HATI Sukarta kontan mencelos. Ia tak lagi bisa bersikap masa bodoh dan sok pemberani. Parasnya sudah berubah seputih kapas, sementara keringat dingin memercik di dahi dan pucuk hidungnya.Ketika kemudian prajurit yang berdiri di hadapannya bergerak, Sukarta menangkap sebilah pisau kecil yang bagian tajamnya berkilat-kilat pada genggaman tangan si prajurit. Napas Sukarta seolah berhenti ketika mulutnya yang menganga dimasuki oleh tangan kiri prajurit tersebut.Suasana di dalam ruangan tersebut berubah tegang ketika jemari si prajurit berhasil memegang lidah Sukarta. Dengan kencang, prajurit itu menjepit lidah gembong perampok dan membetotnya keluar.Bersamaan dengan itu, tangan si prajurit yang memegang pisau terangkat. Siap menyayat daging lidah yang telah menjulur keluar. Namun belum lagi mata benda tajam itu menyentuh permukaan lidah, satu teriakan terdengar."Tunggu!"Semua kepala berpaling ke arah sumber suara. Ternyata salah satu pemuda anggota komplotan Kebo Cemeng yang bersuara
MATAHARI sudah tinggi, nyaris mencapai puncak langit. Namun ditunggu-tunggu sejak tadi, Tumanggala tak kunjung kembali ke rumah. Padahal prajurit itu tadi berkata hanya pergi sebentar.Terang saja hal ini membuat bibi Citrakara kelimpungan sendiri. Satu lagi yang membuatnya tambah bingung, sejak tadi pagi Citrakara juga tidak keluar dari kamar."Masa iya sesiang ini dia belum bangun?" gumam bibi Citrakara, sembari memandangi meja makan.Di atas meja tersebut, ketela yang bibi Citrakara rebus pagi-pagi tadi sudah dingin. Jangan tanyakan bagaimana wedang jahe yang dibuat berbarengan dengan dimasaknya tanaman umbi tersebut.Entah sudah berapa kali bibi Citrakara melongok ke belakang, ke arah sungai. Ketika dilihatnya di kejauhan sana Tumanggala sedang berlatih, pikirannya jadi sedikit lega."Dasar anak-anak muda aneh. Apa mereka tidak merasa lapar, sampai siang begini belum juga ada yang sarapan?" gumam wanita tua itu lagi.Pikir punya pikir, bibi Citrakara akhirnya memilih mendatangi ke
JIKA pertanyaan Tumanggala tadi membuat Citrakara merasa geli, tidak dengan kalimat barusan. Ucapan itu membuatnya seolah membeku seketika, sampai-sampai hanya bisa memandangi Tumanggala yang kini telah berada tepat di hadapannya. Di dalam hati Citrakara membatin, ternyata Kakang Tumanggala mempedulikan perasaanku. Pikiran itu membuat getar-getar di dalam dirinya semakin menjadi, membuat dadanya seolah sesak karena jantung yang mendadak berdegup lebih kencang. Terlebih kini Tumanggala tengah menatapnya dengan dalam. Lalu Citrakara merasakan tangannya di bawah sana diraih dan kemudian digenggam erat-erat. "K-Kakang ... a-aku ..." Citrakara juga merasakan lidahnya mendadak kelu. "Aku minta maaf untuk kejadian tadi, Kara. Aku sama sekali tidak bermaksud membuatmu bersedih," ujar Tumanggala. Nada suaranya terdengar sendu. Citrakara hanya terdiam, benar-benar tak mampu berkata-kata. Apalagi setelah dipikir-pikir, dalam kejadian tadi justru dirinyalah yang telah berlaku lancang. Malah b
SELEPAS melakukan pemeriksaan terhadap Sukarta dan dua anak buahnya, Rakryan Mantri Tumenggung mengajak Rakryan Rangga dan yang lain-lain berunding. Sang panglima merasa perlu segera menyusun rencana pencarian.Sebelumnya, siapa pembokong keji yang menewaskan ketiga tahanan tidak terkejar. Rakryan Rangga, Senopati Arya Mandura, Palasara dan beberapa prajurit yang turut mengejar kembali dengan tangan kosong.Meski kecewa, Rakryan Tumenggung tak mau berlarut-larut menyesali keadaan. Baginya, lebih baik segera bertindak walaupun hanya berbekal sepotong keterangan dari mulut Sukarta."Jenggala itu luas, ke mana kita harus mencari keberadaan Gusti Puteri. Bagaimana pendapat kalian?" ujar Rakryan Tumenggung membuka pembicaraan.Sang panglima memandangi satu demi satu semua yang duduk di hadapannya. Tampak mereka juga saling pandang, seolah berunding dengan mata siapa yang akan bertindak sebagai juru bicara."Mohon ampun, Gusti Tumenggung ..." Palasara akhirnya minta izin menanggapi. "Jika m
