Share

Bab 5 Mencari Celah ala Alana dan Dika

Di tengah ketidaknormalan, Alana tumbuh menjadi gadis yang tetap ceria, ceplas-ceplos, berusaha selalu tersenyum walau hati menangis, dan gadis yang cerdas. Cerdas dalam artian selalu mencari celah untuk bisa bahagia dengan caraku sendiri. Aku tetap tumbuh menjadi gadis yang cantik dan normal karena bisa merasakan cinta pada lawan jenis. Untung kan aku nggak frustasi amat, sampe berubah orientasi gitu.

Kalau Dika menghilangkan suntuk dengan cara naik gunung, hingga mengabaikan skripsinya. Dengan artian dia lebih banyak suntuk daripada enggak. Kalau aku menghilangkan suntuk dengan menepi di balkon rumah. Rumah dinas ini tak punya lantai 2. Namun, ayah membangunnya untuk jemuran baju. Setelah bunda mengomel kalau cucian tak pernah kering.

Menepi di lantai 2 sembari menikmati kesendirian. Aku dan kesendirian, ditambah segelas jus mangga dingin yang kubuat dengan diam-diam. Membiarkan paru-paruku menghisap oksigen segar sebebasnya. Seenggaknya dia tak terbelenggu seperti aku, hehe. Menatap langit yang seperti lautan bintang, indah sekali. Inilah keunggulan kota ini. Polusinya tak sedahsyat Jakarta. Aku bisa bebas menikmati hawa dingin tanpa harus pakai AC. Oh senangnya.

Sebagai info, ini sudah jam 12 malam. Jam dimana Bang Ranu sudah terlelap di meja dinasnya karena piket. Jam dimana ayah memeluk bunda untuk merangkai mimpi. Jam dimana para maling beroperasi dan para lelembut berkeliaran. Namun, ini jam dimana aku paling bebas berkreasi, yakni bercuap-cuap dengan Dika. Iyalah, aku bisa bebas menelepon pacarku, hehe. Inilah caraku mencari celah. Sebab mana bunda tahu kalau aku diam-diam menyimpan ponsel, buahahah.

"HPmu disita lagi, Na?" tanyanya.

"Iyalah, nggak mungkin aku pakai HP jelek ini kalau HP kesayanganku ada," balasku emosi.

"Ayahmu masih marah ya sama kamu, Na?" buka Dika pelan.

"Ya biasalah Dik. Bukan ayah sih, lebih tepatnya bunda. Kamu tahu 'kan kalau bunda lebih kejam daripada ayah," jawabku sekenanya. Ia terkekeh.

"Iya, aku masih ingat sakitnya dilempar pot bunga. Bukan dilempar bunganya saja, tapi sekalian sama potnya." Ia terkekeh renyah lagi.

"Iya, sekalian sakitnya dipukul Bang Ranu," ucapku penuh sesal, "maafin keluargaku ya, Dik?"

"Paan sih elu, Lan ... eh kamu. Udahlah, ini udah jadi resikoku karena nekat macari kamu," hiburnya pada diri sendiri.

Aku kembali bertanya pertanyaan yang sama, "kamu masih tahan pacaran sama aku?"

"Kalau kamu, masih tahan pacaran sama mahasiswa pengangguran seperti gue?"

Aku terdiam, tak tahu harus menjawab jujur atau tidak, "kamu mau jawaban jujur atau nggak?"

"Bohong saja, Na. Aku sudah tahu kalau jawaban jujurmu pasti tidak. Sudah lama kamu ingin putus, 'kan?" ia mulai membahas masalah lama kami.

"Kok kamu bahas itu, Dik?" tanyaku pelan.

"Ayahmu pasti suka 'kan kalau aku ini seorang tentara," imbuhnya makin aneh.

"Kok kamu makin aneh, Dik?" tolakku halus.

Terdengar tawa pelannya, "tapi itu benar 'kan, Na? Bukannya menantu idaman ayah bundamu itu tentara, ya?"

IYA DIKA, ITU SANGAT BENAR!

"Ayahku cuma ingin menantu yang bertanggung jawab," jawabku sekenanya. Suasana kami mulai alot.

"Jadi aku nggak tanggung jawab? Aku udah biasa ya Na jadi pemimpin pendakian," balasnya tak mau kalah.

Aku berusaha merayunya, "ya bukan itu maksudku, Dika. Ayahku juga suka naik gunung tapi nggak lupa sama pendidikannya."

Duh, aku bahas apaan sih?

"Oh cuma gara-gara skripsiku nggak kelar-kelar? Lana, kamu tahu 'kan kalau itu bukan karena aku yang malas tapi karena dosenku yang gila," jawabnya kasar.

