New York, 12 November 2010 “Mel, aku tidak pulang. Hujan deras sekali. Lebih baik aku menginap di sini malam ini. Kamu makan saja dulu. Tidak perlu menungguku.” Perkataan Bram sesaat lalu masih terngiang di kepala Imel. Lelaki itu tergesa mengakhiri teleponnya. Dia bahkan tidak mengatakan di mana akan menginap. Sungguh menambah kepahitan yang terpaksa ditelannya usai menemukan sebuah kenyataan. Sekarang, perempuan itu duduk bersedekap di sofa sambil menyesap teh manis hangat dari cangkir keramik. Single sofa yang didudukinya menempel di dinding dan bersisian dengan jendela. Dari tempatnya, perempuan itu dapat melihat dengan jelas titik-titik di permukaan kaca. Di luar, hujan deras menjatuhi kota Manhattan. Langit tampak temaram seperti suasana hatinya saat ini. Ponselnya dia biarkan tergeletak begitu saja di lantai parket. Imel tidak sengaja menjatuhkannya. Sesekali dihapusnya sungai kecil yang mengalir di pipinya. Gerimis baru saja turun ketika Imel mendekati apartemen Bram tiga
New York, 13 November 2010 Keesokan harinya, Bram berlari di running track Central Park bersama Stanley. Mereka mencari kehangatan dari paparan sinar matahari di langit New York yang cerah. Mungkin sama seperti para pengunjung lain yang mulai berdatangan. Mereka berangkat dengan subway. Sejauh mata memandang, keduanya dimanjakan oleh lanskap yang kontras tetapi mengagumkan. Gedung-gedung yang menjulang, danau yang biru membentang, dan pepohonan yang rindang. Perpaduan antara peradaban modern dan keindahan alam. Minggu lalu, tempat ini ramai dipadati penonton lomba maraton tahunan. Bram dan Stanley sudah puas berada di antaranya. Menjadi peserta acara itu tidak masuk dalam rencana selama tinggal di sini. Sabtu pagi itu, mereka berlindung di balik jaket hoodie. Udara terasa menusuk. Itu sebabnya Bram dan Stanley terus berlari sampai hampir dua jam. “Jadi balik ke Jakarta besok, Stan?” tanya Bram ketika mereka melangkah menyusuri jalur menuju pintu keluar. Dedaunan yang berserakan d
Jakarta, 10 Februari 2010 “Sudah, Ra. Ikuti saja permintaannya. Mungkin dia utusan dari pusat untuk mengawasi kinerja kita. Daripada kita semua kena masalah,” urai lelaki dengan kemeja casua kepada Amara. “Kamu tenang saja. Saya sudah minta supervisor mengawasi kamu dari area kasir. Beri isyarat kalau dia macam-macam, atau kamu merasa terancam.” Lelaki itu menunjuk ke etalase di dalam bangunan dengan gaya minimalis yang dindingnya terbuat dari kaca. “Baik, Pak,” sahut Amara sambil menyambut daftar menu dan nota pesanan yang diserahkan sang manajer. Meskipun dengan hati bimbang, gadis itu menghampiri pelanggan yang dimaksud. Lelaki yang mereka bicarakan itu duduk di salah satu meja di pelataran restoran sejak satu jam lalu. Di tangannya sebuah koran sore membentang. Sebuah pemandangan yang terbilang langka. Di zaman serba internet seperti sekarang, ada yang masih tertarik membaca surat kabar. Satu dua pelanggan lain melirik ke arah lelaki itu. Mereka merasa tergelitik dengan penampi
Jakarta, 10 Februari 2010 Bram menurunkan korannya ketika Amara kembali sesaat kemudian. Gadis itu membawa nampan berisi kudapan dan minuman hangat. “Silakan dinikmati sambil menunggu menu utamanya, Pak,” tutur gadis itu. Tangannya dengan cekatan menata meja di hadapannya. “Terima kasih,” balas Bram sembari menurunkan sedikit surat kabarnya. Sesaat Bram terkesima. Amara memilihkan dua potong makanan kecil khas kota Semarang dan segelas minuman hangat dari rempah-rempah. Lelaki itu jadi teringat akan mendiang ibunya. Ketika sedang punya banyak waktu luang, Hapsari suka sekali memasak untuk keluarganya. Juga membuat kreasi aneka minuman untuk teman mereka bercengkerama. Menu yang dipilihkan gadis itu sama seperti yang sering dibuat oleh mendiang Hapsari. Bram jadi berpikir, mungkinkah Amara sesosok malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk menyampaikan pesan dari ibunya. Sudah cukup lama dia tidak mengunjungi makamnya. Rasa bersalah seketika menyelimuti lelaki itu. “Saya permisi, Pak.”
