Jakarta, 12 Maret 2018 Bram sedang memeriksa draft proposal untuk melakukan investasi mesin di salah satu supplier. Tujuannya agar pasokan bahan baku mereka dapat terpenuhi lebih cepat oleh supplier yang dimaksud. Dia sudah berbicara dan bernegosiasi dengan person in charge dari perusahaan itu. Lelaki itu menugaskan Ranggi untuk menyiapkannya. Proposal itu harus dia ajukan ke manajemen minggu depan. Tahu-tahu, seseorang mengetuk-ngetuk pintu ruangannya. Andra. Ya, wajah gadis itu yang Bram dapati ketika menoleh. Bagaimana cara membuat Andra tahu bahwa Bram sedang tak ingin berurusan dengannya? “Permisi, Pak.” Begitu kira-kira gerakan mulut yang dibuat gadis itu. Lelaki itu mengangkat telapak tangannya. Isyarat bahwa Bram sedang tidak ingin diganggu. Bukan benar-benar inginnya. Bram sendiri sedang dilanda sebuah dilema. Bukankah dia harus profesional? Bukankah Bram yang meminta Andra memberi laporan hasil training-nya? Ini hari pertama Andra kembali bekerja setelah menikuti
Sidney, 25 Januari 2012 “Bodoh sekali kamu, Stanley!” geram Gunawan. Wajah lelaki berusia enam puluhan itu merah padam. Dia hampir saja melempar ponsel di tangannya. “Papi nggak mungkin menerima dia. Kalau sejak awal Papi tahu dia anak Baswara Prawiradirga! Kamu malah bersekongkol dengan dia menipu Papi!” Lelaki itu benar-benar murka pada putra bungsunya. Bagaimana bisa anak itu membantu anak dari musuhnya untuk memperdaya dirinya. Selama hampir satu tahun, putra Baswara Prawiradirga keluar masuk rumahnya dengan leluasa. Dia bahkan telah mendengar percakapan-percakapan yang seharusnya tidak boleh sampai ke telinganya. Kesalahan Gunawan adalah memercayai begitu saja ucapan sang putra dan temannya. Dia tidak memeriksa dengan saksama identitas orang yang akan bekerja padanya. Hanya bermodal rasa percaya sebab orang itu teman dari anaknya. Dia baru mengetahui kabar itu dari salah satu orang kepercayaannya. Orang yang diam-diam menyelidiki latar belakang Bram. Orang itu menaruh curiga
Jakarta, 20 Februari 2012 Perempuan itu menyusuri jalan sempit yang hanya cukup dilewati satu buah mobil. Beberapa pasang mata menatap penuh kekaguman. Beberapa mulut jail bersiul dan menggoda. Padahal, penampilannya siang itu cukup tertutup dengan dress selutut warna biru tua. Lagipula, dia sedang hamil empat bulan. Di sebelahnya, juga ada seorang pria bertubuh tegap dengan pakaian model safari serba hitam. Mereka berhenti di sebuah rumah yang tampak seragam dengan empat buah rumah di kanan dan kirinya. Hanya saja, di teras rumah itu terdapat aneka macam tanaman hias dalam pot. Tanaman-tanaman itu tampak terawat. Menjadikan rumah bercat biru muda itu terlihat asri dan berbeda. “Permisi. Selamat siang,” sapa perempuan itu sambil melongok ke dalam. Aroma roti yang sedang dipanggang mengusik hidungnya. Di depan matanya terpampang ruang tamu yang lebih kecil daripada garasi mobil di rumahnya. Kursi anyaman rotan dengan bantalan busa tertata rapi di sana. Di tengah ruangan terdapat seb
Jakarta, 6 Agustus 1987 “Benar-benar kurang ajar! Mereka memanfaatkan situasi untuk membuat kita terjebak. Saya tegaskan! Ini terakhir kali Bhumi Prawiradirga bekerja sama dengan mereka. Setelah proyek hotel di Denpasar selesai, jangan pernah lagi menyebut nama Cakrawangsa Persada!” Baswara Prawiradirga mengeluarkan titahnya di depan para petinggi perusahaan. Lelaki berusia 38 tahun itu menekan-nekan telunjuknya ke atas meja. Malam itu sebuah meeting mendadak diadakan di kantor pusat mereka di kawasan Pasar Minggu. Kantor mereka berada di sebuah komplek ruko dengan bangunan berlantai empat. Ruang meeting tempat mereka berada bernuansa putih. Sama seperti ruangan lainnya. Di dinding terdapat aneka foto proyek-proyek yang berhasil mereka laksanakan. Juga lukisan dari bangunan-bangunan yang menjadi inspirasi mereka. “Apakah tidak sebaiknya kita melapor ke pihak berwenang, Pak?” tanya seorang pimpinan bagian legal. Lelaki itu berusia sepuluh tahun lebih tua dari Baswara. “Mereka menga
