Share

Bab 6 Pulau Impian, Mimpi Buruk Iya!

Laju motor Dika sampai di sebuah terminal antar kota di pinggiran Kota Malang. Sudah pasti aku akan dibawanya ke luar kota. Tentu saja aku tak mau, big no no! Aku tak mau memantik api makin berkorbar. Aku takut pada masalah yang makin menyala. Ingin kuakhiri saja detik ini. Tak apa, aku sudah memaafkan dia kok. Dika tak perlu melakukan semua ini demi berbaikan denganku.

“Dika, ini serius aku mau dibawa ke Bali?” tegasku sekali lagi. Dika hanya diam sambil memandang gelas kopi yang mengepul. Sekedar mengusir hawa dingin di tengah ketidakpastian.

Kugugah lengannya, “Dika!” dia menoleh.

“Kenapa, Na? harusnya kamu berdebar dong karena sebentar lagi bertemu dengan impian,” ucap Dika santai. Wajahku mencuram.

“Mana bisa santai Dika! Ini ngaco, super ngaco. Aku emang gila, tapi nggak separah ini. Dika aku masih waras. Nggak mungkin aku keluar Malang dengan kamu! Itu cari mati namanya,” aku berdiri cepat, “aku mau pulang!”

Dika menahan tanganku, “mau pergi kemana lagi sih, Na? Kamu yakin mau melewatkan semua ini? Keluargamu belum tahu, kujamin itu!”

“Secepatnya mereka pasti tahu. Aku mau pulang, titik!” tegasku sekali lagi.

“Alana, kesempatan ini cuma sekali seumur hidup. Katanya kamu suka kebebasan, suka tantangan. Nggak usah khawatir, uangku cukup kok untuk hidup beberapa hari denganmu. Kamu bisa menikmati ombak sebebas pantai, percayalah padaku.” Bujukan Dika tak berhasil membungkam hatiku yang bergejolak.

Aku memandangnya tajam, “Dika, aku pulang terlambat karena kamu saja, keluargaku murka. Gimana kalau aku keluar pulau sama kamu? Bisa digantung kamu! Enggak, pokoknya ini gila. Aku mau pulang!” aku tetap ngeyel.

“Oke,” suara Dika merendah, “sebentar lagi kalo hujan sudah reda. Nanti kamu sakit kalau hujan-hujanan terus.”

“Mendingan aku sakit!” aku tetap ngeyel. Dika memasang wajah melas.

“Alana, aku janji pasti anterin kamu pulang. Tenanglah,” ujarnya pelan, “minum kopi susu kesukaanmu dulu sini.”

Aku menyerah dan menerima uluran gelas dari Dika. Berisi kopi susu hangat kesukaanku. Menghirup aromanya dan mulai menenangkan diri. Ini sudah setengah lima sore, artinya sudah sejam aku terlambat pulang. Entah suasana gonjang-ganjing apa di rumahku sekarang. Mungkin ayah sudah mengerahkan bala tentaranya, atau mungkin bunda dengan bala ibu-ibu Persitnya. Hiii, bergidik ngeri membayangkannya.

Namun terasa ada yang janggal, “ini kok, rasa kopinya aneh, Dik?” ucapku aneh.

“Aneh gimana, Na?” balasnya yang mulai mengabur.

“Dik … aku pusing!” ucapku lemas. Pandanganku gelap. Tak terasa apapun di kaki ini, melayang seperti kapas.

Kurasakan aku jatuh dalam pelukan Dika yang hangat. Kurasa lemas sekujur badan. Seperti sedang dibius atau obat tidur, rasanya aneh sekali. Inginku berontak ketika Dika membopongku ke sebuah bangku, namun mulutku terkunci. Aku tak bisa bicara sepatah katapun. Mulutku berat dan kurasakan mataku semakin gelap. Ini apaan sih? Gak lucu sumpah!

---

Bak tertidur panjang tanpa mimpi, aku terbangun saat kurasakan ada aroma yang aneh. Sepertinya sedang mencium aroma lautan. Segar dan dingin udaranya. Dengan cepat kubuka mata bak baru menyelam di kedalaman. Dan ulala, kupandang laut yang hitam gelap di sepanjang pandangan. Ya Tuhan, ini dimana? Aku dimana? Aku diculik siapa? Hatiku bingung, kikuk, takut sendiri. Ini aku mimpi bukan sih? Kok nggak bangun-bangun ya? halo, aku lagi masuk ke acara aneh di TV itukah?

