"Di mana adikku, Ma?" Arjuna menatap Lauren mamanya yang baru saja muncul dari dapur sambil sibuk membawa nampan berisi dua gelas jus jeruk.
Wanita itu meletakkan dua gelas jus jeruk itu di atas meja. Di depan Arjuna dengan hati-hati. "Kamu tiba-tiba datang berkunjung ke apartemen Mama hanya untuk menanyakan hal tidak penting itu pada Mama?" tanya wanita itu menunjukkan muka sedih yang sengaja dibuat-buat.
Arjuna mendengus muak. Sudah berkali-kali dia datang menanyakan di mana adiknya. Tetap saja hasilnya nihil. Berkali-kali juga mamanya seolah menghindari topik pembicaraan seputar adik yang belum pernah ia ketahui itu.
Semenjak Lauren bercerai dengan Anton, papa kandung Arjuna, Arjuna diasuh oleh papanya. Lauren yang notabene adalah mama kandungnya sendiri sangat cuek kepada Arjuna sejak kecil. Wanita itu seakan tidak perduli terhadap tumbuh kembang anaknya.
Arjuna tumbuh besar tanpa kasih sayang dari seorang mama, hal itu yang membuat Arjuna juga tidak terlalu dekat oleh mamanya. Semua sifat yang dimilikinya adalah warisan dari sang papa. Terlebih alasan Lauren bercerai dengan Anton karena ia ketahuan selingkuh dengan saingan bisnis Anton sepuluh tahun yang lalu.
Saat ini Arjuna telah berusia dua puluh delapan tahun. Ia semakin dewasa. Semenjak kematian papanya tiga tahun yang lalu, Arjuna hidup mengurusi perusahaanya warisan papanya dibantu oleh pamannya.
"Arjuna tanya sekali lagi. Apa Mama juga menelantarkan adikku sama seperti ketika Mama menelantarkan Arjuna dulu?" tandas Arjuna dengan nada tinggi. Menatap tajam pada mamanya yang sama sekali tidak terpengaruh dengan bentakan anaknya itu.
Lauren duduk di sofa. Mereka saling berhadapan. Wanita itu bersedekap sambil menyilangkan kaki dengan santai. Menatap Arjuna penuh penilaian. "Arjuna, kamu mewarisi sifat pemarah Papamu ya." Seru Lauren sambil tersenyum basa-basi. "Ya, soal adikmu itu tenang saja. Mama sudah mengirim dia ke panti asuhan, dia pasti dirawat dengan baik di sana," lanjut Lauren santai sambil mengaduk jus jeruknya dengan sedotan. Seolah ia tidak memiliki dosa besar sama sekali.
"Mama benar-benar keterlaluan! Kenapa Mama tidak menitipkannya padaku?" bentak Arjuna marah.
"Memangnya kenapa, anak itu cacat, dan Mama tidak sudi memiliki anak cacat seperti dia. Lagipula buat apa Mama titipkan dia padamu, kamu saja tidak pernah mau bertemu dengan Mama!" Lauren ikut membentak Arjuna, ia kali ini menatap Arjuna tidak suka. Arjuna selalu saja menyalahkannya dalam hal apapun, dan itu membuat Lauren muak.
"Dia anak Mama juga!"
"Apa gunanya memiliki anak cacat!"
"Di mana?" guman Arjunan dengan giginya yang gemeletuk. Ia berusaha mengontrol emosinya yang tinggal di ubun-ubun. "Di mana alamat panti asuhannya?" ujarnya sekali lagi dengan masih menahan amarahnya.
Lauren menyeruput jus jeruknya anggun, gerakan yang sensual. Setengah gelas jusnya tandas. Jemari lentiknya bergerak mengetuk pelipisnya. "Tunggu Mama ingat-ingat dulu." Wanita itu terlihat berpikir keras. Jari telujuknya menjentik ke atas. "Aaaaa..... Mama tahu. Mama tidak akan memberitahumu sebelum kamu mentransfer Mama uang sebanyak tiga ratus juta," ujarnya kemudian dengan santai.
