Di hari yang sama di sisi lain kota itu, di kantor besar dan megah, kantor utama perusahaan Hendrawan, tampak suasana tegang memenui pagi yang cerah. Arnon duduk di sana, bersebelahan dengan Arnella. Di depan mereka ada lima anak Hendrawan yang lain, bersama tiga pria kepercayaan Hendrawan, salah satunya pengacara perusahaan. Sedang Tuan besar, duduk di kursi utama. Sesuai aturan yang ada di keluarga besar itu, hari ini Ardiansyah akan mengalihkan satu perusahaannya kepada Arnon. Jika di antara anak Hendrawan dari istri pertama, peristiwa ini akan menjadi peristiwa menyenangkan, beda dengan yang terjadi pada Arnon. Sejak Arnon belum ada, kebencian sudah tertanam di hati anak-anak Ardiansyah pada Arnella. Mereka tidak pernah mau menerima papa mereka kembali berbagi hati dan kehidupan dengan wanita lain. Cukup sakit hati mereka melihat ibu yang mereka sayangi harus dimadu. Lalu muncul madu yang berikutnya? Sangat menggelikan! "AKu ga bisa terima, Pa. Ada alasan yang sangat kuat aku me
Ardiansyah memandang pada Arnon, lalu Arnella, dan kepada anak-anaknya. Dia ingin urusan ini segera selesai. "Baiklah, tanpa perlu memperpanjang lagi, isi perjanjian ini sama dengan yang kalian pegang ketika menerima perusahaan yang kalian kerjakan sekarang. Jadi, tidak ada alasan Ardina dan Ardan tidak mau menerima keputusan ini." Ardiansyah bicara lagi untuk mereka semua. "Kita akan menandatangani kesepakatan dan perjanjian. Setelah itu, sejak awal bulan depan, Arnon resmi menjadi pemimpin PT Arhen Sinar Tekstil. Kamu akan dibantu dua asisten kamu, Pak Juno dan Pak Alim." Ardiansyah melihat ke dua pria yang dari tadi hanya berdiam melihat perdebatan keluarga Hendrawan itu. Saat nama mereka disebut, mereka berdiri dan menganggukkan kepala kepada Arnon. Mereka sudah mendengar sepak terjang Arnon selama ini, mereka tahu, Arnon juga punya jiwa juang seperti papanya. Mereka berharap Arnon tidak seburuk yang mereka dengar selama ini dalam hal karakternya. Dengan rasa dongkol, Ardan dan
Arnon sangat lelah dengan semuanya. Hingga lewat jam lima sore Arnon baru kelas hari itu. Masih ada PR selanjutnya, tetapi setidaknya hari itu usai sudah jadwal yang dia harus urus. Arnon meninggalkan resto dan menuju ke tempat Fea bekerja. Dia ingin segera bertemu dengan wanita kesayangannya, ingin memeluk erat Fea, dan melepas lelah yang mendera hati juga pikirannya. Fea memang sudah menunggu Arnon menjemputnya. Saat Arnon datang, dengan langkah cepat Fea menuju mobil Arnon, karena ada beberapa orang yang ternyata menunggu untuk minta waktu Fea bicara. Tidak lain tidak bukan para pencari berita itu masih saja ada yang penasaran dengan Fea. Mereka mendapat berita simpang siur tentang kejelasan siapa istri Arnon. Ada yang benar, ada yang sudah melenceng entah bagaimana kisah itu bisa tidak karuan. "Ready?" tanya Arnon saat Fea sudah masuk dalam kendaraannya. "Yup." Fea mengangguk. Mobil Arnon kembali meluncur di jalanan. Rupanya awak media tidak lega. Mereka mengikuti Arnon dan Fea
Semalam berlalu. Hari perlahan berganti menuju hari baru. Arnon membuka matanya. Di sisinya Fea masih terlelap. Tidur dengan tenang, dengan mulut terkatup, matanya sedikit terbuka, tangannya memeluk pinggang Arnon. Arnon tersenyum. Dia usap pelan pipi Fea, lembut, bersih. Meskipun remang-remang, Arnon masih bisa melihat jelas wajah Fea. "Thank you, Honey. Kamu sangat mengerti aku. Gimana aku ga makin sayang? Ga sabar mendapat kabar baik, kamu akan punya baby di sini." Lembut Arnon berkata, tangannya turun menyentuh perut Fea. "Hmm ..." Merasakan sentuhan itu, Fea terbangun. Dia membuka mata dan melihat Arnon sedang memandang padanya. "Apa sudah pagi?" "Hampir. Masih gelap. Tidurlah lagi." Arnon memindahkan tangannya merangkul pinggang Fea. "Arnon, kita harus pulang. Ga ada baju ganti di sini. Nanti harus ke kantor lagi." Fea segera ingat mereka ada di apartemen. Kemarin Arnon membelokkan mobil menghindari pencari berita yang menguntit mereka. "Hmm? Kamu yakin? Aku masih mengantuk
