UCAPAN Sasi bagaikan sambaran petir di siang bolong bagi Ranajaya. Sungguh sulit diterima akal, bagaimana mungkin enam orang anak buahnya bisa gagal membekuk seorang prajurit rendahan Kerajaan Panjalu bernama Tumanggala.
Terlebih dua di antara keenam orang itu berkemampuan lumayan. Salah satunya adalah Sasi yang berhasil selamat. Sedangkan empat sisanya memiliki kemampuan olah kanuragan di atas rata-rata.
Sementara di tempatnya masing-masing, Kridapala dan Wipaksa tengah mempunyai pemikiran sama. Ternyata Tumanggala tidak melarikan diri jauh-jauh setelah mendapat serangan di ruang tahanan bawah tanah di Kotaraja.
"Jangan mengarang cerita, Sasi! Bagaimana mungkin prajurit tengik itu bisa mengalahkan kalian berenam? Dia hanya seorang prajurit muda, prajurit rendahan!" ujar Ranajaya setengah membentak.
Sasi telan ludahnya susah payah. Lelaki dengan rambut ikal awut-awutan itu sudah sejak tadi-tadi merasakan tenggorokannya kering. Untuk menelan ludah pun
PADA rembang petang yang sama, Arya Lembana tampak mondar-mandir dengan wajah cemas di halaman tempat kediamannya. Sang senopati tengah menunggu kabar dari tiga pasukan kecil prajurit yang ia tugaskan mencari Kridapala dan Wipaksa. Hingga hari hampir gelap belum satu pun dari ketiga pasukan kecil itu yang kembali. Arya Lembana yang telah menunggu di halaman sejak dua-tiga penanakan nasi yang lalu jadi gelisah sendiri dibuatnya. Tepat ketika sang surya menghilang di kaki langit barat, terdengar suara derap kuda memasuki halaman tersebut. Wajah Arya Lembana seketika berubah semringah, meski ia belum tahu siapa yang datang. "Siapa mereka?" tanya sang senopati begitu melihat yang datang adalah lima orang berkuda. Wajah semringah Arya Lembana berubah penuh tanda tanya. Keningnya berkerut dalam-dalam. Ia ingat betul, dari sekian pasukan kecil yang keluar atas perintahnya hari ini tak ada satu pun yang hanya terdiri atas lima prajurit. Kerutan di ken
RAKRYAN Rangga dan Senopati Arya Lembana sama-sama menyorotkan keheranan yang amat sangat pada tatapan mata masing-masing.Lebih-lebih Arya Lembana sebagai atasan kedua orang tersebut.Ada urusan apa antara Wipaksa dengan Tumanggala? Mengapa lurah prajurit itu sampai mengirim orang ke dalam ruang tahanan untuk membunuh prajurit tersebut? Dan bukankah mereka baru saja bekerja sama menggulung gerombolan Begal Alas Wengker?Sementara itu Rakryan Rangga ingat satu hal. Arya Lembana membawa seseorang bernama Wipaksa ketika menghadap dirinya di balai paseban beberapa waktu lalu. Wipaksa diperkenalkan sebagai pemimpin pasukan yang berhasil merebut kembali upeti raja dari penguasaan begal."Lembana, bukankah lurah prajurit bernama Wipaksa itu adalah anggota pasukanmu?" tanya Rakryan Rangga kemudian pada sang senopati."Benar sekali, Gusti," jawab Arya Lembana cepat."Hmm, kalau begitu ada yang tidak beres dalam pasukanmu, Lembana," kata Rakryan Rangga
HIDUP tak selamanya berisi ujian dan cobaan. Pun tak selalu menyebabkan tangis dan kesedihan. Sepanjang bumi masih berputar, begitu pula roda kehidupan anak-anak manusia yang hidup di atasnya.Demikianlah yang dialami Tumanggala. Usai didera masalah demi masalah, serta nyawanya nyaris lepas direnggut tangan-tangan jahat, sang prajurit Panjalu mendapat kabar baik pagi itu."Kau tidak sedang bercanda, bukan?" tanya Tumanggala kepada Wyara, orang yang membawa kabar tersebut.Paras Tumanggala menampakkan air muka bingung. Ditatapnya Wyara dengan pandangan penuh tanda tanya. Bukannya tak mau percaya. Tapi kabar yang dibawa sahabatnya itu amat tak disangka-sangka. Meski tentu saja Tumanggala sangat gembira mendengarnya.Wyara tertawa mendengar pertanyaan itu."Aku tidak bercanda, Tumanggala. Aku mendengarnya langsung sewaktu Gusti Senopati menerima tetamu dari istana," sahutnya."Siapa mereka?" tanya Tumanggala, penasaran siapa tamu dari istana ya
TAK sampai sepeminuman teh berselang, Arya Lembana tampak meninggalkan kediamannya bersama Tumanggala. Selusin prajurit mengawal sang senopati. Debu tebal mengepul di udara saat kaki-kaki kuda rombongan itu melintasi jalan tanah nan kering. Tanpa sepengetahuan siapa pun, dua pasang mata mengawasi kepergian Arya Lembana dan rombongan. Pemilik dua pasang mata itu bersembunyi di balik semak-semak, tak jauh dari kediaman sang senopati. Dua pengintai di balik semak saling pandang begitu mengenali siapa yang dibawa sang senopati. Mereka yakin tidak salah lihat. Yang bersama Arya Lembana tadi pastilah Tumanggala. "Mau dibawa ke mana prajurit sialan itu?" tanya pengintai yang satu pada rekannya. Yang ditanya angkat bahu."Mana aku tahu, Kang," jawabnya cepat. "Kalau begitu, kita harus segera mencari tahu," kata pengintai pertama. "Bagaimana caranya?" tanya pengintai kedua dengan tatapan tak mengerti. Pengintai pertama menyeringai
