Makan malam hari ini cukup istimewa karena klien ikut makan. Sudah lama sejak, Arsen memperbolehkan kliennya untuk makan di rumah. Iya, biasanya memang khusus untuk klien yang sedang diintai bahaya seperti Reno sekarang.Leina menyiapkan semuanya di atas meja. Dia senang melihat ketiga pria— Arsen, Reno dan Hans duduk manis."Aku membuat daging panggang, semoga Tuan Reno suka— dan Hans, kamu suka juga ini 'kan? Ikan panggang ..." katanya dengan senyum gembira."Terima kasih, Nona Asisten, dan Tuan Detektif," kata Reno dengan sopan. Dia seperti tidak enak. "Sebenarnya— aku tidak enak kalau ikut makan di sini."Arsen tersenyum palsu saat menjawab, "tidak masalah, kamu adalah klien kami. Biasanya kami akan menaha klien kami di sini jika situasinya darurat sepertimu."Hans melirik pria itu, merasa ada yang tidak beres. Dia sering melihat Arsen tersenyum palsu ke klien, tapi jarang sampai meliriknya dengan pandangan misterius. Apa pria ini mencurigakan?Leina masih sibuk menyajikan piring
Keesokan harinya ...Tidur Leina tidak tenang akibat mendengar suara-suara berisik. Dia membuka matanya, melihat sekitar yang masih sedikit gelap.Saat melihat jam analog yang ada di atas meja, terlihat kalau saat ini masih jam lima pagi.Dia menguap, dan kembali mendengar suara berisik di bawah. "Suara apa itu?"Suara-suara seperti barang-barang berjatuhan pun terdengar pula. Awalnya lirih, tapi kemudian seperti ada benda kaca yang terjatuh hingga membuat Leina terkejut."Apa? Apa itu Hans?" Dia panik, jadi langsung turun dari ranjang— kemudian berlari keluar dari kamar.Dia menuruni anak tangga, menuju ke sumber suara yang kemungkinan ada di lantai dua."Hans!“ panggilnya dengan waspada. Berhubung dia tidak tahu itu musuh atau Hans, jadi dia mengambil tongkat bisbol yang selalu tersedia di samping meja dekat anak tangga. "HANS!?”Berhubung cahaya matahari masih belum terang, jadi suasana rumah ini juga masih agak gelap. Meski demikian, Leina tetap sanggup melihat sekitar.Tap.Tap.
Sesuai kesepakatan, Leina pergi dari rumah menuju ke Kafe Coklat yang dimaksud Reno. Dia tidak memberitahu Arsen, cuma beralasan kalau sedang berbelanja ke supermarket terdekat.Begitu masuk ke dalam kafe, Leina langsung mengetahui tempat duduk Reno. Iya, itu karena tidak ada orang lain saat ini di kafe.Biasanya kafe ini ramai hanya di sore sampai malam, kalau pagi sampai siang begini jarang dimasuki pelanggan.Leina mendekati tempat duduk Reno yang ada di dekat jendela, lalu berhenti di hadapannya.Reno menyambut, "hai, kamu beneran datang." Senyuman hangat mengembang di bibir pria itu. Dia mempersilakan duduk. "Kamu tolong duduk dahulu."Leina duduk di kursi yang berhadapan dengan Reno. Dia berkata, "sebenarnya ada apa? Siapa kamu sebenarnya? Kamu ternyata berbohong tentang semuanya? Apa kamu berniat untuk balas dendam ke Arsen? Apa kamu—""Tenang dahulu, tenang, kamu terlalu banyak pertanyaan.""Bagaimana aku bisa tenang— orang yang mengetahui tentang Kafe Gorey bukan orang sembar
Si pengintai datang ke dalm Kafe.Leina masih tertunduk, memikirkan apa yang harus dilakukan sekarang. Dia sama sekali tidak menyadari orang tersebut."Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa Arsen tidak mau membicarakan ini denganku? Apa dia sungguh mengenal wanita itu? Kenapa wanita itu malah ..." ucapnya terhenti.Pertanyaan demi pertanyaan terus memenuhi benaknya. Ada yang tidak beres di sini. Jika benar, bos dari kriminal yang mengganggu Arsen adalah si penghipnotis, maka— apa tujuannya?Suara tak asing memanggilnya, "Sayang ..."Leina mengangkat wajah, dan tersadar kalau sudah ada sang kekasih di hadapannya. Iya, itu adalah pengintai yang sedari tadi ditakuti oleh Reno."Arsen?" Leina heran dengan kehadirannya. "Kamu di sini?""Kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu bohong tadi? Apa ini belanja?" tanya Arsen dengan raut wajah serius. Nada bicaranya seperti agak marah.Leina merasa bersalah. "Maaf, aku tidak bermaksud berbohong padamu, aku cuma ...""Ketemu dengan seorang pria?""Hmm .
