Arnon sangat lelah dengan semuanya. Hingga lewat jam lima sore Arnon baru kelas hari itu. Masih ada PR selanjutnya, tetapi setidaknya hari itu usai sudah jadwal yang dia harus urus. Arnon meninggalkan resto dan menuju ke tempat Fea bekerja. Dia ingin segera bertemu dengan wanita kesayangannya, ingin memeluk erat Fea, dan melepas lelah yang mendera hati juga pikirannya. Fea memang sudah menunggu Arnon menjemputnya. Saat Arnon datang, dengan langkah cepat Fea menuju mobil Arnon, karena ada beberapa orang yang ternyata menunggu untuk minta waktu Fea bicara. Tidak lain tidak bukan para pencari berita itu masih saja ada yang penasaran dengan Fea. Mereka mendapat berita simpang siur tentang kejelasan siapa istri Arnon. Ada yang benar, ada yang sudah melenceng entah bagaimana kisah itu bisa tidak karuan. "Ready?" tanya Arnon saat Fea sudah masuk dalam kendaraannya. "Yup." Fea mengangguk. Mobil Arnon kembali meluncur di jalanan. Rupanya awak media tidak lega. Mereka mengikuti Arnon dan Fea
Semalam berlalu. Hari perlahan berganti menuju hari baru. Arnon membuka matanya. Di sisinya Fea masih terlelap. Tidur dengan tenang, dengan mulut terkatup, matanya sedikit terbuka, tangannya memeluk pinggang Arnon. Arnon tersenyum. Dia usap pelan pipi Fea, lembut, bersih. Meskipun remang-remang, Arnon masih bisa melihat jelas wajah Fea. "Thank you, Honey. Kamu sangat mengerti aku. Gimana aku ga makin sayang? Ga sabar mendapat kabar baik, kamu akan punya baby di sini." Lembut Arnon berkata, tangannya turun menyentuh perut Fea. "Hmm ..." Merasakan sentuhan itu, Fea terbangun. Dia membuka mata dan melihat Arnon sedang memandang padanya. "Apa sudah pagi?" "Hampir. Masih gelap. Tidurlah lagi." Arnon memindahkan tangannya merangkul pinggang Fea. "Arnon, kita harus pulang. Ga ada baju ganti di sini. Nanti harus ke kantor lagi." Fea segera ingat mereka ada di apartemen. Kemarin Arnon membelokkan mobil menghindari pencari berita yang menguntit mereka. "Hmm? Kamu yakin? Aku masih mengantuk
Dengan berkas di tangan, Fea melangkah menuju kantor Irvan. Dia sengaja minta mengantar berkas itu karena ingin sekalian bicara tentang Stefi pada Irvan. Sampai di depan kantor Irvan, Fea mengetuk pintu. "Masuk, Rani!" Terdengar suara Irvan. Pria itu mengira Rania yang datang. Fea membuka pintu dan melangkah ke dalam. "Fea?" Irvan heran bukan Rania yang datang. "Maaf, Pak, Rania kurang baik. Dia beberapa kali muntah pagi ini." Fea menjelaskan mengapa dia yang menemui Irvan. "Oh? Oke. Apa dia tidak sebaiknya istirahat di rumah?" Irvan mengkuatirkan Rania. "Tidak perlu, Pak. Kalau di atas jam sepuluh dia sudah normal lagi," jawab Fea. "Begitu?" Aneh juga wanita hamil, itu yang Irvan pikirkan. "Ini berkas yang Bapak perlukan. Silakan." Fea meletakkan berkas yang dia pegang di meja Irvan. "Thank you, Fea." Irvan mengangguk. "Kamu apa kabar?" "Aku ... aku baik." Fea tidak mengerti mengapa Irvan menanyakan kabarnya. Jelas-jelas dia sehat makanya bisa datang bekerja. "Semua berita
Stefi dan Fea masih mengarahkan pandangan pada pembantu rumah Stefi. Siapa tamu yang datang ke rumah Stefi? "Itu, calonnya Non Stefi." Pembantu itu menjawab ragu-ragu. "Irvan?" Stefi memastikan. "Yang batal ..." Pembantu itu seperti takut salah bicara. "Ooh, haa ... haaa ..." Stefi malah ngakak. Dia tahu siapa yang datang. Fea menoleh pada Stefi yang tertawa lebar. "Suami kamu, Fea. Arnon." Stefi menepuk pipi Fea. "Yuk, ajak dia sekalian makan bareng." "Tapi yang satu lagi juga datang." Pembantu itu belum selesai dengan beritanya. "Mbak Irin, kalau kasih kabar itu jangan nyicil." Stefi jadi gemes. "Abisnya takut ada huru hara, Non," ujar Irin. "Haa ... haa ... Nggak, Mbak. Kamu berteman baik." Stefi kembali ngakak. "Yang antar Non pulang. Iya, dia datang belakangan." Irin melengkapi info tamu yang ada di rumah itu. "Fea, seru banget deh, malam ini," kata Stefi dengan senyum makin lebar. "Seru apa?" Fea tidak mengerti maksud Stefi. "Double date. Hmm?" Stefi memainkan alisn