UPACARA pemberian anugerah bagi Tumanggala berlangsung di Bangsal Pagelaran. Para pembesar dalam tata keprajuritan Kerajaan Panjalu turut hadir menyaksikan. Termasuk Rakryan Tumenggung, Rakryan Rangga, para senopati, dan masih banyak lagi. Sebelum upacara dilangsungkan, Tumanggala didandani dengan penampilan jauh lebih baik. Wajahnya yang telah dibersihkan serta dipoles para juru rias, tampak semakin gagah dan berseri-seri. Seisi bangsal penuh oleh para tetamu, dengan Tumanggala menjadi sorotan utama. Upacara dimulai dengan satu ritual yang dilakukan oleh sekelompok pandita istana. Suasana berubah hening tatkala Rakryan Tumenggung membawa Tumanggala menuju ke Bangsal Siti Hinggil. Keduanya menghadap Sang Prabu yang duduk di atas singgasana. Rakryan Demung yang berdiri di dekat singgasana kemudian maju ke depan. "Wara-wara titah," seru Rakryan Demung, yang didengarkan baik-baik oleh semua yang ada di sana. Apa yang diucapkan oleh Rakryan Demung adalah
TUMANGGALA pacu kuda tunggangannya kencang-kencang. Hewan tersebut benar-benar tak dibolehkannya melambat sedikit pun. Teriakannya terdengar nyaris tanpa henti. Terus menggebah setiap saat. Berlari sekencang itu membuat Tumanggala cepat sampai tujuan. Jarak sejauh lima belas ribu depa (sekitar 27 kilometer) antara Dahanapura dan Surawana, ditempuhnya hanya dalam waktu beberapa peminuman teh. Matahari baru saja tergelincir mendekati kaki langit sebelah barat ketika kuda Tumanggala memasuki halaman rumah. Anaknya yang tengah bermain dengan sang ibu, langsung berlari menghampiri. "Ayaaaaah!" seru bocah berusia tiga tahun tersebut dengan riang. "Anakku," balas Tumanggala seraya menyambut tubrukan anaknya. Diangkatnya bocah tersebut, dibawa masuk ke dalam rumah. "Syukurlah kau cepat kembali, Kakang," ujar isteri Tumanggala sembari mengekor langkah suaminya. Tumanggala meletakkan anaknya ke atas balai-balai beralas bambu di ruang dalam. Meli
KEESOKAN hari, Triguna mencari-cari cara untuk dapat keluar dari asrama prajurit. Bukan hal mudah, sebab dirinya berada dalam pengawasan khusus atas perintah Senopati Arya Lembana.Triguna tak ubahnya tawanan dalam asrama tersebut. Berbeda dengan Tumanggala yang sudah terbebas dari segala masalah yang membelitnya. Namun demikian Triguna tak patah semangat.Peluang emas akhirnya datang tatkala waktu latihan tiba. Seluruh prajurit dalam asrama diperintahkan keluar mengikuti latihan. Tak terkecuali Triguna. Ia bergegas menyelipkan lempir rontal berisi petunjuk untuk menemui Kridapala ke balik angkin.Para prajurit dibawa menuju ke sebuah lapangan luas. Letaknya tak jauh dari asrama. Dalam perjalanan, Triguna berhasil menyelinap keluar dari barisan. Langsung menyuruk ke balik semak belukar di tepi jalan."Semoga tak ada yang melihat tindakanku ini," desis Triguna dengan wajah tegang. Agak cemas, ia pandangi rombongan prajurit yang tengah menuju ke tempat lati
TRIGUNA langsung meninggalkan beringin besar itu begitu berhasil membaca guratan-guratan di kulit pohon. Matahari tahu-tahu saja sudah tinggi di atas kepala. Ia musti cepat-cepat kembali ke asrama. Agar tidak memicu kecurigaan, Triguna harus masuk asrama bersama para prajurit lain. Untuk itu ia pun bergegas menuju ke lapangan tempat latihan dilangsungkan. Ia berniat mengendap-endap masuk ke dalam barisan latihan. "Sayang sekali aku tidak dapat langsung menemui Bekel Kridapala hari ini juga," gumam Triguna sembari menuju ke lapangan. Lalu terdengar desah napasnya, begitu panjang. Sebetulnya Triguna ingin langsung menuju tempat yang disebutkan dalam guratan di batang pohon tadi. Namun ketika merasakan hari sudah semakin gerah, dirinya menjadi bimbang. Jika menemui Kridapala saat itu juga, dirinya harus lebih lama lagi meninggalkan latihan. Ini bisa membuatnya mendapat masalah. Sebab, pasti akan ada yang mengetahui jika dirinya menghilang dari latihan ha