Arjuna mengepalkan tangannya erat. Uang uang uang dan uang. Selalu saja uang yang dipikirkan oleh mamanya. Kalau saja wanita di depannya bukanlah seorang mama kandungnya yang harus ia hormati, sudah dari tadi Arjuna menamparnya dengan keras.
"Untuk apa Mama membutuhkan uang sebanyak itu?"
"Kamu tahu sendirikan kehidupan Mama bagaimana setelah bercerai dari Papamu. Dan sekarang Papa tirimu hanyalah seorang pemabuk setelah dia bangkrut. Oh, dia benar-benar tidak bisa diandalkan. Mama menyesal telah menikahinya." Lauren mendengus. Mengusap pelipisnya kasar berusaha menunjukkan wajah melasnya pada Arjuna.
"Itu karma yang setimpal untuk Mama," seru Arjuna dengan pedas.
"Huh, Mama tidak percaya dengan karma," balas Lauren santai sambil melihat cat kukunya yang mulai terkelupas, lalu mengusapnya pelan membuat kukunya kembali mengilat.
"Arjuna sudah mentransfer uang yang Mama minta ke rekening Mama. Sekarang beri tahu Arjuna di mana adik Arjuna." Arjuna memasukkan ponselnya ke dalam saku jasnya lagi. Sebelumnya ia telah mengirimkan pesan kepada asistenya untuk mentransfer uang sebanyak yang disebutkan Lauren tadi.
Lauren tampak menatap Arjuna dengan wajah berbinar. Kemudian wanita itu menggeleng prihatin. "Astaga, dia cuma adik tirimu. Kenapa kamu peduli sekali padanya dibandingkan dengan Mama, Sayang," ujar mamanya dengan nada merajuk yang dibuat-buat.
"Ma....!"
Wanita itu menghela nafas panjang. Ia tampak pasrah seraya mengangkat kedua telapak tangannya. "Oke-oke, Mama kasih tahu. Dia sekarang dirawat oleh anak Papa tirimu. Mama tidak tahu kenapa dia mau saja merawat anak cacat itu. Nanti Mama akan mengirimkan berkas dan alamatnya sama kamu. Kamu boleh pegang kata-kata Mama." Lauren berhenti berbicara setelah menjelaskan panjang lebar. Ia kembali menyeruput jus jeruknya sampai tandas. Lalu menatap jam tangan mewahnya. "Oh, ya Mama tiba-tiba ada urusan mendadak. Mama harus pergi. Bay Sayang, jangan lupa kunci pintunya. Mama mencintaimu."
Arjuna mengusap kening bekas ciuman singkat mamanya barusan. Telapak tangannya memerah, lipstik mamanya menempel di sana. Lalu pandangannya beralih pada pintu apartemen yang masih terbuka. Kosong. Mama sudah pergi meninggalkannya lagi dengan alasan sibuk. Selalu saja seperti itu. Menghindar.
***
Arjuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menyugar rambut hitamnya yang sedikit memanjang secara asal sehingga terlihat acak-acakkan. Jaket kulit bewarna hitam pekat dipadu celana jeans hitam membalut tubuhnya dengan sempurna. Lalu ia berjalan keluar kamar, memakai sepatu boots kasual bewarna coklat. Seharusnya ia terlihat keren ala badboy, tapi karena wajahnya yang ditekuk kusut sepertinya akan ada banyak orang yang memilih menghindar ketika berpapasan dengannya.
Arjuna memakai helm hitamnya. Selanjutnya ia berjalan menuju bagasi untuk mengambil motor sportnya.
Arjuna melajukan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata. Pikirannya hari ini sedang kacau. Emosi yang bergejolak terus menguasai dirinya. Diikuti rasa sesak di dada, Arjuna menambah kecepatan laju motornya. Menembus asap polusi sore hari yang semakin hari semakin susah untuk diatasi.
Ketika hidupnya ada diposisi titik terendah seperti ini, Arjuna selalu pergi ke suatu tempat yang tenang dan asri sendirian. Ia membutuhkan waktu untuk berkomunikasi dengan alam.
Menghabiskan waktu di sana adalah salah satu ide liburan terbaiknya. Tempat sejuk nan jauh dari hirup pikuk perkotaan yang kejam. Di sana akan sangat tenang dan damai.
