"OM YUDHA!"
Teriakan riang dan manja itu sontak melenyapkan segala kesal yang tadi menguasai Yudha. Senyum Yudha merekah ketika gadis itu sudah duduk di sebelah Karina, mereka nampak tengah asyik mengobrol, membuat Yudha melangkah mendekati mereka berdua."Loh, Rara belum bobok?" Tangan Yudha mengelus lembut kepala Rara, duduk tepat di sisinya hingga kini Rara berada di tengah-tengah mereka."Lala mau bobok cini. Kelonin kayak biaca, ya Om?" Sebuah permintaan polos yang tidak mampu Yudha tolak."Udah pakai pampers? Nggak ngompol, kan?" Goda Yudha sambil mencolek hidung pesek milik Rara."Lala udah pakai pamples, nggak akan ngompol." Jawabnya dengan logat menggemaskan.Tawa Yudha pecah, ia mengangguk lalu menatap Karina yang nampak ikut tertawa itu. Sorot mata Yudha seperti tengah meminta persetujuan dari Karina. Sebuah kode yang langsung dibalas anggukan kepala dari Karina."Oke, bobok sekarang, ya? Udah malam loh!Karina melangkahkan kaki dengan santai menuju dapur, ia sudah beres mandi. Hendak mencoba membantu apapun pekerjaan yang bisa dia lakukan, meskipun sebenarnya kalau disuruh kerja di dapur satu-satunya hal yang bisa Karina lakukan dengan baik adalah mencuci piring. Tapi tidak ada salahnya mencoba membantu, bukan?Senyum dan langkah kakinya terhenti ketika melihat sosok itu pagi-pagi sekali sudah nangkring di dapur mertuanya. Dengan dandanan norak yang masih sama, ia nampak tengah membantu mengupas bawang merah.Karina menghela napas panjang, bagaimana cara mengusir hama itu dari sini? Karina yakin sekali bahwa rencana perjodohan gila yang ibu mertuanya usulkan adalah buah rayuan dan sedikit paksaan dari gadis itu. Kalau tidak, mana mungkin Ningsih rela anaknya yang ganteng mana dokter spesialis menikah dengan makhluk model macam itu?Karina memantapkan langkah tetap menuju dapur, dan benar saja, baru sampai depan pintu, Tere sudah mulai cari gara-gara denga
"Mas, tunggu!" Karina pasrah saja ditarik Yudha kembali naik, tapi dia begitu penasaran dengan Profesor Julianto!Ia benar-benar tidak pernah mendengar nama itu. Jadi tidak ada salahnya dia penasaran dan ingin tahu perihal sosok itu, bukan? "Apa sih? Mau ribut lagi sama Tere? Udah ah, aku nggak mau mood kamu jadi jelek terus aku lagi nanti yang kena." Yudha terus menapaki anak tangga buru-buru membawa Karina masuk begitu sampai di kamar.Ribut lagi sana Tere? Apakah tidak ada hal lain yang lebih berguna dan bermanfaat yang bisa Karina lakukan selain ribut dengan gadis itu? "Bukan itu!" Karina mengkoreksi, siapa juga yang mau ribut terus-terusan sama gadis nggak jelas itu? Tentu Karina ogah!"Lantas?" alis Yudha berkerut, menatap sang istri dengan seksama."Cuma mau tanya, Profesor Julianto itu siapa? Namanya asing, aku belum pernah denger."Mendengar itu tawa Yudha sontak pecah. Ia tertawa terbahak-bahak, membuat Karin
Karina menjatuhkan diri duduk di tepi ranjang, sementara Yudha menghela napas panjang sambil geleng-geleng kepala. Bahkan hanya mencium Karina saja Yudha tidak bebas! Bagaimana mau menggarapi istrinya kalau kayak gini? "Kenapa nggak dikunci sih, Mas?" Wajah Karina merah padam, bagaimana tidak malu? Kepergok ibu mertua tengah berciuman dengan begitu panas macam tadi, siapapun pasti akan malu, bukan? "Ya mana Mas tahu kalau ibu mau tiba-tiba masuk, Sayang?" Yudha sendiri pun sama merah wajahnya. Kenapa begitu absurb sih perjalanan awal pernikahan mereka? Setelah akhirnya Yudha dan Karina berdamai dan saling mengakui perasaan masing-masing. "Malu tau, Mas!" Desis Karina sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasanya ia ingin ngakak menertawakan hal gila yang ia dan Yudha alami di rumah mertuanya ini, pantas saja sang suami sampai rela berbohong dan menciptakan tokoh fiksi bersama Profesor Julianto tadi, jadi karena ini? "Kamu pikir Mas ini
"Udah semua, kan, Sayang?"Bisikan itu begitu lembut, sebuah bisikan yang membuat Karina lantas sadar dan membenarkan bahwa apa yang dikatakan Heni mengenai sisi lain Yudha memang ada benarnya! Kini, selain sisi menyebalkan yang Karina lihat pada Yudha selama dia menjadi mahasiswi Yudha, Karina bisa melihat sisi lain itu dan menyadari bahwa setiap orang pasti punya sisi tersembunyi yang mampu membuat orang tercengang ketika mengetahuinya. Dan suaminya, memiliki hal itu. Yudha melingkarkan tangan di perut Karina, menyandarkan kepala di bahu sang istri yang baru saja beres menutup dua koper mereka. Tangan Karina memeluk tangan yang melingkar di perutnya. Tersenyum melirik wajah yang nampak nyaman bersandar di bahu. Tidak ada yang mengira mahasiswi dan dosen yang sering berseteru bisa semanis ini, bukan? "Udah semua kok, beres!" Balas Karina yang kini tahu parfum apa yang menguatkan aroma perpaduan lavender, lemon dan jeruk yang begitu dia sukai.
