Melihat tawa riang Laras usai melahirkan, juga sambutan hangat keluarga terhadap bayi sehat yang baru dilahirkan Laras membuat Indah ikut bahagia sekaligus berkecil hati. Keadaan ia dan Laras amat sangat jauh berbeda kala itu. Adit suami Laras selalu siap sedia di dekatnya. Laras menyusui bayinya dengan perasaan suka cita tanpa air mata yang jatuh berkali-kali tiap memangku bayinya. Bagaimana mungkin ia bisa melahirkan bayi sehat seperti itu? Alif saja sudah lebih dari cukup untuknya. “Cucu Ibu cantik banget, kan?” Bu Della memuji bayi Laras berkali-kali. “Kalau Papi Mami Adit nggak bisa langsung ke sini, nggak apa-apa. Nanti di Jakarta pasti ketemu. Lewat tiga hari Laras pasti pulang ke Jakarta. Sekarang kita menginap di hotel dekat rumah sakit aja. Ibu juga mau ketemu si cantik ini setiap hari.” Bu Della tak melepaskan bayi Laras barang sekejab pun. Indah ikut tersenyum memandang wajah putri Laras yang memang rupawan. Kecil mungil dan wajahnya manis. Meski begitu ia tidak berani
“Kayaknya aku nggak sanggup kalau begini terus, Ca. Aku perlu santai selonjoran di rumah. Badanku lemas dan aku sama sekali nggak bisa makan nasi. Aku takut bayi kita bakal kekurangan gizi.” Mayang menangis tersedu-sedu dengan pakaian kantornya di pagi hari.“Ya, udah. Kamu resign aja. Tapi kalau kamu resign, kamu harus siap untuk kita hidup pas-pasan sesuai pendapatan aku. Jangan menuntut macam-macam. Kalau kamu resign berat kemungkinan buat kita ngikutin standar hidup yang udah dari dulu kamu tetapkan. Kita berangkat sekarang,” ajak Panca di depan pintu.Mayang yang wajahnya sangat pucat menutup mulut dengan sapu tangan dan melangkah mengikuti Panca untuk masuk ke mobilnya. “Bulan depan aku resign. Aku janji bakal jadi ibu rumah tangga yang baik untuk kamu. Aku bakal masak setiap hari dan mengurus rumah dengan sebaik-baiknya.” Mayang mencondongkan tubuhnya ke arah Panca dan mengecup pipinya.“Kita jenguk Mama dulu, ya. Sore ini Mama dapat penangguhan penahanan karena bisa membayar s
Sebegitu tiba di Jakarta kemarin, Indah langsung menyambangi rumah sakit untuk menjenguk Alif yang sudah beberapa hari tidak ia temui. Selama beberapa waktu lamanya Indah berkurung dalam tirai dan mencoba menyusui Alif. Awalnya bayi itu menolak dengan merengek, namun rupa-rupanya penolakan Alif itu wujud protesnya karena ditinggal selama beberapa hari. Alif menyembunyikan wajah dalam pelukan Indah dan berdiam beberapa lama sebelum mau memandang ibunya lagi. “Alif cinta Mama …. Maaf kalau Mama kemarin nggak ngajak Alif. Mama lagi bingung dan sedih karena ditinggal Opa. Maaf karena nggak sempat ngajakin Alif lihat Opa untuk terakhir kali. Alif harus konsentrasi buat operasi yang udah di depan mata. Dokter bilang … Alif udah mencukupi syarat buat operasi. Mama bahagia. Salah satu dari doa-doa Mama bakal terjawab minggu depan.” Indah merasa tubuh Alif yang sejak tadi kaku menyembunyikan wajah di bawah lengannya, perlahan mengendur dan bayi itu memandangnya dengan raut polos dan lucu. I
Menit-menit pertama di mobil menuju mall, Indah segan mengajak Arsya bicara lebih dulu. Meski Yeni dan Galih duduk di depan, wajah tertekuk Arsya tetap menimbulkanperasaan was-was. Pria itu terlihat sangat dingin di permukaan dan suasana hatinya sedang tidak baik. Ditambah, Galih sangat lihai mengawasi setiap spion. Kursi mobil bagian tengah yang memiliki jarak cukup jauh satu sama lain membuat Indah hanya bisa menatap tangan Arsya yang terbaru jas abu-abu dan terletak elegan di atas paha pria itu. Indah cemberut sedetik karena melihat Arsya benar-benar sangat gagah dan tampan dengan jas mewah yang merupakan kesehariannya. Arsya duduk tegak menyilangkan kaki. “Ehem,” Indah berdeham dan melirik Arsya. Berharap kalau pria itu juga akan meliriknya. Rupanya Arsya tengah sibuk berjibaku dengan pikirannya sendiri. Pelan-pelan sambil melihat spion tengah, Indah menggeser tangannya. Teringat ekspresi sebal Arsya saat ajudan baru memanggilnya dengan sebutan ‘Neng’ Indah memutuskan bahwa ia
