Deden dan Ipul yang bekerja merangkap keamanan dan segala tukang di rumah Arsya, masuk bersamaan pagi itu. Kemarin, Arsya sudah mewanti-wanti keduanya. “Saya minta waktu ekstra kalian berdua. Bu Indah lebih senang di rumah merawat bonsai-bonsainya. Jadi, jangan ambil libur tanpa seizin saya. Jangan tinggalkan pagar tanpa pengawasan karena saya bisa mengakses CCTV dari mana saja. Saya harap kalian bisa diandalkan saat saya pergi bersama Galih.” Setelah menyampaikan pesan-pesannya, Arsya bergeser untuk menerima uluran tangan Bu Anum. “Jaga diri, Pak Arsya. Pergi sehat kembali sehat. Tiga bulan lagi bakal ketemu dede bayi. Bukan Pak Arsya aja yang nggak sabar, saya juga nggak sabar,” kata Bu Anum. Arsya menambahkan satu tangannya lagi di atas jabatannya bersama Bu Anum. Genggamannya semakin kuat. Wanita paruh baya di depannya itu adalah orang pertama yang dipercayainya dalam soal menjaga Indah. “Bu Anum, saya mempercayakan istri dan calon bayi saya ke Bu Anum. Tetap baik-baik saja sela
Percakapan selama perjalanan itu tidak berlangsung lama. Perjalanan panjang dan beberapa kali berpindah moda transportasi bisa membuat orang cepat letih. Terutama buat orang yang jarang melakukan perjalanan jauh seperti Abdul. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktunya di depan komputer. Sedangkan Vino rekannya terlihat tidak sabar untuk segera mengakhiri perjalanan. Vino sering melihat jam dan mengecek map. Seolah ada petualangan khusus yang sedang dinantinya.Di sisi lain, Galih sang ajudan pimpinan lebih banyak diam memperhatikan sekitar mereka. Galih memandang tiap orang lebih seksama terutama orang baru yang kebetulan melintas atau tiba-tiba saja berada di dekat mereka. Galih berusaha keras agar pimpinannya tidak terlihat terlalu mencolok meski hal itu sangat sulit dilakukan. Rupa Arsya sangat menonjol. Gayanya sederhana, tapi terkesan eksklusif dan mahal. Apalagi ditambah dengan Arsya sedang berada di sebelah pengacara yang terlihat selalu rapi dan licin dengan jas mahalnya. Sem
“Memangnya PT. E ini punya hubungan apa lagi dengan Pelita Sentosa? Kenapa menyerang SB Industrial Energy? Bagian yang ini saya belum paham. Tolong seseorang bantu jelaskan karena sepertinya saya nggak ikut turun. Saya tidak mahir dengan senjata api by the way.” Abdul membuat semua orang di mobil menoleh ke arahnya. “Saya juga tidak mahir dengan senjata manual. Tombak, panah, pedang dan sejenisnya,” tambah Abdul cepat-cepat.Vino membuka tabletnya dan menggulirnya sebentar. Sejurus kemudian dia menjejalkan tablet itu pada Abdul. “Aku juga baru tahu kalau ternyata PT. E ini adalah anak perusahaan Pelita Sentosa. Salah satu tambang yang izinnya bakal dicabut karena banyak melanggar aspek teknis maupun pelestarian lingkungan. Perusahaan ini sedang dalam pemeriksaan.”“Harusnya PT. E sudah dihentikan sementara, tapi kita akan lihat ke dalam apa yang kita temukan. Masyarakat adat tahunya kalau PT. E ini bagian dari SB Industrial Energy. Mobil yang menjemput kita udah di depan, Sa. Yang tur
Beberapa saat sebelumnya.“Saya sudah bilang kalau saya tidak mau terlibat dalam hal ore yang dihasilkan atau ore yang ditumpuk untuk dioleh, atau dikemanakan. Lagian besok kita bisa ke smelter itu. Nggak perlu malam-malam begini. Saya juga capek perlu istirahat.” Mika kesal karena sejak dia menyanggupi berangkat ke Morowali, tuntutan Eric semakin beragam.“Saya memang merekrut kamu untuk proyek hilirisasi yang akan datang. Tapi bukan berarti kamu lepas tangan dalam semua hal. Sebagai Planning Project Kamu harus lihat apa yang bisa kamu manfaatkan atau hal apa yang bisa kamu masukkan dalam rencana.” Eric menjawab dengan sangat dingin.“Tapi bukan begini caranya,” sahut Mika.“Karena kamu harus tahu rencana saya, Mika. Kalau hilirisasi belum dilakukan, maka saya tidak mau kehilangan pemasukan dengan menjual bahan mentah itu ke perusahaan lain. Harganya murah. Lebih baik saya ekspor ke luar negeri.”“Tapi itu ilegal, Pak. Perusahaan ini bisa ditutup,” sergah Mika. Suaranya mulai tinggi