Karina terkejut, matanya lantas mengerjap ketika ia merasakan tepukan lembut itu mendarat di pipi. Perlahan-lahan Karina mulai membuka mata, mendapati wajah sang suami tersenyum begitu manis dan berjarak begitu dekat dengan wajahnya."Sayang ... Udah sampai nih, turun yuk!" Bisik suara itu sambil terus membelai pipi Karina dengan begitu lembut. Karina terkejut, ia segera membuka mata lebar-lebar, mengangkat kepala dan menatap ke sekeliling. Benar saja! Mereka sudah sampai rumah! Ini Yudha yang terlalu kencang membawa mobil atau dia yang terlalu lama dan nyenyak tertidur? "Lah ... Udah main sampai rumah aja?" Karina menguap, masih belum percaya kalau mereka sudah sampai rumah.Yudha mencebik, membuka seat belt sang istri dan membantu Karina turun. Karina masih berusaha mengembalikan separuh nyawanya yang belum kembali. Beberapa kali dia menguap dan mengerjap, benar saja! Mereka benar-benar sudah sampai rumah!Rumah itu nampak sepi, Yudha
Yudha kembali menguasai tubuh itu, ia kembali pada posisi awal di mana tubuhnya menindih tubuh mungil Karina yang sudah bersimbah peluh. Napasnya memburu, Yudha benar-benar sudah tidak sanggup lagi rasanya. Kegagalan kemarin terlampau sakit dan Yudha hendak menuntaskan semua rasa sakit itu sekarang ini juga! Setelah sudah memastikan Karina 'siap', Yudha segera mengarahkan miliknya ke depan inti tubuh sang istri. Dengan begitu lembut dan perlahan, hal yang membuat kedua tangan Karina mencengkeram kuat-kuat lengan Yudha yang ia gunakan untuk tumpuan itu. "Mas, pelan!" Karina merintih menahan tangis. Matanya memerah, ia rasakan benda itu begitu besar, merangsak masuk perlahan-lahan ke dalam tubuhnya. Yudha bergeming, ia sudah cukup pelan kok. Terus dia dorong masuk tidak peduli bahwa sebenarnya cengkeraman tangan Karina cukup sakit mencengkeram lengannya. Yudha terus mendorong masuk, sampai di mana akhirnya miliknya tidak dapat masuk lebih dalam.
"Ha--.""Yud, kamu ini di mana? Sudah sampai rumah belum? Nggak tahu apa Ibuk dari tadi cemas nunggu kabar dari kamu. Kepikiran kalian kalau kenapa-kenapa di jalan bagaimana, kalau ada apa-apa gimana, apa susahnya sih, Yud, kasih ...."Yudha kontan menjauhkan telepon dari telinga menoleh ke arah sang istri sambil berbisik sangat lirih, menjawab pertanyaan Karina perihal siapa yang meneleponnya ini. Karina lantas terkekeh, menarik selimut dan menutupi tubuhnya yang masih begitu polos. Sementara Yudha, kini kembali pusing diomeli sang ibu hanya karena tidak memberinya kabar kalau mereka sudah sampai di rumah. Bukan salah Yudha kalau begitu sampai rumah tadi dia langsung tancap gas mengerjai sang istri! Siapa suruh di rumah sejak kemarin mereka diganggu terus? Hal yang lantas membuat Yudha lupa memberi kabar pada Ningsih kalau mereka sudah sampai rumah. Yudha menghela napas panjang, kembali mendekatkan ponsel itu ke telinga. Tangannya mem
Yudha menjatuhkan tubuhnya di sisi sang istri ketika permainan mereka kali ini usai. Kembali tubuhnya bersimbah peluh, napasnya tersengal dan tidak beraturan. Ia melirik istri mungilnya itu. Nampak kondisi Karina tidak jauh berbeda darinya. Rambut panjang sang istri nampak berantakan, membuat Yudha tersenyum bahagia karena sudah membuat Karina sampai se berantakan itu. "Mas please! Udah dulu, cukup buat hari ini!" Desis Karina di sela-sela napasnya yang belum teratur. Mendengar itu Yudha langsung mencebik, ia meraih pinggang Karina, memeluk tubuh bersimbah peluh itu lalu menjatuhkan kecupan di pipi Karina. "Kenapa udah? Kalau aku masih pengen?"Tangan Karina langsung mencubit lengan kekar yang memeluknya, membuat tawa Yudha lantas pecah. Tangan Yudha mempererat pelukannya, tidak peduli tubuh mereka begitu lengket dan panas. "Aku masih pengen, Rin!" Bisik Yudha begitu mesra. "NO ... NO!!" Karina berteriak, sebuah teriakan yan