Diseret-seret terus membuat Arsen merasa aneh. Tetapi, dia menurut saja sampai masuk ke dalam kamar tidur.Di situ, dia melihat Leina menutup pintu, menguncinya. Setelah itu, dia balik badan dan menaruy ponsel di atas meja dengan posisi terbalik. Dengan demikian, cahaya senter dari kamera belakang menyorot ke langit-langit. Pencahayaan ruangan ini sedikit lebih baik.Untuk menghemat daya, Arsen mematikan senter di ponselnya. Dia bertanya, "Sayang, ada apa? Kamu kayaknya takut? Ada apa? Kamu takut kegelapan?""Bukan takut gelap, tapi aku takut hantu.""Hantu?""Iya ..." Leina mendekat ke jendela, lalu menutup tirainya. Dia menghela napas panjang sambil mengelus dada.Arsen menahan tawa. "Aku baru tahu, ternyata kamu penakut. Hantu itu tidak ada, Sayang.""Terserah kamu ngomong apa. Pokoknya aku takut ya takut." Leina beralih duduk di tepian ranjang, masih mengatur napas dan detak jantungnya. Dia takut dengan apa yang tadi dilihat. Kalau memang tidak ada orang, benarkah tadi hantu?Tapi
Arsen sudah pergi selama lima menit, dan selama itu pula hanya ada keheningan di kamar.Akan tetapi, Leina masih bisa mendengar sirine mobil polisi di luar, dan deru kendaraan bermotor. Banyak orang yang pergi untuk mencari penginapan. Mungkin itu yang terbaik daripada berada di tempat gelap sendirian dan kedinginan.Leina terdiam lama. Dia masih bersembunyi di bawah selimut, menantikan kehadiran sang kekasih. Sosok bayangan tadi kembali muncul di pikirannya. Itu membuat tengkuknya merinding lagi.Dia menepis pemikiran itu dengan menguatkan diri, "Tidak, tidak ada hantu. Hantu itu tidak ada. Arsen akan segera ke sini. Tidak perlu takut."Saat ada suara langkah kaki, Leina langsung menurunkan selimut, melihat ke pintu. Dia berharap itu Arsen."Arsen ... Arsen datang ..." Dia gembira. Detak jantungnya masih tidak beraturan. Tetapi, setidaknya mendengar langkah kaki itu, dia mulai tenang.Akan tetapi, suara itu mendadak lenyap— dan lima detik kemudian, terdengar ketukan pintu.TOK, TOK,
Serena tertidur pulang setelah memikirkan Arsen dan mengutuknya. Benci dan cinta seolah berada di seutas tali yang sama.Saking bencinya Serena Dengan Arsen, dia makin ingat dengan kenangan mereka di masa lalu. Dia sadar kalau pria itu tidak pernah serius berkata cinta padanya atau pada wanita lain. Namun, dia tidak terima hal itu. Dia memilih percaya kalau Arsen mencintainya.Tiga belas tahun silam— ketika dirinya masih berusia dua puluh tahunan, itu adalah awal pertemuannya dengan Arsen dan Tino.Tino, pemuda yang memiliki paras tampan menawan, langsung jatuh hati padanya saat dikenalkan oleh Dokter Gio."Hai, namaku Tino,“ kata pria itu saat menjabat tangan Serena.Serena menjabat tangan pria itu, lalu berkata, "Salam kenal, aku Serena.”Dokter Gio, pria paruh baya yang mengenakan jubah putih dokter, tersenyum menatap mereka berdua. Dia mengajak, "ayo kita ke dalam, kalian temani dulu teman baru kalian yang lain.“"Ada orang lain lagi, Dok?” tanya Serena heran."Iya, tentu saja. De
Suara-suara langkah kaki terdengar di luar. Suaranya makin lama makin dekat. Ini sangat jelas, dan bisa didengar oleh Leina dan Arsen.Arsen masih serius melihat ke arah pintu masuk. Dia memikirkan sesuatu.Sementara itu, Leina memeluk Arsen dengan mimik wajah ketakutan. Dia masih mengira itu hantu. "A—arsen, kamu dengar itu? Aku ... Aku bilang juga apa ... Ada ... Ada suara ..."Arsen ingin tetap berada dalam situasi ini, didekap erat oleh sang kekasih. Akan tetapi, dia tidak bisa melakukan itu terus karena ini artinya masalah serius. Dia sama sekali tidak menduga ada yang berani masuk. Tampaknya, dia juga tahu siapa yang masuk itu.Dia menurunkan tangan Leina dari tubuhnya, lalu berkata, “hei, Sayang, tolong lepaskan aku dahulu. Aku mau melihat siapa yang datang ke rumah kita.""Hantu 'kan ya?”"Mana mungkin hantu bisa bersuara seperti itu? Sudah kamu di sini saja, aku akan keluar sebentar.“ Arsen meminta dengan suara yang lembut. Dia memberikan kecupan singkat di kening Leina— ba