Kali ini Arsya percaya diri kalau ia tiba tepat waktu saat melihat Panca menjajari langkah Indah di depan gedung. Urusannya sudah sangat bisa ditebak. Laporan beberapa kasus penipuan dan penggelapan uang atas nama ibunya. Arsya tersenyum puas melihat wajah kalut Panca saat mengejar Indah. Persis seperti apa yang ia inginkan. Arsya melangkah santai keluar gedung dan berdiri sejenak mendengar pembicaraan Panca dan Indah. Tebakannya semua benar. Indah memang keras kepala dan bisa diandalkan untuk melawan Panca, tapi wanita itu akan tetap menangis. Lalu satu hal yang tidak ia sangka-sangka keluar dari mulut Indah. Wanita itu sedikit membelanya soal rapat penting. Sedikit aneh mendengar Indah menyebutnya sebagai calon suami dan mengucapkan soal Presdir, lalu pewaris perusahaan. Padahal baru kemarin Indah menolak mobil dan supir yang ia berikan. Indah juga menolak kartu kredit yang diberikannya untuk berbelanja. Tak menyangka bahwa Indah benar-benar hanya berharap biaya rumah sakit untuk A
Semuanya bukan soal Panca. Indah semakin menyadari kalau perlahan-lahan ia meninggalkan Panca dari pikirannya jika sedang memikirkan nasib Alif. Ia membenci Panca, ia juga punya dendam tersendiri pada pria itu dan keluarganya. Namun belakangan ia memang tidak mencampuradukkan kebenciannya itu dalam urusan yang menyangkut Alif. Kondisi Alif adalah prioritasnya. Dan sejak awal, ia memang sudah menerima kalau Arsya memiliki tujuan tertentu menikahinya. Ia merasa, apa pun itu Arsya tidak akan merugikannya kalau hal itu berkaitan dengan Alif. Meski sempat menelaah dan mencoba mencari tahu tujuan Arsya menggunakan pikirannya yang terbatas itu, Indah tetap belum mampu menemukan tujuan Arsya. Tak satu pun kecurigaannya bisa terjawab. Motif Arsya masih abu-abu baginya. Sedangkan untuk percaya bahwa pria itu benar-benar jatuh cinta padanya, Indah merasa geli dan ingin menertawai dirinya sendiri. Hal itu sangat tidak mungkin.Jadi, saat itu, saat meninggalkan meja administrasi, Indah berpikir
Sehari sebelum melangsungkan akad nikah, Arsya dan Indah memang masuk kerja seperti biasa. Keduanya tidak menunjukkan perbedaan apa pun selain Arsya yang tiba tiba memanggil Indah ke ruangan untuk mengajaknya ke rumah sakit demi kejutan Pak Hadi tiba di Jakarta.Yeni yang sudah gelisah karena kasak-kusuk cerita pernikahan Arsya sempat mendatangi Indah untuk mengorek informasi.“Masa, sih, kamu nggak tahu soal Pak Arsya? Mustahil banget, In. Hampir semua di gedung ini tahu kalau Pak Arsya bakal ngadain pernikahan tertutup. Kamu nggak ada lihat apa-apa di mejanya? Kartu undangan? Janji ketemu siapa gitu? Pernah lihat Pak Arsya makan sama wanita di luar kantor?” Yeni memberondong Indah dengan banyak pertanyaan yang belum dijawab.“Enggak ada, Mbak,” jawab Indah.“Sama sekali?” tanya Yeni. “Masa, sih, nggak pernah? Belakangan kamu yang sering keluar sama Bapak.”Indah kembali menggeleng. “Aku memang nggak tahu, Mbak.”“Tiap kamu bilang nggak tahu aku malah curiga. Masa kamu nggak tahu? Ap
“Mana kebayanya? Indah coba di kamar mandi aja, Kak. Kalau kesulitan pakai sendiri, nanti Indah minta bantuan.” Indah meraih gantungan berisi kebaya yang berat karena hampir seluruhnya bertabur payet dan membawanya ke kamar mandi. “Ada-ada aja. Masa pakai begini harus dibantu sama dia.” Indah berbisik saat melepaskan pakaiannya.Ternyata mencoba kebaya itu cukup memakan waktu. Indah berada cukup lama di kamar mandi sampai-sampai Laras harus mengetuknya.“In, coba keluar aja, deh. Kebayanya udah dipakai, kan? Kalau sudah ngancingnya, biar dibantu aku dan Abang. Biar cepat selesai. Alif udah nungguin dari tadi, lho.” Laras sudah memperkirakan kalau Indah akan kesulitan mengait kancing bungkus yang berada di sepanjang bagian depan kebaya.Penyebutan nama Alif membuat Indah berdecak karena menyadari situasinya. Alif memang belum bertemu dengannya sejak ia tiba tadi. Rasanya malu sekali dengan Bu Anum yang sejak tadi menjaga bayinya. Apa Bu Anum akan menganggap dia sebagai ibu yang tidak b
