Cherry benar-benar menemui Violet di rumah sakit. Di sana, ia disuguhkan dengan pemandangan yang membuat dirinya cukup terkejut. Cherry melihat Zein tengah merangkul Violet. Dalam situasi seperti ini, sulit baginya untuk berpikir positif. Tapi, ia mencoba untuk memahami kondisi yang tengah dialami Violet.
Cherry melangkahkan kaki memasuki ruangan itu dengan ekspresi senormal mungkin. Ia tak mau cemburu buta lagi pada Violet. Ya, meskipun jauh di dalam hatinya ia cemburu, sangat cemburu.
“Violet,” panggil Cherry lirih.
Suara Cherry membuat tangan Zein yang tadi merangkul pundak Violet terlepas seketika. Keduanya menatap Cherry dengan wajah terkejut. Zein berdiri, ia sudah bersiap untuk menjelaskan segala alasan yang sudah dirancang sedemikian rupa.
“Cher, aku bisa jelasin, ini semua gak seperti yang kamu lihat,” ujar Zein panik, ia takut Cherry marah dan berpikir yang tidak-tidak.
“Iya Cher, gue sama Zein gak sengaja ke
Langit dan Green bertolak dari kampus menuju panti asuhan. Langit mengajak Green untuk mengunjungi Rubi, tentu saja ajakan itu disambut baik oleh Green. Green sangat senang dan antusias, kebetulan sekali karena ia sudah lama merindukan Rubi dan kawan-kawan “Gimana pertemuan dengan orang tua Alta?” tanya Langit memecah keheningan. “Biasa aja,” jawab Green cuek. “Mereka bilang apa?” “Sama kayak bunda.” “Maksudnya.” “Tante Reni minta saya nikah sama Alta, sama seperti bunda yang minta
“I love you, Rei.”Reina yakin ia tak salah dengar, beberapa detik lalu dirinya mendengar ungkapan cinta yang ditujukan Daren untuknya. Reina mengalihkan pandangan, semua terlalu cepat dan sangat tiba-tiba.“Maaf…”“Sssstt, lo gak perlu bilang apa-apa, apalagi minta maaf.” Daren meletakkan telunjuknya di bibir Reina sembari tersenyum lembut. “Gue gak minta jawaban apa pun,” sambungnya masih dengan senyum lebar.“Tapi…”“Yuk makan, gue masakin,” ajak Daren. Ia memegang pergelangan tangan Reina, kemudian meminta wanita itu untuk membuka pintu dan menunjukkan letak dapurnya.“Emang lo bisa masak?” tanya Reina dengan nada tak percaya.“Bisa. Lo duduk dan tunggu aja, okei,” ucap Daren meyakinkan.Reina menurut, ia duduk dan melihat Daren memasak dari jarak dekat. Lelaki itu tampak lihai memotong beberapa bahan makan
“Vi, gak lama lagi kita bakal tinggal bareng. Lo seneng, kan?”Violet diam sejenak, ia dan Zein saling tatap dalam waktu yang cukup lama. Hingga suara Cherry menghentikan aksi saling tatap itu.“Lo gak suka ya?” tanya Cherry dengan suara rendah. Ia bisa melihat reaksi Violet dan Zein yang tampak tidak seantusias dirinya.“Gak kok. Gue seneng banget, Cher,” jawab Violet cepat. Ia tak mau Cherry curiga padanya dan Zein.“Aku juga seneng banget, sayang. Kalau kamu pindah, kita jadi punya waktu lebih banyak buat sama-sama,” timpal Zein dengan nada yang dibuat sebahagia mungkin. Cherry yang suasana hatinya sudah terlanjur rusak, tersenyum samar. Buru-buru ia menyelesaikan makannya dan berpamitan pada Violet.“Gue udah selesai, gue pulang dulu ya, semoga bokap lo cepet sembuh,” ujar Cherry.“Cher, lo marah?”“Gak sama sekali, gue emang mau pulang. Biasalah.”