Di atas bukit itu Arjuna dapat melihat pepohonan hijau yang menyegarkan mata. Mereka kebetulan tumbuh dengan subur. Arjuna mamakirkan motornya tidak jauh dari tempatnya berdiri. Beberapa meter di depanya ada sebuah danau, dan terdapat beberapa orang yang masih memancing di sana dengan suara gelak tawa candaan dari salah satu temannya yang juga memancing. Tempat ini membuat ingatannya tergiring kemasa lalu yang penuh dengan cinta keluarga. Ya, itu dulu sekali.
Arjuna samar-samar mengingat tempat dan kejadian yang indah itu. Tempat inilah yang paling berarti untuknya. Saat ia berusia delapan tahun, papa dan mamanya masih akur. Mereka masih harmonis. Yaaaah, walaupun sebenarnya mamanya kebanyakan lebih sibuk sendiri dengan teman-teman. Waktu itu Arjuna kecil sangat bahagia. Setiap liburan, tempat ini adalah tempat favorit mereka. Arjuna pernah mendapatkan ikan dengan ukuran besar hasil ia memancing, dan mama langsung memujinya dengan bangga karena waktu itu papa sama sekali belum mendapatkan ikanya. Tetapi semuanya berubah ketika mamanya secara terang-terangan memilih berpaling dan meninggalkan keluarganya demi pria lain. Mama melupakan semua kenangan indah mereka. Menganggap semuanya tidaklah penting. Keluarga Arjuna hancur. Waktu ketika orangtuanya memilih untuk bercerai adalah saat Arjuna berusia tiga belas tahun.
Papa yang ditinggalkan mama mulai sakit-sakitan. Tetapi ia tidak pernah memperlihatkan wajah terlukanya di depan Arjuna. Papa selalu berusaha menunjukkan semuanya akan baik-baik saja. Padahal sesuatu yang baik itu tidak pernah ada. Sampai ketika usianya dewasa, papa mulai mengajarkannya untuk memimpin perusahaan. Beberapa tahun kemudian papa wafat. Selanjutnya Arjuna dibantu oleh pamanya untuk memimpin perusahaan.
Mengingat papanya tiba-tiba membuatnya sedih.
Arjuna melempar batu kerikil secara asal. Seolah-olah emosinya ikut terbuang. Sesak.
"Papa, apa kabarmu di sana semoga Papa baik-baik saja di surga. Aku rindu duduk berdua sambil melepas penat. Aku merindukan Papa!" ujarnya setengah berteriak kepada angin kencang yang berembus, diikuti matanya yang berkaca-kaca.
Tbc...
Facebook @Sim Prabu.
Arjuna menyesap gelas vodka itu hingga tandas. Pikirannya kembali melayang pada kejadian tadi pagi. Saat ia mengunjungi apartemen mamanya untuk mencari tahu keberadaan adiknya, tapi hasilnya lagi-lagi nihil.Arjuna sudah terlanjur mentransfer sejumlah uang yang cukup besar pada mamanya, namun sampai sekarang wanita itu belum mengirimkan berkas yang ia janjikan.Pikirannya saat ini benar-benar kacau. Bukan uang yang ia permasalahkan, tapi ia memikirkan nasib adiknya yang tidak pernah ia ketahui keberadaanya. Ia bahkan tidak tahu jenis kelamin adiknya itu. Malang sekali nasibnya.Sejak mamanya menikah dengan 'pria' itu, Arjuna tidak mau lagi berurusan dengan mamanya. Arjuna bahkan tidak mau tahu siapa ayah tirinya, latar belakang ayah tirinya, keadaan ibunya setelah menikah. Arjuna benar-benar tidak mau tahu. Tapi semakin lama hati kecilnya terbuka, ia merasa perlu mencari adik tirinya yang juga kabarnya diterlantarkan juga oleh mamanya.Sungguh biadab. Ia tidak mau adiknya bernasib sama