Jakarta, 10 April 2018 “Ndra, kapan kita makan-makan?” tanya Kevin sambil berjongkok di sisi meja Andra. Dagunya dia topangkan di kepalan tangan yang menempel di sisi meja. Suara lelaki itu terdengar rendah dan lirih. Sementara, kedua matanya berbinar-binar penuh harap. Andra terdiam sejenak sambil mengernyit. “Makan-makan dalam rangka apa, Kev?” balas gadis itu sambil meneruskan kesibukannya. Dia sedang mengeluarkan dompet dan tissue dari dalam tas. Sekalian menunggu laptopnya benar-benar mati. Jam istirahat sudah lewat lima menit. Hampir semua penghuni procurement sudah meninggalkan ruangan. Hanya ada Andra, Kevin, dan Bram yang tertinggal. “Buat merayakan hari jadian dong, Ndra. Jangan suka pura-pura, deh,” goda Kevin. “Hari jadian? Memang siapa yang jadian?” elak Andra. Gadis itu tidak habis pikir, mengapa teman-temannya cepat sekali menyimpulkan segala sesuatu. Padahal, dia tidak pernah menyampaikan apa-apa. Sudah lebih dari seminggu ini para personel procurement membahas s
Jakarta, 10 April 2018 Sesampainya di lobi, Bram dan Andra berpisah dengan rombongan para direktur tadi. Namun, tanpa diduga mereka pergi ke tujuan yang sama. Sebuah mall yang terletak tak jauh dari kantor. Mereka bertemu lagi ketika melintasi pintu masuk. Rupanya, para petinggi Cakrawangsa Persada itu hendak mengadakan meeting sekaligus makan siang. Bram mengajak Andra berjalan-jalan sebentar. Lelaki itu hanya ingin menghindari Olivia. Perempuan mirip Priyanka Chopra yang sudah menjadi asisten pribadi Imel selama lima tahun. Pastilah saat ini Imel juga sedang berada di tempat itu. Jangan sampai mereka mengetahui di mana Bram dan Andra melewati makan siang. Bisa rusak semuanya. Bram cukup sering bertemu dan berbincang dengan Olivia beberapa kali. Saat meeting, acara launching product, dan seminar kepemimpinan yang diselenggarakan perusahaan. Seperti beberapa perempuan lain, Olivia mencoba menggoda lelaki itu. Bram tidak mau perlakuan perempuan itu padanya menjadi beban pikiran
Jakarta, 10 April 2018 “Pak, saya hampir lupa. Masalah administrasi rumah sakit waktu saya dirawat bagaimana? Apa ada biaya tambahan?” Andra bertanya ketika semua hidangan di meja sudah tandas. Bram diam sejenak. Terus terang, dia memang sengaja menunda untuk membicarakan masalah itu. Lelaki itu belum siap juga membahas sosok misterius yang sudah membereskan biaya rumah sakit Andra. “Oh, soal itu. Kamu tenang saja. Tidak usah dipikirkan, Ra,” jawab Bram. Lelaki itu merogoh dompet dari saku belakang celananya. Dia mengeluarkan sebuah kartu dan menyerahkannya pada Andra. “Ini kartu asuransimu. Ternyata tidak terpakai.” Andra mengambil kartu berwarna silver yang diulurkan Bram. Semua karyawan Cakrawangsa Persada memang mendapatkan benefit berupa asuransi kesehatan dari sebuah perusahaan asuransi swasta. Asuransi kesehatan yang diwajibkan pemerintah hanya didaftarkan sebagai formalitas saja. Gadis itu terperangah. “Maksudnya, rumah sakit menggratiskan biaya pengobatan saya?” “Bu
Jakarta, 27 Maret 2018 Lelaki itu menggeser layar ponsel di tangannya berkali-kali. Mengamati foto-foto candid seorang gadis yang diambil di beberapa tempat. Lebih banyak dengan latar suasana kantor. Saat dia sedang serius di depan laptopnya, saat dia melakukan presentasi di ruang meeting, juga saat sedang bercengkerama dengan kawan-kawannya. Seorang gadis dengan rambut ikal sebahu dan poni yang jatuh menutupi kening. Sepintas wajahnya mirip model iklan sabun mandi yang kerap menghiasi layar kaca awal tahun 2000 an. Model itu sekarang berkarier di New York. Hanya saja, gadis dalam foto itu tidak tinggi menjulang. Dia mungil sekaligus lebih berisi. Padat di tempat-tempat yang tepat. Apa karena itu sang adik tergila-gila padanya? Lelaki itu menautkan sebelah alisnya. “Pantas saja kamu rela menunggu dia sampai selama itu,” komentar lelaki itu sambil terbahak. “Menurutmu dia nggak akan marah fotonya diambil diam-diam?” “Sebaiknya Mas Satria mengagumi dia dalam hati saja,”protes Bram.