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Dia tersenyum selebar itu, bahkan hampir tertawa, mendengar kalau Irvan dan Stefi akan menikah. Jarang, sangat jarang Arnon bisa tertawa selepas ini. Apa yang ada dalam pikiran suaminya ketika mengetahui Irvan dan Stefi akhirya memilih bersama. "Doakan saja semua lancar. Aku juga ingin bahagia seperti kamu dan Fea." Irvan melihat Arnon, dengan senyum yang juga lebar. Tampak di wajahnya dia senang bisa bersama Stefi saat ini. "Tentu. Aku berharap segera bisa menyaksikan kalian berjalan di altar. Dan aku yang akan memastikan tidak akan datang pengantin yang lain. Aku akan pastikan Stefi yang masuk dan menemui kamu di sana." Arnon mengepalkan tangan dengan semangat. Saat tiba di rumah, Fea bertanya pada Arnon, soal Stefi dan Irvan. Fea penasaran, apa yang ada di pikiran Arnon. "Aku tidak mengira kamu segembira itu melihat Irvan dan Stefi bersama." Fea meminta Arnon mengutarakan pikirannya. Arnon tersenyum, manis, dan dengan tatapan gembira. Dia menarik
Kemarahan Ardan dan Ardina tidak juga surut karena merasa Arnon tetap tidak pantas mendapatkan harta ayahnya. Mereka berhasil membuat Arnon menutup satu restonya karena terus melakukan sabotase. Sayangnya itu masih belum cukup. Mereka mau Arnon bisa tak berkutik dengan hidupnya. Mereka akan menggagalkan semua yang Arnon usahakan, apapun itu. Kecuali, Arnon melepaskan diri dari Hendrawan. "Kita ga mungkin mengusik perusahaan papa. Bisa pengaruh pada yang kita pegang juga, Din." Ardan memandang Ardina yang mengusulkan agar Ardan mengulik perusahaan yang Arnon pegang. "Aku rasa jika terjadi sesuatu, papa akan langsung mencabut hak Arnon memegang perusahaan itu." Ardina mencoba meyakinkan Ardan dengan idenya. "Aku punya ide yang lain." Ardan tersenyum. Senyum jahat, karena ide gila muncul di kepalanya. "Apa? Jangan buat aku kesal," tukas Ardina. "Arnon itu dari masalah hasrat, tidak bisa disangkal, memang ada miripnya dengan papa," kata Ardan tanpa lansung menjelaskan maksudnya. Tapi
"Kamu sungguh, mau mengantar aku ke sana?" Fea menatap Arnon. Fea tersenyum lebar. Mereka baru saja masuk ke kamar, hendak beristirahat setelah sepanjang hari bergelut dengan pekerjaan. "Ya, tentu saja. Sejak sebelum menikah kamu memang ingin mengunjungi makam kedua orang tua kamu. Ini sudah hampir tiga bulan kita menikah, kita belum juga berangkat," ucap Arnon. Arnon melempar tubuhnya di atas kasur, berbaring di sana. Fea mendekat, duduk di ujung ranjang, di dekat kaki Arnon. "Aku bahkan tidak terlalu berpikir, Ar. Kamu banyak sekali pekerjaan. Apalagi dengan pegang perusahaan Tuan Besar, belum lagi masalah yang tidak juga selesai di resto. Aku cuma mau kamu kuat, baik-baik, tidak menyerah, itu cukup buat aku." Fea memandang suaminya yang melihat ke langit-langit kamar. Arnon berbalik. Dia tengkurapkan badan, posisinya makin mendekat pada Fea. Kepalanya tepat berada di belakang Fea. "Buat kamu, apa sih yang enggak?" Arnon menyentuh tangan Fea. Fea memutar punggungnya, dia mengh
Weekend kembali hadir. Seperti yang Arnon janjikan, dia mengantar Fea pergi ke kota kelahiran Fea, tempat di mana kedua orang tua Fea disemayamkan. Arnon sudah membayangkan manisnya perjalanan bersama Fea. Kenangan bulan madu yang lalu mulai melayang-layang di pikiran chef ganteng itu. Arnon sengaja membawa mobil sendiri, karena dengan begitu, dia bisa mengajak Fea berbelok ke tempat-tempat yang indah untuk mereka kunjungi entah dalam perjalanan saat berangkat atau ketika mereka akan kembali pulang. Selesai sarapan pagi itu Arnon dan Fea memulai perjalanan mereka. Hari cukup cerah, matahari bersinar terang menambah semangat membara di hati Arnon. Sambil melaju di jalan tol, Arnon bernyanyi-nyanyi senang. Fea tidak mengira, suaminya segembira itu. Arnon jarang melantunkan lagu dari bibirnya karena dia tidak terlalu suka bernyanyi sekalipun selera musiknya cukup bagus. "Biarkanlah kurasakan ... Hangatnya sentuhan kasihmu ...." Arnon mengumandangkan salah satu lagu legenda yang romanti