya melepaskan Irvan. Dia butuh kepastian jika Irvan tidak akan main-main dengannya. "Aku mau kita menikah." Irvan kembali memandang Stefi. Kedua tangannya masih menggenggam erat tangan gadis itu. "Apa?" cepat Stefi menyahut. Rasanya tak percaya I
Mata Stefi membelalak lebar. Butik dapat komplain dari pelanggan. Alasannya, pesanan tidak sesuai permintaan. Dan pelanggan itu bukan saja marah pada para pegawai. Dia membuat video kekesalannya saat protes di butik dan mem-posting keluhannya di sosmed. Dalam waktu singkat banyak komen negatif bertebaran. Ini sangat tidak baik buat perkembangan butik. Apalagi orang mulai tahu Stefi. Calon menantu keluarga Hendrawan yang kabur di hari pernikahan. Bisa gawat memang jika dibiarkan. "Dora, kamu tolong redakan marah ibu itu. Kita akan ganti rugi untuk pesanan yang tidak sesuai. Lalu dia bisa minta dibuatkan yang baru dua potong gratis." Dengan cepat Stefi mengambil keputusan. "Mbak, dia ga mau. Dia masih marah-marah ga jelas. Katanya minta bertemu dengan pemilik butik. Gimana, Mbak?" Dora, asisten Stefi terdengar cemas. "Oke. Bisa kamu berikan ponsel ini pada ibu itu?" Stefi minta dia bicara dengan pelanggan yang rempong itu. Dora segera beranjak, dia menemui ibu pelanggan yang sedang