Dua minggu setelah kejadian di rumah Aira dan Langit tak menjawab teleponnya, Keira benar-benar menghilang dari peredaran. Seluruh akun sosial medianya tak ada satu pun yang aktif. Tak ada yang tahu dimana keberadaan Keira, kecuali sang adik. Keira pergi dari rumah meninggalkan sepucuk surat yang ditujukan untuk Langit.“Ada surat, dari Kak Ira,” ucap adik Keira saat menemui Langit untuk memberikan surat tersebut. “Terima kasih.”“Sama-sama.”Tak ada bincang singkat untuk sekadar basa-basi pada pertemuan mereka siang itu. Setelah menyerahkan titipan sang kakak, ia segera meninggalkan kediaman Langit.Di ruang kerjanya, Langit membuka kertas berwarna merah muda. Tulisan tangan Keira terukir rapi di sana, Langit membaca surat tersebut dengan seksama.Dear, My Sky.Hai Sky, apa kabar? Udah lama banget gak manggil kamu dengan sebutan it
Hari berlalu begitu cepat, durasi perjanjian Langit dan Green akan berakhir bulan depan. Belum ada tanda-tanda Green membuka hati untuk Langit. Terlebih, ada Alta yang saat ini tengah berusaha terus menerus mendekati Green. Hal itu membuat Langit kesal, kekesalan yang tertahan karena ia tak berani mengutarakan, begitulah kiranya yang dirasakan Langit.Seperti siang ini, Langit mendapati Green berbalas pesan dengan Alta, padahal wanita itu tengah bersama dirinya.“Ponselnya boleh tolong dinonaktifkan? Fokus, Green!” ucap Langit pelan, namun tegas.“Oke,” jawab Green menurut.Green membiarkan ponsel tersebut menyala, namun meletakkan benda itu di atas meja, matanya sesekali menatap benda pipih tersebut sembari mengedit naskah.“Dinonaktifkan gak bisa?” tanya Langit kesal.“Gak bisa, nanti susah nyala laginya.” Green memberikan penjelasan singkat.Langit manggut-manggut, tanda bahwa ia paha
“Please, kasih aku kesempatan ya?”Green mengalihkan pandangan, mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Hatinya tak lagi merasakan desiran apa pun saat Alta menciumnya tadi. “Green..,”“Hmmm?”“Kasih aku kesempatan, aku janji gak akan mengulang kesalahan yang sama.” Janji itu terdengar sangat meyakinkan, namun tak membuat hati Green bergetar. “Maaf Al, aku gak bisa,” tolak Green dengan tatapan tegasnya.“Karena Langit?” tanya Alta ingin tahu.“Aku pulang ya,” pamit Green tanpa menjawab pertanyaan Alta.“Aku anter.”“Gak usah,” tolak Green lagi.“Kenapa? Dulu kamu gak pernah nolak.” “Al, semuanya udah beda, gak s
Reina benar-benar membuktikan ucapannya, tiga hari setelah mengatakan soal kepindahannya pada Daren, wanita itu meninggalkan seluruh kehidupan lamanya di kota yang mengingatkan dirinya pada Alta.Di tempat ini lah Reina sekarang, rumah sederhana yang berada di pusat kota Jakarta. Suasana dan tempat baru, ia berharap bisa menjadi pribadi yang lebih baik setelah masalah percintaan yang merenggut hampir seluruh kebahagiannya.Daren ikut bersama Reina, bukan ikut untuk tinggal bersama. Melainkan hanya mengantar dan membantu proses kepindahan wanita tersebut. Sebenarnya bisa saja Daren ikut pindah, mengingat Jakarta adalah kampung halamannya. Tapi, ia tak mau seperti Alta dan Reina yang memilih melanjutkan kuliah mereka di kota tersebut. Daren bertekad menyelesaikan kuliahnya lebih dulu, sembari membuktikan keseriusannya pada Reina, ia ingin menunjukkan pada wanita tersebut bahwa tidak semua lelaki seperti Alta, sekalipun jarak memisahkan mereka.“Rei, ini diga
“Gak apa-apa kan ngegombalin calon suami?”Langit mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, merasa sedikit tak percaya dengan yang Green katakan. Ia mencubit pipi Green untuk memastikan apa yang baru saja didengarnya bukan mimpi.“Aww. Sakit, Kak!” Green memegang pipinya yang dicubit Langit. Ia merengut kesal karena kelakuan lelaki itu.“Eh, yang mana yang sakit?” tanya Langit panik.Langit mengusap pipi Green dengan gerakan lembut, bibirnya tak henti tersenyum menyadari bahwa apa yang diucapkan Green beberapa saat lalu bukan mimpi.“Pipi lah, kan yang dicubit pipi,” ketus Green.“Hehe maaf, saya pikir mimpi tadi. Boleh diulang pertanyaannya?” “Gak!”“Ulangi dong, saya mau denger,” pinta Langit dengan nada memelas.“Gak, Kak Langit,” tekan