"Ya kamu berusaha kejar dong. Aku pernah ikut kuliahnya Profesor Yunas, orangnya baik."

Walah, aku makin memperkeruh ya ini?

"Iya baik karena kamu cantik. Dia baik sama semua cewek cantik," jawaban yang sama Dika.

"Ya udahlah. Capek bahas itu! Terserah kamu deh, masa depanmu ada di tanganmu sendiri," simpulku seperti biasa.

"Nah gitu dong, baru Lanaku! Besok kita ketemu, ya? Di depan perpus!"

"Ngapain ngajak ketemuan di depan perpus? Bukannya itu tempat keramat buatmu, Dik?" iyalah dia alergi sama buku dan dunianya.

Nada suaranya menggoda, "lihat saja besok!"

"Oke!" jawabku menyerah.

Telepon ditutup. Aku kembali berteman dengan kesendirian. Bersama dengan jus mangga yang tinggal segaris. Bersama dengan langit malam yang bertabur ribuan bintang. Lumayan cerah malam ini setelah hujan seharian. Walau sempat tersenyum sebentar karena bercanda dengan Dika, tapi ujung-ujungnya kecut juga. Terutama ketika membahas tentang skripsi.

Setidaknya aku membenarkan kata-kata ayah. Sama skripsi saja dia nggak tanggung jawab, gimana sama hidupku nanti? Rasa-rasanya jus wortel bunda membuka sedikit mata batinku. Masa iya aku harus hidup dengan orang seperti Dika? Yang tak bisa menentukan masa depannya sendiri? Yang selalu dan terlalu santai sama hidupnya. Bener juga, ya? Bisakah aku bertahan dengannya? Ah, aku berpikir apa sih?

"Ayahmu pasti suka kalau aku ini seorang tentara." Begitu kata Dika tadi, yang kurasa masuk akal. Coba kalau Dika itu tentara, pasti kepercayaan ayah bunda jatuh gitu aja kepadanya. Pasti aku takkan terkekang seperti ini. Percaya deh, ayah dan bunda lebih percaya sama Om Fauzi dibanding sama aku. Alasannya sesama tentara takkan saling menghianati. Ya ya ya, terserah deh.

Namun, jujur membayangkan punya pacar tentara saja aku sudah ngeri. Betapa membosankannya mereka apalagi kalau kayak ayah? Hiiii, rambutnya kotak. Maksudku potongannya gitu-gitu aja. Aku jadi semacam melihat spongebob versi manusia gitu deh. Belum lagi tutur katanya yang kaku. Tingkah lakunya yang harus ditata seperti robot. Alamak, aku mah ogah! Itumah lepas dari jeratan ayah bunda masuk ke jeratan lain. Alana nggak sebodoh itu sih.

Belum lagi kalau mereka berseragam, alamak serem bener! Judes, nggak banyak omong, nggak banyak senyum, kaku bak besi. Males banget kalau sampai kenal salah satu atau salah dua dari mereka. Mendingan jojoba ah, ih amit-amit juga sih. Nggak mau jadi perawan tua sih aku. Fantasi liarku masih tetap yakni dipanggil mahmud bukan marmut.

---

Mungkin aku tergolong manusia ceria di tengah jeratan kedua orang tua yang over protektif. Aku masih bisa tertawa celamitan kendati aku disuruh menjaga sikap dan tutur. Aku masih bisa menyelinap untuk kabur bersama kekasihku yang tak direstui kendati harus menantang amarah orang tua. Aku masih bisa melucu kendati hidupku sangat datar seperti triplek.

Ya itulah aku, seorang Alana. Seorang gadis dengan kulit putih, rambut lurus sedikit bergelombang warna hitam legam, bibir mungil yang bakalan pucat kalau gak digincuin, mata bulat dengan bulu mata lentik yang selalu dikira hasil sulam, dan wajah tirus ala cewek oplas di Korea sana. Namun, sumpah, aku gak oplas kok. Semua kuwarisi dari bunda yang super menawan itu.

Seperti biasa, setelah turun dari mobil yang mengantar, aku berjalan pelan menuju gedung kampus. Sesekali melirik ke arah belakang karena Om Fauzi masih mengawasi gerak-gerikku. Mirip maling deh, tapi ya sudahlah aku 'kan memang maling. Maling hatinya Dika, wueheheh. Aku pura-pura bersikap biasa dengan menyapa gerombolan anak perempuan, padahal nggak kenal. Mereka membalasku karena tahu aku pacar mahasiswa populer di kampus ini. Maha benar Dika dengan segala kekerenannya.