"Aku di mana?!" Julia berteriak marah ketika seorang pria asing berkemeja putih datang memasuki kamar dan membuka lapban di mulut Julia secara paksa. Gadis itu memekik, mulutnya terasa panas.Julia terus bergerak-gerak gelisah, menatap pria yang tengah memakai masker warna hitam di depannya dengan penuh waspada. Tanganya terikat dari belakang. Gadis itu jelas tidak bisa melakukan perlawanan. Di balik kepasrahannya Julia terus berusaha melepas ikatannya.Pria di depannya tertawa menatap Julia yang malang. Ia membelai pipi Julia pelan. "Tenang saja Nona cantik. Aku tidak akan menyakitimu kalau kau mau diam," ujarnya hendak mengecup bibir Julia, tapi Julia segera mengelak sehingga kecupan pria itu berakhir di pipi kiri Julia."Lepaskan aku!" bentak Julia dengan geram. Pria itu terus tertawa tidak peduli."Tidak akan!""Lepaskan, atau aku akan teriak!" ujar Julia sekali lagi dengan marah."Kau teriakpun tidak akan ada yang menolongmu," kata pria itu dengan dingin. Ia mendekat, duduk di ran
"Mama benar-benar keterlaluan!" Arjuna berteriak marah dengan suara yang terdengar nyaring."Apa maksud kamu? Tiba-tiba datang dan langsung marah-marah tidak jelas." Lauren ikut berdiri, bertanya degan intonasi yang sama kerasnya. Tatapannya menatap buas kepada putra kandungnya yang semakin kurang ajar itu. Hati kecilnya tidak terima ketika Arjuna terus-terussan membentaknya.Kali ini Lauren tidak menyuguhi air minum untuk Arjuna seperti biasa saat Arjuna mengunjungi apartemennya. Firasat seorang ibu merasakan kalau anaknya akan berkunjung, dan rasanya itu bukanlah hal yang baik untuk hari ini. Tapi sebelum Lauren bergegas keluar, Arjuna sudah terlanjur membuka pintu dengan kasar dengan kemarahan yang ketara. Masuk ke dalam dan langsung meluapkan emosinya yang sedang meluap - luap. Firasat buruknya benar terjadi. Arjuna sekarang begitu marah padanya."Mama..... Mama kenapa tega menjual putri Mama hah?!" pria itu menatap mamanya dengan nanar. Arjuna mengepalkan tangannya dengan erat. Be
Dua minggu berlalu dengan cepat. Selama itu pula Arjuna tidak pernah lagi melihat batang hidung Julia di perusahaanya. Gadis itu pergi entah ke mana seperti ditelan bumi. Mungkin saja gadis itu bersembunyi atau trauma setelah kejadian yang menimpanya waktu itu.Seharusnya gadis itu sudah mendapatkan sanksi, atau lebih buruk ia dipecat secara tidak terhormat. Bolos bekerja tanpa meminta izin, tentu saja melanggar aturan perusahaan.Tapi Arjuna menyadari dia juga ikut andil dari apa yang menimpa Julia sekarang. Sedikit campur tangannya, ia mudah saja menyelamatkan karir Julia, dan Arjuna bertekat akan menebus kesalahannya.Arjuna sadar ia telah salah menilai Julia selama ini.Arjuna menatap arloji di pergelangan tangannya. Pukul delapan malam. Masih ada waktu untuk bertamu. Meski ia tahu bertamu malam-malam di rumah seorang gadis yang tinggal sendiri itu tidak baik. Tapi tekatnya malam ini sudah bulat, ia harus membujuk Julia untuk kembali bekerja dan meminta maaf.***Arjuna menatap rum
Arjuna menatap langit-langit kamar. Matanya memang terpejam, tapi pikirannya melayang entah kemana. Jiwanya masih sepenuhnya terjaga. Kembali teringat empat hari yang lalu di mana Julia mengusirnya dengan tatapan jijik campur benci.Pria itu mengusap wajahnya gusar. Matanya kembali menatap nyalang. Ia bangun dan duduk bersimpuh di atas kasur, merenungi kesalahannya. Dengan keadaan gelisah ia menatap tanggalan di atas meja yang berada tepat di sebelah kasur.Tanggal tiga belas, tercoret dengan lingkaran merah. Arjuna menandai pada tanggalannya. Hari saat dia menodainya. Hari di mana kehormatan adik tirinya sendiri ia renggut.Di tengah keterpurukan rasa bersalah itu, ponselnya berbunyi nyaring.Klik.Arjuna menggeser tombol warna hijau. Mengangkat telpon dengan perasaan jengkel.Siapa malam-malam begini yang berani mengangguku?"Ada apa?""Arjuna, kau tahu....."Arjuna menjauhkan ponselnya. Ia menatap nama kontak di layar ponselnya. Jonatan. Pria yang sekarang masuk kedaftar salah satu