“Selamat malam, Na!” aku terkaget dan langsung menoleh ke asal suara.

Dika berjalan mendekatiku dengan tersenyum santai sembari membawa air mineral 2 botol, “sudah bangun?” ya aku baru saja terbangun dari sebuah ranjang kayu di atas kapal penyeberangan Jawa-Bali!!!!!!

“Jahat kamu Dika!” teriakku sambil memburunya. Aku memukuli dadanya keras. Membuatnya terbingung.

Demi tidak membuat keributan di kapal itu, Dika menarikku ke buritan kapal yang sepi, “tenang dong Alana. Kamu baik saja kok.”

“Baik saja gimana? Kamu bius aku 'kan, Dik? Teganya kamu lakukan itu sama aku! Pasti kamu juga sudah …,” kuraba sendiri badanku, “kamu sudah merusakku, Dika!”

Dika menyentuh lenganku, “tenang Na…”

“Jangan sentuh aku, Dika!” aku berontak. Dika menyentuhku dengan kencang.

“Tenang dong Na!” bentaknya keras, “kamu baik saja. Aku melakukan semua ini demi membuatmu bahagia. Sumpah aku tak merusakmu!”

“Bohong!” teriakku keras. Dika lantas memelukku, aku berontak. Tak cukup kuat, aku menyerah.

“Tenang, Na. Aku memang gila, tapi tak segila itu. Aku nekat demi kebahagiaanmu. Jujur, aku cuma ingin mengajakmu ke Bali saja untuk berlibur. Tak ada maksud lain!” jelasnya yang perlahan membuatku luluh.

Aku terduduk di kursi besi di buritan kapal. Merenungi situasiku saat ini. Jujur aku tak nyaman berada di tempat ini. Bali memang pulau impianku, tapi nggak mimpi buruk seperti ini kali. Inimah bukannya liburan tapi cari mati. Bisa dibayangkan betapa kacaunya rumahku saat ini. Boneka porselen hiasan rumah lenyap tanpa kabar. Ya Tuhan, semoga ayah dan bunda tidak pingsan kalau tahu aku sedang ada di Selat Bali sekarang. Bersama si gila, Dika lagi, hiks. Rasanya menangis hingga seember tak cukup.

Pasti bunda tidak akan percaya kalau aku di sini gegara dibius Dika. Aku bisa dibawa ke sini karena dibius dia! Itu kan nggak masuk akal, untuk ukuran ayah dan bunda. Mungkin juga untukku. Pasti ayah dan bunda mengira aku berbohong. Entah Dika pakai obat jenis apa? Yang jelas aku sekarang pusing dan sedikit terhuyung. Kutolak dia mendekatiku. Aku hanya ingin sendiri. Bersama buih ombak Selat Bali yang cenderung besar dan berbahaya. Sama seperti hidupku sekarang, menantang bahaya!

---

Pukul 4 pagi kami sampai di tanah Bali. Dengan menumpang sebuah bis pariwisata, Dika membawaku kabur dari Malang ke Bali. Entah sekarang dia mau mengajakku kemana. Uang tak bawa karena aku tak memegang kartu ATM atau kartu debit kredit. Aku cuma dikasih uang cash sama ayah bunda. Derita anak pingitan yang tetiba diajak kabur cowok gila.

Kalau ditanya aku masih cinta sama Dika atau tidak, jawabanku adalah tidak tahu. Aku tak tahu bagaimana perasaanku padanya sekarang. Aku bingung menjabarkannya. Masak iya cinta sampai senekat ini. Pertama, dia tak menghargai kedua orang tuaku. Kedua, dia sudah berani membuatku tak sadar dengan obat bius. Gimana kalau aku OD? Gimana kalau aku kenapa-napa? Siapa yang mau tanggung jawab? Dia? Dia aja sama skripsinya ogah-ogahan, gimana sama aku!

Intinya aku tak nyaman lagi berada di tempat ini. Ingin rasanya aku melenyap kemana gitu. Melesap kemana gitu. Mana ini sedang red day lagi! Tahu 'kan, tamu bulanan datang. Walau sudah hari terakhir, tapi nggak nyaman banget dan harusnya aku di rumah. Aku gak seharusnya ada di sini. Aku salah besar kalau ada di sini. Maka jadilah sepanjang jalan aku berada dalam mode autopilot. Aku tak menjawab apapun ketika Dika mengajakku bicara. Aku tak peduli dia mau berceloteh apa.