Setelah Om Fauzi menghilang ditelan badai, aku bisa leluasa berlari ke arah perpustakaan kampus. Perpustakaan memang agak jauh dari tempat kuliahku. Tentu saja untuk mengejar waktu karena kuliah akan dimulai setengah jam lagi. Tujuanku cuma satu, menemui Dika yang hendak memberiku kejutan. Apaan ya? Kok aku jadi deg-degan. Gak mungkin lamaran, 'kan? Perasaan Dika gak pernah bahas itu deh.

Kuamati Dika sedang memangku laptopnya di bawah pohon waru, ia terlihat serius dengan berbicara dengan salah satu mahasiswi, "iyuh siapa sih?" gumamku.

"Dika!" panggilku sok imut. Aku mendekati keduanya. Dika mendongak dan menyapaku manis.

"Hai Alana!" Manis bener suaranya, gak kayak biasa, "kamu udah datang. Coba tebak aku lagi apa?"

"Mainan laptop ...," tebakku yang langsung dipotong.

"Kerjain skripsiku! Surprisee!" ujarnya ceria hingga mahasiswi itu mendongak terpesona, "ini Utami, dia mau bantuin aku buat konsul ke Prof Yunas."

Aku menepuk tangan lemas, "wau, aku terkejut!"

"Kok ekspresimu gitu, Na?" Dika seolah membaca wajahku.

Aku gugup, "enggak. Cuma aneh aja sama ini. Sejak kapan kerjain skripsi bisa berdua?" sindirku.

"Maksudmu?" Dika memicingkan pandangannya, seolah menangkap kecemburuanku, "Tami cuma bantuin aku untuk terhubung dengan Prof Yunas, Na!"

"Iya, tapi itu aneh, Dik!" bahasku.

"Aneh gimana? Bukannya bagus kalau aku kerjain skripsi. Bukannya itu yang kalian mau dengan menghinaku selama ini! Aku kerjain ini buatmu!" Suara Dika makin meninggi dan membuat Utami canggung.

Kutahu ini salah. "Oke maaf. Sikapku salah. Aku pergi dulu ya. Kuliahku sebentar lagi."

Lebih baik menghindar, Alana.

"Maaf ya Mbak," ucapku merasa tak enak pada Utami. Lantas aku berjalan cepat menghindari mereka.

Apa aku terlalu cemburu?

"Tunggu!" cergah Dika keras. Dia menahan tanganku kasar, sakit sekali, "sorry Tam. Besok kita lanjut. Thanks, ya!" ucapnya pada Utami dan membuat mahasiswi itu ngeloyor pergi. Diusir halus gitulah.

Dia menatapku tajam dengan raut wajah penuh emosi, Dika tetaplah si pemarah, "jangan bilang kamu cemburu!"

"Memangnya kenapa kalau aku cemburu? Kamu itu aneh Dika. Kamu cuek ke orang, tapi gak ke Utami itu!" cetusku seperti klepon yang meletus.

"Hai Alana," nada suaranya menekanku, "dia itu cuma bantuin aku kerjain skripsi nggak lebih. Kamu jangan cemburuan kayak anak kecil dong! Logis dong, Na! Aku itu demi kamu!" Dia membentakku keras, di depan banyak orang dan itu memalukan.

Aku tak enak hati, "udah deh Dik. Jangan kayak gini aku malu!"

"Kenapa? Kamu mulai malu pacaran sama aku? Iya! Hah!" bentaknya lagi, "asal kamu tahu ya, Utami itu mahasiswi kesayangannya Prof Yunas. Dia aku manfaatkan untuk dekat dengan Prof Yunas!" bentaknya tanpa mempedulikan wajahku lagi.

Suaraku terdengar lirih, "bukan gitu Dika. Maaf kalau cemburuku aneh, tapi aku gak suka kamu dekat dengan perempuan lain. Aku sayang sama kamu."

"Sayang?" dia memencet pipiku hingga aku terdongak menatapnya, "sayang bukan berarti aku gak bisa bebas dong. Kamu kok mulai otoriter kayak ayahmu sih, Na!" Ia lalu mengibaskan pipiku ke arah lain.

Sumpah itu sakit.

"Jangan bawa keluargaku, Dik!" aku menatapnya tajam dan lurus.

Kok kami jadi bertengkar gini sih? Bertengkar dengan pacar yang merupakan cowok populer bukan cita-citaku kali, hiks. Dia akhirnya menyeretku ke dekat semak-semak karena kami mulai memancing perhatian orang.

"Kenapa, hah? Bukannya benar? Kamu mulai mengatur aku harus apa, ya? Iya!" Dika menunjuk bahu kiriku dengan keras. Kasar sekali orang ini kalau marah.