Cuaca sore hari ini sangat cerah. Tetapi tak secerah hati perempuan yang berkali-kali dirundung masalah. Justru dia menganggap semua hari sama saja.Julia memakirkan motornya di bagasi seperti biasa. Dia sudah tidak memiliki mobil karena sudah dijualnya untuk menutupi kebutuhan. Kendaraan satu-satunya yang dia punya sekarang hanyalah motor matic kesayangannya."Lemas sekali," ujarnya lirih seraya membuka jaket dan helm. Ia melihat pada kaca spion, berusaha tersenyum untuk dirinya, namun yang terlihat hanya senyuman keletihan.Hari ini, akhir bulan. Pekerjaan di kantor lumayan melelahkan. Semua tubuhnya terasa lesu. Berbagai masalah yang terus menghampiri semakin membuat mentalnya down. Dia benar-benar merasa seperti zombie yang dipaksa untuk hidup.Julia baru saja berjalan lima langkah menuju pintu yang sudah terbuka. Sampai kehadiran seseorang membuat semua bebannya bagai terangkat, hilang dan lenyap.Dia..."Papa?" Julia memanggil setengah tak percaya. Cepat-cepat ia masuk ke rumah.
Pukul sembilan pagi. Seharusnya Arjuna masih berada di kantor. Berkutat dengan beberapa dokumen penting yang harus segera diteliti dan ditanda tangani. Tetapi akal budinya tak bisa diajak untuk fokus. Otaknya terus meneriakkan sebuah nama, Julia. Tapi tidak untuk pagi ini. Kali ini untuk yang kedua kalinya ia datang berkunjung ke rumah Julia. Arjuna cuma ingin memastikan kalau Julia baik-baik saja. Karena di kantor ia tidak melihat kehadiran Julia, dan Julia juga tidak mengkonfirmasi perihal dia tidak masuk hari ini. Hal itu membuat Arjuna agak was-was. Tidak ada satupun yang tahu kalau Arjuna datang ke sini. Termasuk Ruben. Dia hanya bilang kepada Ruben bahwa ia memiliki urusan sebentar, lalu pergi ke luar. Pintu tidak terkunci saat Arjuna hendak mengecek rumah Julia yang sepi tersebut. Bisa dipastikan si pemilik rumah ada di dalam. Tanpa permisi Arjuna main masuk begitu saja. Dirinya berharap tak akan ada orang yang menuduhnya pencuri jika ketahuan masuk ke rumah orang sembara
Dua mangkuk mie ayam berserta dua gelas es teh tersaji di atas meja. Arjuna mencicipi bagiannya tanpa sungkan. Tadi sebenarnya Arjuna hampir mengajak Julia makan di restoran langganannya, namun Julia menolak mentah-mentah. Malahan Julia memaksanya untuk makan di sini, warung mie ayam milik Pak Budi. Di sini cukup ramai, hanya saja kebanyakan pembeli dari kalangan pelajar yang masih memakai baju putih abu-abu. Sesekali mereka terdengar heboh dengan canda tawa bagi mereka yang datang bergerombolan."Cepat dimakan!" perintah Arjuna. Julia sama sekali belum menyentuh makanannya, padahal tadi dia yang paling ngotot mengajak ke sini.Julia melirik Arjuna, lalu mengangguk. "Iya."Lima menit berlalu.Mie ayam milik Arjuna sudah habis, sedangkan Julia masih menyantapnya dengan malas. Sesekali Julia asyik melamun. Sesekali juga dia mamaksakan untuk fokus, walau tatapannya kadang terlihat kosong. Kesabaran Arjuna benar-benar diuji kali ini."Kenapa? Tidak enak?" tanya Arjuna menaikkan alis kanann