Malam itu Indah tidak bisa tidur. Selain karena Alif yang berkali-kali bangun karena sepertinya kurang betah, pikiran Indah malam itu sedikit terganggu dengan bayangan acara esok hari. Kenapa pernikahan mereka sangat mudah sedangkan Arsya pernah mengatakan kalau hubungannya dulu tidak direstui keluarga?Ranjang yang besar dan malam itu ditempatinya sendirian membuat Indah bergulingan ke sana kemari. Bu Anum mengatakan malam itu sebaiknya Indah tidur sendiri saja karena sudah cukup lelah seharian bekerja ditambah menenangkan Alif yang rewel. Arsya juga meminta Indah masuk ke kamar lebih cepat untuk beristirahat. Namun pikiran Indah nyalang memikirkan sesuatu yang niskala.Siapa saja kerabat Arsya yang akan datang. Adakah saudara Pak Ari Subianto? Saudara Bu Della? Keluarga mertua Laras? Pasti ramai dengan para tetua keluarga. Adakah salah satu dari para tamu itu yang akan mempertanyakan siapa dirinya? Siapa Alif? Kenapa sesosok Arsya yang nyaris tak memiliki kesukaran dalam hidupnya bi
Malam sebelum pernikahan Indah terjadi keributan antara Mayang dan Panca. Keduanya baru saja selesai bercinta dan terlibat adu mulut ketika Panca memaparkan acara akhir minggu mereka adalah mendatangi resepsi pernikahan Indah. Keduanya bahkan masih tanpa busana dan meringkuk di balik selimut ketika mereka saling tunjuk. Usapan dan belaian tangan Panca di punggung Mayang dalam beberapa detik saja berubah menjadi penolakan dan amukan. “Siapa yang undang kamu ke acara itu? Memangnya kamu harus datang? Kamu nggak nanya gimana perasaan aku? Terus kamu langsung iyain aja? Aku nggak mau, Ca! Nggak mau!” Mayang berbalik dan memunggungi Panca. “Kamu bisa nggak, sih, sekali-kali langsung nurut aja tanpa banyak protes? Memangnya kamu nggak percaya kalau apa yang aku lakukan ini pada akhirnya buat kita juga?” Panca menumpuk bantalnya menjadi lebih tinggi dan menaikkan selimut sampai ke dada. Ia melemparkan tatapan kesal ke punggung Mayang. “Aku udah bilang nggak akan datang ke pernikahan siapa
Kalau Sarah hanya berniat untuk bercanda, berbeda halnya dengan Indah.Indah meringis dan membalas ucapan Sarah dengan senyuman. Soal Yeni, ia merasa bersalah, tapi ia juga tidak merasa membohongi wanita itu. Semua terjadi begitu saja. “Makasih udah datang, Bu,” kata Indah akhirnya.Sarah menghela napas. “Ke depannya maafkan saya kalau di kantor masih memerintah kamu sebagai asisten. Jadi, kamu sebagai istri Bapak dan kamu sebagai asisten saya adalah dua pribadi yang berbeda. Bagaimana? Cukup adil, kan?”“Adil…adil. Duh, serius amat,” kata Arsya, memijat bahu Sarah yang kemudian tergelak. “Minta tolong agar istri saya tidak dikasih pekerjaan terlalu berat, ya, Bu Sekretaris ….”Indah mengulum senyum melihat keakraban Sarah dan Arsya yang tidak pernah ia lihat di kantor. Arsya terkekeh-kekeh. Sarah adalah wanita berdarah setengah Amerika yang sudah puluhan tahun bekerja di SB Industrial Energy. Mulai dari Pak Ari Subianto masih melajang. Semua orang di kantor, tua-muda,karyawan baru at
Indah sangat bersyukur karena acara itu bukan merupakan resepsi besar-besaran. Karena untuk melangsungkan akad nikah saja seluruh keluarga Subianto sudah menghabiskan hampir seharian penuh. Badan Indah pegal dan matanya luar biasa ngantuk karena kurang tidur. Perasaannya usai acara pernikahan itu amat berbeda dengan yang dirasakannya dulu. Indah tidak bersemangat. Pernikahan itu lebih kurang hanya sebuah kepalsuan. Pria tampan dengan setelah putih di sebelahnya pun palsu. Suami palsu, keluarga palsu. Indah duduk lesu menatap tamu yang masih lalu lalang. Menjelang sore, Arsya mempersilakannya untuk berganti pakaian, mandi dan beristirahat lebih dulu.“Kamu kelihatan capek dan ngantuk. Abang masih mau ngobrol sama Ayah. Mumpung Alif masih tidur,” pinta Arsya seakan membaca pikiran Indah yang memang selalu merasa tidak enak karena dianggap bersenang-senang ketika bayinya merengek.“Malam ini tidurnya ….” Indah berdiri meluruskan kain yang ia kenakan.“Malam ini harus tidur di kamar yang s