Yogyakarta, 22 April 2018 Bram melangkah menuju ranjang pengantin mereka. Kelopak-kelopak mawar yang bertaburan di lantai terinjak telapak kakinya. Dengan hati-hati, direbahkannya tubuh Amara ke atas tempat tidur berukuran king size berlapis seprai berwarna putih. Taburan kelopak mawar merah tersebar di permukaannya. Disingkirkannya dua ekor angsa dari handuk yang semula berdiri saling berhadapan berbentuk hati di tengah-tengah. "Mas mengusir angsa-angsanya," lirih Amara. Menyesali sepasang hewan dekorasi yang sekarang teronggok di lantai. Perempuan itu sekadar bermaksud menetralisir ketegangan yang meliputi dirinya. "Salah mereka sendiri tidak mau menyingkir," sahut Bram sekenanya. Siapa yang ambil pusing dengan angsa-angsa itu? Bram menempatkan diri di atas Amara. Kedua tangan dan lututnya bertumpu pada tempat tidur dan mengungkung perempuan itu. Amara tertawa kecil kemudian kembali menoleh menatap Bram. Tanpa berkata-kata lagi, lelaki itu meredam tawa istrinya dengan sebuah p
Yogyakarta, 22 April 2018 Amara mengirup udara banyak-banyak. Mengisi pasokan udara pada paru-parunya. Detak jantungnya masih tak beraturan. Tubuhnya sudah lunglai tetapi malam ini belum selesai. Gelenyar yang melanda belum juga reda. Bram merangkak naik dan mengurungnya. Lelaki itu mendaratkan ciuman lembut di keningnya, matanya, hidungnya, pipinya, lalu bibirnya. Tangan Amara menyelinap ke balik baju yang dikenakan Bram. Ditelusurinya punggung lelaki itu dengan jemari sambil saling memagut. Seakan mereka hendak saling menelan satu sama lain. Dengan tak sabar, perempuan itu menaikkan dan melucuti kaos hitam di tubuh Bram. Amara terbakar gairah sampai tidak peduli lagi pada apa pun. Dia hanya ingin merasakan Bram di dalam tubuhnya. Lelaki itu beringsut turun dari tempat tidur. Menanggalkan semua yang masih menempel di tubuhnya. Amara menggigit bibir bawahnya menyadari Bram sudah siap memasukinya. Tiap jengkal kulit perempuan itu meremang penuh antisipasi. Amara bertanya-tanya bil
Yogyakarta, 22 April 2018 Menjelang tidur, Utari memandangi lagi foto-foto pernikahan Amara di galeri ponselnya. Wajah perempuan itu dihiasi senyum semringah. Setelah berhasil melewati pertentangan batin yang luar biasa. Juga setelah meminta pendapat dari seorang sesepuh terdekat, perempuan itu memutuskan untuk menyudahi permusuhan yang ditujukannya pada Bram dan keluarganya. Melihat wajah Amara dengan senyum lepasnya sepanjang acara sejak pagi hingga sore tadi, Utari yakin sang anak benar-benar bahagia. Bukankah sebagai ibu seharusnya dia juga turut bahagia untuk putri satu-satunya itu? Apalagi melihat bagaimana Bram memperlakukan Amara, perempuan itu yakin anaknya tidak akan dibiarkan menderita oleh lelaki itu. Kepada Amara, Bram selalu bersikap lembut dan berhati-hati. Seolah-olah Amara adalah sebuah vas bunga yang mudah pecah. Perhatian yang ditunjukkannya tulus tanpa dibuat-buat. Keluarga Prawiradirga pun menyambut Amara dengan tangan terbuka. Ayah dan ibu mertua juga para ipa
Jakarta, 23 April 2018 "Aku pasti salah lihat, kan, Olivia?" Tangan Imel gemetar saat menyorongkan ponselnya pada sang asisten pribadi. Hari masih terbilang pagi. Langit berwarna biru cerah terlihat jelas dari jendela. Akan tetapi, suasana hati Imel sudah dirusak oleh sebuah kiriman pada grup percakapan perusahaan. Anggota grup percakapan itu dimulai dari level manajer ke atas. Untuk karyawan di bawahnya ada group yang dibuat sesuai divisi dan relasi kerja masing-masing. Olivia menyambut benda pipih berwarna emas itu dari tangan Imel. Meskipun terkejut, perempuan itu tidak histeris. Dia sudah mengetahui sebelumnya. "Oh, memang siapa gadis yang dia nikahi itu?" Olivia bersikap seolah-olah tidak terlalu peduli dan tidak tahu menahu. Padahal, dia sudah pernah menyaksikan di depan mata kedekatan Bram dengan Amara saat mereka bertemu di lift. Imel jatuh terduduk di kursinya sambil menahan kepala. Seluruh tulangnya seperti tercerabut. Pantas saja Bram tidak datang ke kantor hari ini.