"Aku nggak ngatur kamu Dika," aku mulai terisak, "aku cuma nggak suka kamu dekat sama Utami. Mungkin aku terlalu cemburu, mungkin aku salah paham. Aku minta maaf kalau salah. Aku cuma mau kamu lebih terbuka sama aku," aku berusaha sabar.

"Terbuka apa maksudmu, hah! Alana, aku nggak suka ya hubungan seserius itu. Aku sayang dan cinta sama kamu, tapi kita belum jadi suami istri. Kamu nggak punya hak ngatur hidupku!" ujarnya keras. Tepat di telinga, pekak sekali.

Aku menatapnya seolah tak percaya, "jadi itu harga hubungan kita di matamu. Oke, mungkin kamu lagi nggak bisa berpikir jernih. Aku kuliah dulu, Dika. Nanti bundaku tahu kalau aku bolos."

Namun, sebuah tarikan terasa keras menahan ketika aku hendak pergi, "mau kemana kamu! Kamu nggak boleh ninggalin aku, ya, Na!" cergahnya kasar.

"Ah, sakit Dika!" keluhku kesakitan. Namun, cengkraman tangannya makin keras.

"Jangan menghindar ketika kita bertengkar, kamu ingat itu, 'kan!" tandasnya sekali lagi. Aku mengangguk. Aku tetap meronta karena takut ia semakin kasar.

Aku berlari menghindarinya, seperti menghindari penjahat, aku takut, "Alana, tunggu!" teriaknya dari kejauhan.

"Mau kemana kamu!" akhirnya langkahku kalah cepat. Tanganku dicengkram lagi. Dia mengangkat daguku kasar dan memaksa kami berpandangan.

"Sudah kubilang jangan pergi!" Hatiku seperti bermain lompat tali, berdebar keras hendak melompat dari tempatnya.

Dika sangat kasar saat ini. Tentu saja dia memang kasar apalagi jika sedang marah. Dia populer dengan ketampanannya. Dia juga terkenal dengan sikap kasarnya. Mungkin awalnya seperti bad boy idaman wanita, tapi kelamaan menyakitkan juga. Tak terhitung berapa luka lebam yang pernah kuderita sejak pacaran dengannya. Anehnya aku tak merasa takut, mungkin karena cinta. Namun, ini sudah tak benar. Ini salah, cinta buta itu salah. Dia tak berhak menyakiti aku!

"Lepasin aku!" teriakku keras, "kamu nggak bisa nyakitin aku gini, Dika!" dia terperangah.

Sepertinya Dika mulai sadar, "Na, ma - maaf aku ... kelepasan. Alana, aku tidak bermaksud ...."

"Setop! Berhenti Dika. Aku nggak mau dengar apapun lagi. Aku mau kuliah, terserah kamu apa!" putusku sambil melepas tangannya yang melemah.

"Alana!" panggilnya yang tak ingin kujawab.

---

Sepanjang kuliah aku tak konsentrasi. Selain neraca dagang yang memusingkan, aku juga pusing dengan masalah percintaan. Aku tak lagi bisa bersembunyi ketika aku sudah ketahuan. Aku tak bisa berpura-pura baik saja ketika sekelas membicarakanku. Sekampus malah. Demi apa jadi sensasi cuma gara-gara masalah ribut sama pacar, itu bukan cita-citaku kok.

Belum lagi dengan luka lebam di tanganku. Apa yang akan diperbuat bunda kalau beliau tahu luka ini. Apalagi di pipiku juga ada bekas cengkraman, kuku Dika. Menandas bekas di kulit, juga di hati. Ingin menangis rasanya karena ayah bunda menjagaku bak menjaga boneka porselen. Tapi kenapa lelaki yang bukan siapa-siapa, hanya pacar, berani menyakitiku hingga begini. Pantas saja orang tuaku makin marah. Sepertinya jus wortel bunda mulai membuka mata batinku.

Aku pulang kuliah duluan, lebih tepat kabur duluan. Melewatkan mata kuliah terakhir demi menghindari Om Fauzi lagi. Jujur aku ingin sendirian saja sekarang. Berteman mendung dan hujan Malang yang mulai merintik. Hujan di kota ini memang romantis, tapi juga tragis bagiku.

Tentu saja tragis sebab demi apa aku sendirian di sebuah halte yang dingin, sepi. Hanya aku dan rinai gerimis yang deras. Menatap aspal yang basah dan sepi. Memikirkan nasib percintaanku yang mengenaskan. Di suatu sisi aku membela Dika mati-matian di depan ayah bunda. Namun, di sisi lain, Dika menjelma menjadi sosok yang tak pantas kubela. Iya, dia selalu menyakiti hati dan fisikku. Baru jadi pacar saja sudah berani main tangan, apalagi jadi suami. Bisa-bisa aku dimutilasi gara-gara minta uang belanja, ih amit-amit.