“Nanti kita ke Denpasar, Na! katanya kamu lihat pesawat terbang dari kejauhan. Nanti kita main pasir di pantai Kuta,” celotehnya yang tak kutanggap sama sekali.

Dia menyenggolku halus, “kamu mau makan apa? Kamu nggak haus?” dia berusaha membuatku bicara.

“Na? Alana?” panggilnya halus.

Aku menoleh tajam, “bisa diam nggak?”

“Ups, kok marah gitu sih, Na! Kita harusnya have fun! Nikmati kebebasan selagi bisa!” hiburnya yang terasa menyesakkan.

Aku menatapnya lantas bersiap meletuskan kalimat keras, “kamu gila ya!” seketika seluruh penumpang melirik ke arah kami, “aku mau pulang Dika! Aku nggak mau ke sini!”

“Ssssttt, bisa diam nggak sih?” ancam Dika galak. Matanya menyala bak hantu. Menyeramkan sekali. Sekali kasar tetap saja kasar.

“Udahlah nikmati aja! Lihat sampai detik ini nggak ada pasukan ayahmu yang cari kan! Santai aja kali!” ucapnya tajam tepat di telingaku.

“Iyalah, ponselku mati kehabisan baterai. Ponselmu paling juga ngendon di tas!” ceplosku yang nyaris tak terdengar. Aku memilih untuk pasrah. Sumpah aku nggak nyaman berada di posisi ini sekarang. Aku ingin pulang.

---

Aku memang suka kebebasan, aku suka menyelinap keluar dari peraturan ayah bunda. Namun, aku tak segila ini. Aku tak sedurhaka ini. Aku masih punya hormat pada kedua orang tua, kendati aku tak suka dengan proteksi mereka. Entah kenapa aku sekarang malah merindukan omelan bunda, omelan ayah yang halus menusuk, atau keusilan Bang Ranu. Sedang apa ya mereka?

Jujur, aku merindukan rumahku yang hangat. Walau keluargaku aneh, tapi kami selalu terbalut dengan kehangatan. Walau ayah dan Bang Ranu sering berdebat tak jelas, tapi keduanya kompak melindungiku. Bagi mereka, aku kesayangannya. Baru kusadari sekarang bahwa aku terlalu disayang oleh mereka. Sikap protektif mereka demi kebaikanku. Aku menyesali semua itu sekarang, jujur.

Aku tak ingin melawan ayah dan bunda. Apalagi sampai kehilangan kepercayaan mereka. Aku tak mau jadi anak yang tak dipercaya orang tua. Itu terlalu menyakitkan. Maka, sesampainya kami di sebuah cottage di kawasan Denpasar, aku meminjam sebuah charger pada petugas cottage. Tentu saja tanpa sepengetahuan Dika. Yah, sebab Dika menerapkan aturan khusus yakni tak boleh memegang ponsel. Terlihat sekali kan sikap buruknya, hiks. Kurasa aku ingin putus, demi orang tuaku. Demi masa depanku juga.

Maka ketika Dika berpamitan untuk mencari makan, aku diam-diam masuk ke kamar mandi. Mengisi daya ponsel hingga menyala. Tak menunggu lama, ribuan panggilan masuk ke mailbox-ku. Hiks, maafin Lana ya Ayah dan Bunda. Tolong selamatkan Alana dari sini! Sungguh sekarang butuh perlindungan ayah dan bunda!

Tak pakai lama, sebuah panggilan masuk ke ponsel yang baru menyala, nama bunda berkelip di sana. Hatiku bak diburu harus langsung mengangkatnya sebelum ketahuan Dika, “halo Bundaaaa,” rengekku seperti anak sapi.

“YA TUHAN! ALANA, DI MANA KAMU! KE MANA SAJA KAMU LANA? KALAU INI BERCANDA, KAMU NGGAK LUCU ALANA! KATAKAN KAMU DIMANA!” Teriakan bunda menggema ke udara. Seketika suara riuh berdatangan dari arah belakangnya.

Suara ayah merebut telepon, “katakan di mana kamu sekarang, Lana! Beberapa jam lagi kamu 24 jam menghilang, ayah akan laporkan ke polisi! Di mana kamu?” berondong ayah keras.

