Leina terbangun dari tidurnya usai mendengar suara siulan aneh. Dia mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali— lalu melihat sekitar. Kelopak mata masih berat, benar-benar mengantuk.Jarum jam menunjuk ke pukul tujuh pagi. Normalnya, dia sudah menyiapkan sarapan. Akan tetapi, aktifitas semalam membuat sendi-sendi tubuh lemas— tak sanggup untuk bergerak leluasa.Suasana kamar Arsen remang-remang. Sinar matahari tak mampu menembus kelambu abu-abu jendela."Barusan itu siulan ... " gumam Leina menoleh ke arah jendela. Ada orang yang bersiul di luar sana. Tapi, siapa? Apa ditunjukkan ke sini?Aneh, rasanya tidak asing. Dia bingung, kenapa rasanya kenal dengan siulan tersebut. Bukankah bunyi siulan pasti sama saja?Aneh.Arsen ikut membuka mata. Pria yang tidur di sebelahnya itu sudah tahu Leina bangun dari tadi. Dengan suara agak malas, dia menyambut, "selamat pagi, Leina— ada apa?""Eh ... tidak apa." Leina tersadar kalau tidur satu ranjang dengan Arsen, dan di bawah selimut— tubuh mereka t
Leina puas menghabiskan waktu berdua dengan Arsen dengan menonton film di ruang tengah. Hari ini lebih istimewa daripada kencan-kencan mereka sebelumnya. Sangat istimewa. Iya, karena sekarang mereka adalah pasangan kekasih. Hari jadian mereka adalah hari ulang tahun Arsen. Jadi, tidak ada alasan tidak merayakannya tahun depan. Malam harinya, Leina masuk ke kamar untuk beranjak tidur. Namun, ia baru sadar ketika bantalnya tidak ada di atas ranjang. Dia mencari di sekitar, tetap tidak ada. Terpaksa, dia keluar kamar— lalu masuk ke dalam kamar Arsen. "Arsen!" panggilnya. "Apa?" Arsen berjalan ke ranjang sambil mengancingkan kemeja tidurnya. "Bantal— oh?" Leina heran melihat bantalnya sudah ada di sebelah bantal Arsen. "Kenapa bantalku ada di kasurmu?" Arsen tersenyum padanya. Dia menjawab, "sudah jelas 'kan? Mulai sekarang, kamu tidur denganku." "Kenapa?" "Ada yang salah?" Pipi Leina memerah. "Tapi ..." "Sudah telat kalau malu, Leina," balas Arsen sambil menahan t
Arsen membiarkan Leina untuk beristirahat sejenak. Mereka saling memandang, saling tersenyum. Leina menggigit bibir bawah. Ia tak henti menatap Arsen, terangsang berat. Tak hanya dirinya, Arsen pun tergoda dengan wajah cabul wanita itu. Dia berkata lirih, "jika papa kamu masih hidup, dia pasti membunuhku karena berani menyetubuhi putrinya yang masih bocah ini." "Aku bocah? ... Tapi kenapa kamu buas sekali mainnya sama bocah begini?“ Suara Leina sengaja dibuat begitu manja serta setengah mendesah, semua untuk merayu Arsen. Arsen mengecup bibir Leina, kemudian kecupannya menyebar ke pipi dan berhenti di cuping telinga kiri. Dia berbisik, ”... soalnya kamu menggairahkan sekali.“ Dia mendesah lirih. Miliknya terus mengoyak bagian dalam Leina, menggaruk-garuk, memberikan tekanan maju mundur hingga keringat bercucuran deras. "Arsen..." Tubuh Leina. menegang lagi. Dia tidak bisa lama-lama kalau bercinta dengan cara yang liar begitu. Arsen tak mau menyia-nyiakan apa yang ada d
Leina menyiapkan makan malam seperti biasa. Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, dan semua hidangan sudah tersaji di meja. Namun, wanita itu hanya duduk diam di kursinya— menanti Arsen pulang.Dia tidak akan makan sebelum ada Arsen. Ini sudah terjadi selama tiga tahun belakangan, jadi dia sudah terbiasa.Sesekali, dia menengok keluar jendela— terlihat kalau hujan sudah turun. Menurut perkiraan cuaca, hujan akan terus melanda di malam hari sepanjang bulan ini.Ini akhir tahun, banyak yang harus dipersiapkan, jelas membutuhkan banyak uang. Uang dari kasus-kasus sebelumnya sudah terlanjur masuk ke deposito."Untung ada kasus lagi, jadi nanti aku bisa belanja untuk pesta tahun baru ..." ucap Leina membayangkan pesta bakar-bakar di tahun baru bersama Hans dan yang lain.Tak berselang lama, terdengar deru kendaraan masuk ke dalam garasi. Arsen sudah pulang. Suara langkah kakinya saat menaiki anak tangga juga terdengar.Pria itu mencium aroma sedap begitu masuk ke ruang makan. "Kam