KEDATANGAN Rakryan Mantri Tumenggung bersama Rakryan Rangga ke ruang tahanan bawah tanah membuat para prajurit penjaga terkejut. Seorang lurah prajurit yang bertindak sebagai kepala pasukan yang berjaga langsung menghadap kedua pejabat tinggi tersebut."Antar kami ke ruang tahanan Senopati Arya Lembana!" perintah Rakryan Tumenggung, setelah menerima basa-basi dari pasukan penjaga yang menyambutnya."B-baik, Gusti," sahut lurah prajurit yang baru datang, lalu memimpin jalan menuruni tangga masuk.Arya Lembana tengah termangu-mangu di dalam ruang tahanannya. Senopati itu agaknya masih berusaha memecahkan rahasia diketemukannya seragam prajurit Panjalu di tempat kejadian penculikan Dyah Wedasri Kusumabuwana.Saat tengah asyik menyusun dugaan di dalam kepala, suara nyaring beradunya logam di pintu mengalihkan perhatian Arya Lembana. Senopati itu seketika bangkit dari duduknya ketika melihat siapa yang datang."Gusti Tumenggung ..." Arya Lembana menghaturkan sembah kepada atasannya."Tidak
PARA pengunjung di warung makan dekat pertigaan itu sontak berdiri. Mereka kaget sekaligus merasa penasaran tatkala mendengar suara berderap kencang dari arah jalanan tanah di muka warung. Tepat pada saat para pengunjung berdiri memandangi jalan, sepasukan prajurit berkuda melintas. Jumlahnya tak kurang dari 50 orang, dipimpin oleh seorang bekel bersama dua lurah prajurit. Suara gemuruh itu ditingkahi dengan ringkikan kuda, juga bentakan-bentakan para penunggangnya. Para pengunjung warung langsung berkasak-kusuk di antara mereka, sembari mengikuti arah kepergian pasukan tersebut. "Mau ke mana mereka?" tanya salah seorang pengunjung warung pada temannya. "Mana kutahu," sahut yang ditanyai acuh tak acuh. "Sudah, ayo makan lagi. Ada prajurit lewat saja heran." "Bukan heran," sergah pengunjung pertama. "Ini sudah kali ketiga aku mengetahui ada sepasukan prajurit meninggalkan Kotaraja. Kemarin juga ada, lalu sekarang. Sepertinya ada sesuatu yang gawat tengah menimpa kerajaan kita." "B
MENJELANG petang, lelaki bercaping tiba di sebuah dawuhan (waduk) di Paradah. Sinar matahari kekuningan dan langit yang dipenuhi awan membayang di permukaan air.Dawuhan itu berbentuk lonjong membujur utara-selatan, disanding sebatang sungai besar dan sederet pebukitan membiru di sisi timur. Sementara di selatan sana Gunung Kampud berdiri gagah.Lelaki bercaping mengendap-endap di balik pepohonan yang tumbuh memenuhi tepian dawuhan di sisi barat. Dari balik caping ia mengamati keadaan di sekeliling dawuhan, tetapi tidak menemukan tanda-tanda yang menarik perhatian."Semoga saja bekel tua itu datang kemari besok. Aku benar-benar membutuhkan bantuannya sekarang," gumam lelaki tersebut. Gerahamnya tampak mengeras.Ia lantas berkelebat ke arah timur, menyeberangi sungai lebar yang airnya tidak terlalu dalam. Dengan lincah lelaki bercaping meloncat dari satu batu ke batu lain yang mencuat di permukan sungai.Tepat di sebelah sungai itu terdapat deretan pebukitan dipenuhi pepohonan menghija
GELAPNYA malam mulai menyungkupi tlatah Panjalu. Di dataran tinggi seperti Hantang, kabut yang turun sejak menjelang sore sudah membuat suasana remang-remang sedari tadi. Ditambah hawa dingin mencucuk tulang.Di kediaman bibinya, Citrakara tengah menghadap wedang jahe hangat dalam gelas bambu di ruang tengah. Tumanggala duduk di sebelahnya, tampak sibuk mengupas ubi jalar rebus.Ketika kulit tanaman umbi itu berhasil dikelupas, asap mengepul dari permukaannya yang berwarna ungu gelap. Tanpa memedulikan rasa panas, Tumanggala enak saja memasukkan sepotong besar ubi jalar ke dalam mulut."Kau belum bilang pada Bibi, Kakang?" tanya Citrakara yang juga tengah mengunyah ubi jalar.Kalau Tumanggala langsung memegangi ubi yang sedang ia santap dengan tangan, Citrakara makan beralaskan piring tanah liat kecil. Perempuan itu juga menyantap makanannya dengan perlahan-lahan."Belum," jawab Tumanggala yang masih mengunyah."Tunggu apa lagi?" desak Citrakara lagi. "Bukankah lebih cepat akan lebih