Jakarta, 23 April 2018 Sementara rekan-rekan satu timnya ramai membicarakan berita pernikahan atasan mereka dan seorang mantan karyawati divisi procurement, Ranggi menyingkir ke ruang tangga darurat. Dia membuat panggilan kepada Adhilangga melalui ponselnya. "Selamat Pagi, Pak," sapa pemuda itu. "Selamat Pagi, Ranggi. Ada perkembangan apa lagi?" tanya Adhilangga dari seberang sana. "Seseorang ditembak di lantai atas, Pak. Mereka membawa mayatnya turun dengan tas besar melalui tangga darurat. Tidak ada karyawan yang tahu peristiwa ini." Ranggi melaporkan peristiwa yang tertangkap kamera yang dia pasang diam-diam di lantai delapan. "Kamu tahu siapa korbannya?" "Asisten pribadi Imelda Cakrawangsa. Peristiwanya terjadi setengah jam lalu. Mereka sedang membersihkan TKP." Ranggi melangkah turun menyisir tangga darurat dengan hati-hati. Mencari sesuatu yang mungkin bisa dijadikan petunjuk. "Bagaimana dengan Imelda Cakrawangsa sendiri?" "Kacau. Dia histeris." "Siapa saja yang ada di
Jakarta, 25 April 2018 Mereka mendarat kembali di Jakarta menjelang waktu makan malam dan langsung menuju apartemen Bram. Lelaki itu akan membawa Amara pindah dari sana saat urusan dengan Cakrawangsa selesai. Amara sudah tahu berada di dekat Bram adakalanya mendebarkan. Akan tetapi, dia baru tahu kalau lelaki itu akan memberinya kesenangan sekaligus ketegangan di luar ekspektasinya. Entah berapa banyak lagi kejutan yang bakal dia dapati. Beberapa kali mereka mencuri-curi untuk berciuman selama di pesawat, di taksi, dan di sepanjang koridor menuju unit tempat mereka tinggal. "You're crazy!" protes Amara ketika Bram menunduk hendak menciumnya. Kedua pipi perempuan itu bersemu. Pasalnya, seorang pramugari baru saja melintasi lorong di samping tempat duduk mereka. Namun, Amara tidak menolak ketika Bram melumat bibirnya. "Yes. I'm crazy about you," sahut lelaki itu dengan suara rendah sambil menarik diri dan menghujamkan tatapan penuh gairah ke netra Amara. Bram membenarkan pos
Jakarta, 25 April 2018 "Apa kabar, Cah Ayu?" Bram mengecup puncak kepala Amara sambil melingkarkan kedua lengan di sekeliling perempuan itu. "Badanku rasanya remuk, Pak Bram," sahut Amara yang menjadikan bahu Bram sebagai bantal. "Besok tidak ada yang menyiapkan sarapanmu." Bram tertawa kecil sambil menegakkan diri lalu membawa Amara berpindah ke tempat tidur. Ditariknya selimut yang sudah tidak keruan menjadi korban pergumulan mereka. Kemudian menyelimuti mereka berdua dengan kain berbahan flannel itu. "Kamu tenang saja. Coffee shop di bawah buka 24 jam." "Aku merasa seperti istri yang nggak berguna." "Jangan bicara seperti itu. Kamu bisa mengurusi makan Mas kapan-kapan kalau tidak capek. Besok kamu istirahat saja karena Mas akan pulang agak malam." Bram membelai rambut Amara yang sudah kembali rebah di dadanya dengan jemari. "Memang Mas mau ke mana?" tanya perempuan itu. Ditelusurinya barisan rambut yang tumbuh di dada Bram. "Mas harus menyelesaikan serah terima." "Kenapa ha
Jakarta, 26 April 2018 Mereka bangun saat langit masih gelap. Bercinta sekali lagi sebelum beranjak ke kamar mandi lalu memulai aktivitas. Bram bersiap menuju Cakrawangsa Persada untuk menyelesaikan beberapa urusan. Amara mengatur piring berisi pasta dan salad sayuran untuk mereka sarapan di meja. Tidak ketinggalan secangkir kopi hitam yang disukai Bram. Lelaki itu mengamati sang istri dari cermin dengan dua sudut bibir tertarik simetris. Bram sedang memasang kancing bagian depan kemeja biru tuanya yang dipadupadankan dengan celana panjang hitam. Mulai hari ini, lelaki itu membiarkan Amara menyiapkan pakaiannya. Amara juga sudah rapi dengan summer dress berwarna hitam bermotif bunga mawar yang jatuh di atas lutut. Rambut ikalnya dibiarkan terurai melewati garis leher gaunnya. "Sayang, tolong bantu Mas sebentar," pinta Bram dengan suara rendah yang terdengar seksi dan berwibawa. Dia melangkah mendekati Amara dengan dasi yang masih dikalungkan di bagian belakang leher. Amara menole