Jakarta, 7 Agustus 2013 Sudah hampir satu tahun semenjak Bram bergabung dengan Cakrawangsa Persada. Suatu malam, Bram menemui sang paman di kediamannya usai pulang kantor. Penampilannya masih terlihat rapi dan segar di balik kemeja dan celana panjang hitam pas badan yang dia kenakan. Orang-orang sering bertanya. Apa yang Bram lakukan sampai tak pernah terlihat kepayahan? Apakah dia benar-benar manusia atau robot berwujud manusia? Semenjak peristiwa yang hampir merenggut nyawanya, Bram memang sering terjaga sampai lewat tengah malam. Menghindari mimpi buruk yang masih kerap mengganggunya akibat tragedi itu. “Apa kamu yakin tidak ada barang-barang mencurigakan yang mereka datangkan dari luar negeri?” Adhilangga bertanya pada Bram usai meletakkan cangkir kopinya. “Aku yakin tidak ada, Om. Aku sendiri yang menyeleksi para pemasok. Kecuali para pemasok lama. Mereka sudah bekerjasama dengan perusahaan sebelum aku bergabung. Tapi aku bisa memastikan semua yang kutangani sudah lolos pengu
Jakarta, 4 April 2018 Setelah tidak masuk selama hampir dua minggu, pagi ini Andra sudah sampai di kantor. Agak terlalu pagi karena selepas subuh tadi dia sekalian mengantar ibunya ke stasiun. Hiruk pikuk belum terlihat di gedung Cakrawangsa Persada. Baru ada dua buah mobil terlihat di parkiran. Ketika memasuki area lobi, seorang office boy baru saja selesai membersihan lantai. Ketika sampai di ruang procurement, belum ada yang datang selain dirinya. Bahkan, ruang kaca yang ditempati Bram masih terkunci. Gadis itu memilih duduk di pantry untuk menyantap sarapannya. Semalam, Utari menyempatkan diri untuk memasak untuknya. Gadis itu sengaja hanya menyalakan satu buah lampu yang tepat tergantung di atas mejanya. Andra memang lebih suka berada di ruangan dengan pencahayaan minim seperti itu. Toh, dia hanya seorang diri. Sambil menikmati makanannya, Andra menyetel channel berita di YouTube. Berita mengenai persiapan menuju pemilihan presiden yang sedang menjadi trending topic. Berbagai
Jakarta, 4 April 2018 Seharian ini, Andra disibukkan dengan pekerjaan yang sempat tertunda berminggu-minggu. Ada bertumpuk email yang harus dibaca dan ditanggapi. Ada juga laporan yang harus diperbaharui. Ditambah dengan dokumen-dokumen di atas meja yang belum tersentuh. Beruntung sekali Gilang dan Ranggi bersedia membantu menangani beberapa pekerjaan selama dia tidak masuk. Seharian ini pula, Andra tidak mendapati Bram di ruangannya. Di satu sisi, gadis itu merasa lega karena konsentrasinya tidak terpecah karena keberadaan lelaki itu. Di sisi lain, dia juga merasa kehilangan. Bram baru muncul lewat pukul lima sore. Lelaki itu hanya melemparkan senyum ke arah Andra sambil bersiul ketika melintas. Sedangkan Andra yang sedang terlalu serius hampir tidak menyadari kedatangan Bram. Andra baru menoleh ketika lelaki itu sudah berada dalam ruangannya. “Kayaknya dia happy banget hari ini, Ndra,” komentar Alena sambil berkemas-kemas. Suaminya baru saja memberi kabar bahwa dia hampir sampai
Jakarta, 4 April 2018 “Pak Bram!” Mata Andra membulat begitu mendapati sosok yang tiba-tiba menarik lengannya. Untung saja dia tidak menabrak orang yang kebetulan sedang lewat. Bram berdiri menjulang di hadapannya sambil menyeringai. “Serius amat. Saya panggil kamu sejak keluar dari lift.” “Maaf, saya nggak dengar, Pak,” ucap Andra sedikit merasa bersalah. Pasti Andra sudah kelewat fokus ingin cepat-cepat sampai di kosan. Pantas saja gadis itu tidak menyadari panggilan Bram. “Kenapa buru-buru? Sudah ada yang menjemput?” selidik Bram. “Takut ketinggalan angkutan umum. Sebentar lagi jam operasinya habis.” Andra berdiri seakan-akan siap berlari melesat meninggalkan tempat itu. “Saya antar kamu pulang.” Andra sudah hafal Bram seperti apa. Kalimat yang barusan diucapkan lelaki itu adalah sebuah pernyataan. Bukan sebuah permintaan yang memerlukan persetujuan. Namun, ada satu hal yang gadis itu belum tahu. Setelah peristiwa beberapa minggu ini, Bram tidak akan membiarkan Andra pulang