“Kamu harus hati-hati sama tetangga. Meski istrimu baru sekali ke sini, tetap aja dia lebih leluasa buat ngobrol sama tetangga.” Mayang menoleh kanan-kiri sebelum keluar dari barisan kursi paling belakang. “Aku lapar, Ca. Kamu udah makan? Kalau belum sekalian pesan makan, gih.” Bicaranya masih berbisik-bisik dan langsung masuk melalui pintu belakang rumah tanpa berani menoleh mana-mana. “Makannya boleh ditunda? Habis begituan aja ya …. Aku kangen banget. Dari kemarin kebayang terus.” Mayang menepuk lengan Panca. “Baru sehari nggak ketemu. Dan tiap ketemu pasti begituan. Masih kangen aja.” Panca meremas pinggang Mayang yang berbalut rok span sebatas lutut. Kerinduannya pada Mayang memang menggebu-gebu. Sekian tahun terpaksa berpisah dan akhirnya bisa bertemu di satu gedung perkantoran membuat Panca berjanji tak akan melepaskan wanita itu lagi. Baginya Mayang adalah wanita yang sejak dulu harusnya ia lindungi. Banyak perasaan bersalahnya pada Mayang. Panca meletakkan kunci mobil dal
"Pokoknya aku mau kita tinggal satu kota lagi. Satu rumah. Suami istri apa yang tinggalnya berjauhan padahal kita bisa mengusahakan tinggal serumah. Mas Panca, kan, bukan pelaut yang pergi berlayar berbulan-bulan. Harusnya Mas senang kita bakal tinggal serumah lagi. Bukannya malah kesal gitu. Kita masih pengantin baru, Mas. Hamil usia empat bulan begini aku kepengin dimanja-manja kayak temanku." Indah bicara di telepon sambil mondar-mandir membuka lemari dan memilih-milih pakaian yang akan dimasukkannya ke koper ukuran kabin. Di seberang telepon suara napas Panca mengembus kasar. "Kamu tuh kapan, sih, percaya dengan yang aku bilang? Kamu kira aku asal ngambil keputusan? Aku baru tiga bulan tugas di kota ini dan itu belum permanen. Belum keluar SK Penempatan Definitif. Belum tetap, In! Kalau kamu udah nyampe sini dan aku dikembalikan lagi gimana? Bolak-balik ke sana kemari itu perlu uang banyak. Aku nggak mau dikit-dikit kita minta orang tua kamu. Mereka sudah habis banyak untuk rumah
Panca menyingkirkan tangan Indah yang sudah menyusup dan menyentuh kelelakiannya. “Apa, sih? Aku bilang aku ngantuk.” “Ngantuknya segimana banget sampai kayak nggak nafsu sama istri. Laki-laki normal harusnya nggak gitu. Disentuh pasti ngaruh. Apalagi udah lama nggak ketemu istri.” Indah tersinggung dengan penolakan Panca. Lagi-lagi air matanya hampir jatuh. Tapi kali itu ia tidak malu lagi menunjukkan kesedihannya di depan Panca. Ia sudah terlampau sering menangis di depan pria itu. Panca duduk dan membetulkan pakaiannya. “Kamu tahu apa, sih, soal capek kerja? Kamu nggak pernah kerja, kan? Lulus dari universitas di luar negeri kamu nggak pernah pakai ijazah kamu buat ngelamar kerja dan makan gaji. Kamu udah nerima privilege sebagai anak tunggal yang mana semua uang orang tua kamu adalah milik kamu. Kita beda. Aku memulai semuanya sendiri dari nol.” Panca berdecak kesal dan wajahnya semakin kesal ketika melihat Indah hampir menangis. “Bisa banget Mas ngomong gitu. Perkara capek ker
Mual muntah di awal kehamilan membuat berat badan Indah hampir tidak mengalami kenaikan. Tubuhnya masih kecil mungil seperti gadis. Acara malam yang sudah ia bayangkan akan menjadi waktu melakukan romantisme pengantin baru menguap begitu saja. Ia membutuhkan pakaian masuk ke club secepatnya.“Ada diskon, kan? Saya lihat di banner depan.” Indah menunjuk banner yang menawarkan potongan harga cukup lumayan. Untuk kebutuhan sehari-hari saja ia masih dijatah Panca, jadi pengeluaran pakaian ke klub tentu tidak masuk dalam perhitungannya.Indah membeli satu dress dengan harga cukup murah. Dress selutut dengan harga yang dulu dengan mudah dibelinya tanpa harus menunggu diskon.‘Mas Panca pulang jam berapa? Malam ini aku kepengin makan bareng.’Sekali lagi Indah memastikan jawaban Panca dengan mengirimkan pesan untuk keempat kalinya. Besar sekali harapannya Panca akan membalas dengan ucapan manis. Nyatanya jauh dari harapan.‘Belum berubah, In. Aku ada acara kantor. Kamu makan sendiri aja. Pok