Kurasa, sekarang aku berada di titik jenuh. Tentu saja ingin meneruskan atau menyudahi hubungan ini. Aku lelah membangun hubungan ini. Walau Dika menyayangiku, rela melakukan apapun demi kebahagiaanku, tapi semua ini menyakitkan. Jujur aku lelah dengan wataknya. Dia sering membuatku takut dengan kekasarannya. Jujur aku takut kehilangan nyawa hanya karena cinta. Apaan sih! Mikir apaan ya aku ini, tapi itu benar.

Aku kembali terjatuh dalam lamunan. Entah kemana arah pikiranku. Yang jelas, sekarang kondisi rumah pasti sedang gonjang-ganjing. Secara ponselku mati kehabisan baterai. Aku menghilang dari kampus, dan dari Dika. Bisa jadi Dika dihajar habis-habisan sekarang, tapi ya sudahlah. Aku sedang malas dengannya. Rasakan saja balasan karena menyakitiku.

"Alana?" sebuah suara membuyarkan lamunanku. Hah, Dika lengkap dengan motor nyentriknya? Aku harus menghindar. Aku takut padanya.

Aku memacu langkah seribu, seratus ribu kalau perlu, menabrak hujan tak apa, "Alana, jangan pergi!" hisss, kata-kata itu lagi.

"Na, please stay!" teriaknya sambil berlari ke arahku. Ia memegang tanganku dengan lembut di tengah hujan. Tumbenan!

"Aku salah, Na. Aku tadi udah nyakitin kamu. Nggak seharusnya aku kayak gitu. Aku kasar karena kebawa emosi, Na. Maafin aku ya Alana. Jujur cuma kamu di hatiku, nggak ada cewek lain. Kamu tahu 'kan aku setia sama kamu."

Sumpah yang bicara barusan Dika bukan? Kok lembut amat suaranya? Dika kerasukan apaan?

Aku berbalik menatapnya, please jangan luluh Alana! "kamu beneran cuma emosi?" yah, luluh juga nih hati hiks.

"Iya Alana," jawabnya sambil memanggil nama lengkapku. Itu adalah kesempatan yang sangat langka.

"Dan untuk menebus kesalahanku, ikutlah denganku. Aku bakalan wujudkan impianmu selama ini," janjinya meyakinkan.

"Impian? Impian apa, Dik?" tanyaku bingung. Dia hanya mengerling penuh misteri.

Dia tak menjawab selain hanya menarikku cepat menuju motor nyentriknya. Sebenarnya motor nyentrik ini motor modern yang ia modif hingga nyentrik. Ya sebelas dua belas sama motor-motor di sinet Anak Langit itulah.

Yang jelas kini kami berbaikan secara tak langsung. Ia mengunci tanganku hingga secara tak langsung aku memeluk Dika dari belakang. Sebenarnya aku risih, tapi jarak antara kami masih terhalang tas punggungnya. Tak masalah deh, pada akhirnya. Ngomong-ngomong dia mau ngajak aku kemana sih? Emang dia tahu tempat impianku? Jangan bilang kalau tempat itu, halo tempat itu adalah mustahil bagi anak yang diproteksi model aku.

"Jangan bilang kalau kita mau ke sana, Dika!" teriakku di dekat helmnya.

Dika membalasnya dengan suara keras, "iya kita memang mau ke sana, Na! Kamu pasti suka!"

"Bukan Bali, 'kan, Dika!" balasku lagi seolah tak percaya. Ia tak menjawab apapun selain hanya makin menginjak pedal gasnya.

"Dikaaa!" teriakku lagi untuk memperoleh jawaban.

Dia tak menjawab dan makin meninggalkan misteri di benakku. Terutama ketika motor ini makin kencang berjalan. Benarkah dia akan mengajakku ke Pulau Dewata? Ke pulau impianku selama ini? Dia tak mungkin segila dan senekat itu kan? Mana mungkin aku ke sana cuma sama dia? Apa mau digantung bunda? Duh Dika, tolong hentikan semua ini sebelum terlambat. Sebelum ayah mendatangkan bala pasukannya dan mengoyak tubuhmu. Tapi laju motor Dika makin kencang, tanpa bisa kucegah lagi. Nangis aja boleh gak sih? Mencari celah model apa ini?

***    

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ajeng Septina
oke Alana memang bakat buat orang gemes
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status