Keesokan harinya ...Arsen memilih-milih pakaian yang harus dikenakan oleh Leina saat penyusupan nanti malam. Semua baju seksi sudah tersebar di atas ranjang— tapi dia tak ingin Leina memakainya."Kenapa semuanya rok pendek?“ Dia berkomentar.Leina, yang berdiri di sebelahnya, menjawab, "ini baju-baju seksi pemberian Serena yang cocok untuk ukuranku. Mau bagaimana lagi, bukannya pelacur harus berpakaian begini?”"Sayang— jujur saja, wajahmu ini terlalu polos untuk jadi pelacur,“ sahut Arsen sembari menangkup pipi Leina dengan kedua tangannya. Dia terlihat tak malu-malu lagi menunjukkan sisi gemasnya.Berbeda dengannya, Leina masih malu. Dia masih belum terbiasa dipanggil dengan sayang— rasanya memang seperti mimpi.Dia menggenggam kedua pergelangan tangan Arsen, berusaha untuk melepaskan pipinya. Akan tetapi, tangan pria itu masih teguh menangkupnya. "Lepas, kita harus serius ini— nanti malam rencana kita harus berhasil. Jadi, gimana? Aku harus pakai yang mana?” pintanya.Arsen mele
Arsen merenggangkan kedua paha Leina, membuat rok gaunnya tersingkap sampai atas. Alhasil, celana dalam hitam yang dikenakannya terlihat jelas. Seksi, menggoda, menggairahkan. Arsen terangsang berat hanya karena melihat itu. Dia sendiri juga tak mengerti kenapa seolah hilang kontrol diri. Padahal, selama bertahun-tahun, dia sanggup menahan birahi. Akan tetapi, sekarang— melihat Leina seksi sedikit, bawaannya langsung tegang. Apa karena dia sudah merasakan kenikmatan saat bersama Leina? Kenikmatan yang susah ditolak? Dia seperti kembali ke masa remaja dimana baru mengenal nikmatnya surga dunia, dan itu membuatnya ketagihan. Tak peduli ocehan wanita itu, dia buru-buru menurunkan celana dalam yang dipakai. Pemandangan indah pun termpang di depan muka— Leina sudah membiusnya akhir-akhir ini. Makin hari, dia makin dibuat gila, tergila-gila dengan area sensitif kekasihnya itu. Tanpa basa-basi, dia menciumi paha atas Leina, merasakan kelembutannya, mencium aroma khas kesegara
Leina dan Arsen berangkat menuju ke lokasi tujuan. Kawasan Rose memang cukup luas, tidak pernah kelihatan ada mobil patroli polisi. Tempatnya agak jauh dari pusat kota.Beruntung, klub malam milik sang bos judi alias Franco berada jauh dari kediaman Nathan. Jadi, Leina sedikit lega, kemungkinan bertemu pria itu atau anak buahnya menurun.Arsen tidak berpikir demikian, sejak turun mobil, dia sudah waspada sekitar. Entah mengapa, firasatnya buruk— apa mungkin Nathan atau anak buahnya masih mengintai?Dari parkiran, suara-suara keras dari musik dalam klub sudah terdengar. Terlihat banyak sekali anak muda yang berhamburan di depan untuk menanti giliran ijin masuk ke dalam.Ada dua petugas pria yang menjaga pintu masuk. Merekalah yang bertugas memilih siapa saja yang boleh masuk.Iya, untuk masuk pun selain membutuhkan tiket yang melingkar di pergelangan tangan, seseorang harus berpenampilan menarik. Orang-orang yang punya selera berpakaian jelek serta dandanan norak dilarang masuk.Leina
Arsen melihat sekitar parkiran, mencari keberadaan serena. Akan tetapi, sejauh mata memandang, tidak ada siapapun di sana, kecuali beberapa penjaga yang berpatroli. Area parkiran khusus VIP pun tidak ada tanda-tanda keberadaan Serena. Dia berhenti sejenak di bangunan samping klub malam itu, dan hendak menelpon Serena. Sebelum melakukan itu, dia dikejutkan dengan suara langkah kaki yang mendekat dari belakangnya. Karena sosok itu tidak mengeluarkana aura membunuh, makanya Arsen tidak mendeteksi keberadaannya. "Halo, Ouro," sapa orang tersebut. Suara asing yang tak dikenali oleh Arsen. Dia berbalik badan— dan tahu-tahu sebuah tinju di arahkan ke wajahnya. Secara reflek Arsen menepis tinju tersebut. Lalu, membalasnya dengan melepaskan pukulan pula. Namun, orang itu berhasil menghindar pula. Arsen memperhatikan sosok pria tersebut. Kelihatannya memang asing, tapi entah mengapa— dia seperti pernah melihatnya di suatu tempat. Apa cuma kebetulan? Tetapi, yang pasti— orang itu pasti be