Dengan berkas di tangan, Fea melangkah menuju kantor Irvan. Dia sengaja minta mengantar berkas itu karena ingin sekalian bicara tentang Stefi pada Irvan. Sampai di depan kantor Irvan, Fea mengetuk pintu. "Masuk, Rani!" Terdengar suara Irvan. Pria itu mengira Rania yang datang. Fea membuka pintu dan melangkah ke dalam. "Fea?" Irvan heran bukan Rania yang datang. "Maaf, Pak, Rania kurang baik. Dia beberapa kali muntah pagi ini." Fea menjelaskan mengapa dia yang menemui Irvan. "Oh? Oke. Apa dia tidak sebaiknya istirahat di rumah?" Irvan mengkuatirkan Rania. "Tidak perlu, Pak. Kalau di atas jam sepuluh dia sudah normal lagi," jawab Fea. "Begitu?" Aneh juga wanita hamil, itu yang Irvan pikirkan. "Ini berkas yang Bapak perlukan. Silakan." Fea meletakkan berkas yang dia pegang di meja Irvan. "Thank you, Fea." Irvan mengangguk. "Kamu apa kabar?" "Aku ... aku baik." Fea tidak mengerti mengapa Irvan menanyakan kabarnya. Jelas-jelas dia sehat makanya bisa datang bekerja. "Semua berita
Stefi dan Fea masih mengarahkan pandangan pada pembantu rumah Stefi. Siapa tamu yang datang ke rumah Stefi? "Itu, calonnya Non Stefi." Pembantu itu menjawab ragu-ragu. "Irvan?" Stefi memastikan. "Yang batal ..." Pembantu itu seperti takut salah bicara. "Ooh, haa ... haaa ..." Stefi malah ngakak. Dia tahu siapa yang datang. Fea menoleh pada Stefi yang tertawa lebar. "Suami kamu, Fea. Arnon." Stefi menepuk pipi Fea. "Yuk, ajak dia sekalian makan bareng." "Tapi yang satu lagi juga datang." Pembantu itu belum selesai dengan beritanya. "Mbak Irin, kalau kasih kabar itu jangan nyicil." Stefi jadi gemes. "Abisnya takut ada huru hara, Non," ujar Irin. "Haa ... haa ... Nggak, Mbak. Kamu berteman baik." Stefi kembali ngakak. "Yang antar Non pulang. Iya, dia datang belakangan." Irin melengkapi info tamu yang ada di rumah itu. "Fea, seru banget deh, malam ini," kata Stefi dengan senyum makin lebar. "Seru apa?" Fea tidak mengerti maksud Stefi. "Double date. Hmm?" Stefi memainkan alisn
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Dia tersenyum selebar itu, bahkan hampir tertawa, mendengar kalau Irvan dan Stefi akan menikah. Jarang, sangat jarang Arnon bisa tertawa selepas ini. Apa yang ada dalam pikiran suaminya ketika mengetahui Irvan dan Stefi akhirya memilih bersama. "Doakan saja semua lancar. Aku juga ingin bahagia seperti kamu dan Fea." Irvan melihat Arnon, dengan senyum yang juga lebar. Tampak di wajahnya dia senang bisa bersama Stefi saat ini. "Tentu. Aku berharap segera bisa menyaksikan kalian berjalan di altar. Dan aku yang akan memastikan tidak akan datang pengantin yang lain. Aku akan pastikan Stefi yang masuk dan menemui kamu di sana." Arnon mengepalkan tangan dengan semangat. Saat tiba di rumah, Fea bertanya pada Arnon, soal Stefi dan Irvan. Fea penasaran, apa yang ada di pikiran Arnon. "Aku tidak mengira kamu segembira itu melihat Irvan dan Stefi bersama." Fea meminta Arnon mengutarakan pikirannya. Arnon tersenyum, manis, dan dengan tatapan gembira. Dia menarik
Kemarahan Ardan dan Ardina tidak juga surut karena merasa Arnon tetap tidak pantas mendapatkan harta ayahnya. Mereka berhasil membuat Arnon menutup satu restonya karena terus melakukan sabotase. Sayangnya itu masih belum cukup. Mereka mau Arnon bisa tak berkutik dengan hidupnya. Mereka akan menggagalkan semua yang Arnon usahakan, apapun itu. Kecuali, Arnon melepaskan diri dari Hendrawan. "Kita ga mungkin mengusik perusahaan papa. Bisa pengaruh pada yang kita pegang juga, Din." Ardan memandang Ardina yang mengusulkan agar Ardan mengulik perusahaan yang Arnon pegang. "Aku rasa jika terjadi sesuatu, papa akan langsung mencabut hak Arnon memegang perusahaan itu." Ardina mencoba meyakinkan Ardan dengan idenya. "Aku punya ide yang lain." Ardan tersenyum. Senyum jahat, karena ide gila muncul di kepalanya. "Apa? Jangan buat aku kesal," tukas Ardina. "Arnon itu dari masalah hasrat, tidak bisa disangkal, memang ada miripnya dengan papa," kata Ardan tanpa lansung menjelaskan maksudnya. Tapi