Aku kalah dengan tangisan ketakutan, juga tangisan minta pertolongan, “Ayah, Bunda, nanti saja Lana jelaskan. Yang jelas, tolong selamatkan Lana. Lana takut Yah … Bunda!”

“Iya, kamu di mana? Sama siapa? Kenapa bisa melakukan semua ini?" berondong ayah tegas. Semua bernada seru ya Tuhan. Padahal ayah kan orang yang melankolis.

“Lana di Bali, Yah. Denpasar, Cottage Anggrek. Lana dibawa Dika ke sini. Alana dibius supaya tidak sadar. Supaya Lana bisa dibawa ke sini dengan alasan liburan,” jelasku terbata.

“Apa?” Bunda heboh, “kenapa bisa kamu dibius? Kamu diapain, Lana? Coba cek apa kamu tak terluka apapun! Coba kirim fotomu sekarang! Yakin kamu jujur sekarang? Mana mungkin kamu bisa dibius, Lana kamu tidak sebodoh itu, Nak!”

Ya Tuhan masih sempatnya bunda meremehkan penjelasanku.

“Apa jangan-jangan kamu cuma drama, Savannah?” sambung ayah tajam. Hiks, begini sudah rasanya tak dipercaya orang tua. Aku lebih takut kehilangan kepercayaan orang tua daripada kehilangan pacar.

Tetiba telepon dirampas oleh suara yang lain, “Alana, coba jelaskan sama Abang kamu di mana? Beneran kamu dibius sama Dika? Coba sebutkan nama obatnya mungkin! Jelaskan cepat! Sebelum statusmu berubah menjadi anak hilang!” desak Bang Ranu.

Aku seolah mengingat sesuatu, “Rohyp … sejenis itulah Bang. Alana jujur Bang. Sekarang sedang ada di Bali. Alana memang dibius sama Dika untuk dibawa ke sini.”

“Rohypnol! Oke, mendingan kamu kabur sekarang dari tempat itu. 3 jam lagi statusmu berubah menjadi orang hilang Lana. Kalau kamu nggak mau ada keributan ya kamu harus bisa lepas dari Dika secepatnya. Sebelum semua terlambat. Abang berusaha tenangkan ayah dan bunda di sini.” Syukurlah Bang Ranu tidak usil saat ini.

Aku meredakan tangis, “tolong Lana, ya, Bang … .”

“Iya sudah cepat kamu pergi dari situ!” sambung Bang Ranu lagi.

“Alana, kalau kamu mau ayah bunda percaya, sekarang juga kamu pergi dari situ!” ancam bunda yang terdengar angker.

“Iya Bunda … Lana akan berusaha,” sahutku terisak.

Klik, telepon ditutup. Baterainya masih lemah karena hanya 5%. Aku tak ada waktu untuk itu. Sekarang aku hanya harus pergi dari sini. Lantas kuburu tas kuliah di atas kasur yang teronggok begitu saja. Di sebelahnya ada baju baru yang masih bersih, mungkin Dika yang membelinya. Setelah menenteng tas dan HP yang masih lemah, aku memburu pintu untuk segera keluar. Sia-sia! Terkunci! Dika mengunciku di kamar itu.

“Ya Tuhan apalagi ini!” Aku kembali menangis. Alana yang celamitan itu sedang galau merana. Aku ingin pulang Ya Tuhan!

Tangisanku mereda ketika sebuah suara terdengar dari arah pintu, syukurlah Dika kembali secepatnya, “keluarkan aku dari sini Dik!”

“Lho kamu belum ganti baju? Bajumu itu sudah kotor Lana. Ayo ganti baju dan bermain di pantai. Ini cottage yang pas dengan impianmu. Kamu bisa melihat pesawat landing dan take-off dari jendela itu. Sayangnya sekarang Gunung Agung sedang erupsi sehingga tak ada penerbangan. Maaf ya Lan,” jelasnya yang tak kutanggapi.

“Aku nggak mau tahu! Aku cuma ingin pulang! Pulangkan aku ke Malang secepatnya!” ancamku keras. Aku menatapnya tajam.

“Aku mau kamu booking-kan tiket pesawat sekarang juga! Aku nggak mau kehilangan kepercayaan orang tua,” curahku lagi.

Ia menghempas badan ke kasur, “Lana, sudah kubilang barusan. Hari ini tak ada penerbangan. Sampai esok juga tak ada. Sedang ada erupsi. Sudahlah, aku pasti tanggung jawab sama kamu.”

“Enggak! Omong kosong kamu, Dika! Aku nggak percaya, tetap nggak akan pernah percaya. Aku cuma mau pulang!” teriakku keras di dekat wajahnya, “mana dompetmu? Aku masih bisa naik bus.”

“Tidak bisa Lana. Bus juga penuh. Kamu lihat tadi 'kan waktu di bis, banyak yang nggak dapat tempat duduk.” Dia masih santai seperti di pantai.

Nggak sadar kalau mau dibantai ayahku?

“Nggak peduli, mau duduk di atas mesin bis aku nggak peduli. Aku cuma mau pulang!” desakku lagi.

Dika menarikku terhempas duduk di dekatnya, “kenapa sih Na, kamu nggak bisa percaya sama aku? Sekali saja, kita menentang semua ini. aku akan melakukan apapun demi kamu. Bebaskan hatimu Alana. Ini adalah kesempatan kita satu-satunya. Kenapa sih kamu mau pulang?”

“Asal kamu tahu, Dik, 3 jam lagi statusku berubah jadi orang hilang. Ayah udah kerahkan rekan beserta anggota tentara untuk mencariku. Mereka sudah tahu aku di Bali.” Penjelasanku membuatnya terpaku pada satu titik.

“Kenapa kamu tidak menikmati saja pelarian ini, Na?” tanyanya kosong.

Aku menatapnya tajam, “lebih baik aku tak menginjak tanah ini daripada harus kehilangan kedua orang tuaku. Kepercayaan mereka lebih dari apapun. Aku mau pulang, Dika. Lepaskan aku atau kita putus!”

“Kenapa ancamanmu seperti itu sih, Na?” dia mulai melunak.

“Aku putus asa, Dika. Aku capek sama hubungan ini. Jujur aku mulai meragukan perasaanmu. Sebenarnya kamu itu sayang nggak sih sama aku? Kalau sayang kenapa kamu nggak menghargaiku? Menghargai keluargaku?” ceramahku dengan tangisan. Dika hanya menunduk.

“Gue memang bukan idaman lo kali, Na!” ucapnya mulai kasar. Aku tak mau kalah.

“Iya, gue kecewa sama lo Dik! Lo bikin gue jauh sama ortu! Bikin gue kehilangan kepercayaan ortu! Gue mau putus!” oke bahasa Jakartaanku keluar juga. Aku sudah muak jadi cewek lemah gemulai.

“Jangan, Na! Jangan ucapkan putus gitu! Aku minta maaf kalau salah!” ah dia mulai lagi, hendak meluluhkanku.

Aku menatapnya nanar, “gue nggak peduli. Kalau emang lo nggak mau nganter gue balik. Gue bisa balik sendiri. Namun, setelah ini, jangan pernah lo hubungin gue lagi Dik! Kita beneran putus!”

“Na, lo cinta 'kan sama gue?” pertanyaan basi.

“Tanyakan ke hati lo sendiri, masih berarti nggak gue buat lo? Masih berharga nggak gue di mata lo!” jawabku untuk terakhir kalinya.

Yah, akhirnya aku bisa lepas dari cengkraman Dika begitu saja. Tak sesusah bayanganku. Sebab kali ini Dika tak lagi mengejarku seperti biasa. Kami berpisah begitu saja. Tampaknya ia terpaku pada kata-kataku. Terkesiap jika aku bisa berbuat nekat juga. Selama ini aku sudah cukup kalem menanggapinya. Kali ini aku kembali pada sikapku yang keras. Aku menentangnya, dengan kata lain aku berani memutuskannya.

Akhirnya, akhir dari cerita kelamku bersama Dika adalah putus. Tanpa perlawanan kasar apapun darinya. Tanpa jawaban apa dia masih mencintaiku atau tidak. Mungkin dia merasa bersalah hingga tak bisa bicara. Hingga tak bisa melawan lagi dan hanya menurut pada keputusanku. Aku hanya ingin mengejar waktu untuk segera pulang ke Malang. Mendapatkan kembali kepercayaan keluargaku. Lebih baik aku diproteksi abis-abisan daripada harus gini.

***

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status