Saking jarangnya berada di rumah Arsya, Indah hanya mengenal seorang staf perempuan yang mengurus segala macam tentang pria itu. Selain itu Indah tidak mengenal siapa-siapa. Namun herannya setiap orang yang ia temui di rumah Arsya mengenalinya sebagai nyonya rumah. Dua orang pria yang entah muncul dari mana tiba-tiba saja sudah berjalan masuk ke rumah dengan kedua tangan penuh belanjaan. “Belanjaannya diletakkan di mana, Bu?” Salah seorang pria bertanya pada Indah. “Bisa diletakkan di kamar Bapak. Nanti kalau ada yang perlu dipindahkan lagi saya akan panggil bapak-bapak,” ujar Indah. Merasa nyonya rumah ternyata bukan orang yang sulit, keduanya tersenyum dengan mata berbinar-binar. “Kalau ada apa-apa bisa panggil kita berdua, Bu. Saya Deden dan dia Ipul,” ujar Deden menunjuk temannya. “Iya, terima kasih, ya.” Indah tersenyum ramah. Sedikit banyak ia bahagia karena Arsya pasti mewanti-wanti soal siapa dia di rumah itu. Keramahan lainnya didapat Indah dari Titin. Staf utama yang m
Arsya menghela napas dan mengusap pipi Indah. Pemandangan di depannya adalah pemandangan yang ia impikan. Indah berada di kamarnya dengan wajah lelah dan mereka sedang bersiap-siap melepaskan lelah itu dengan menghibur satu sama lain. Pasti nyaman sekali berada dalam pelukan Indah seharian, pikirnya. Tapi mewujudkan pikiran itu tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. “Kamu lakukan apa yang mau kamu lakukan. Selama kamu mandi, Abang ada di ruangan kerja. Ada yang mau Abang kerjakan. Enggak lama, tapi kamu bisa mandi dengan nyaman.” Setelah mencubit pelan pipi Indah, Arsya pergi ke tumpukan paperbag yang berisi macam-macam lilin aromaterapi. Ia menenteng tiga paperbag berisi lilin. “Ayo, ikut Abang ke kamar mandi. Kamu pasti suka kalau berendam dengan garam mandi ditemani lilin ini. Abang suka kalau kamu menikmati waktu di sini. Selama ini kamu sudah cukup capek.” Arsya mengeluarkan semua lilin dan menyusunnya ke meja panjang yang terbuat dari batu pualam berwarna putih.
Tidak perlu aba-aba dua kali untuk meminta Arsya mengekplorasi bagian dadanya. Arsya selalu bersemangat di bagian itu.Indah menelan dengan susah payah ketika Arsya mengagumi, mengangkat, dan meremas gundukan lembut itu dengan tangannya yang besar dan lebar. Sepertinya, Arsya terlena oleh dadanya sejak pertama kali pria itu mendapat izin menjelajahi tubuhnya. Sentuhan Arsya perlahan dan lembut, napas Arsya terengah. Puncak dadanya dengan cepat mengeras dan semakin menonjol. Arsya terlihat semakin gemas. Arsya mengait tali lingerie di bahu Indah. Bermaksud menurunkannya ke samping tapi ternyata lingerie itu cukup ketat. Arsya kemudian bermaksud menyingkirkannya di bagian dada. Namun, ruang yang tersedia tidak cukup untuk memberikan Arsya akses ke puncak dadanya. Akhirnya Arsya menundukkan kepala dan menyesap puncak dadanya melalui lapisan atas lingerie. Indah sontak memekik. Tubuh Arsya yang besar mendesaknya dengan sangat tidak sabar di tepi ranjang. Sensasi lidah lembut Arsya yang
Arsya mengeksplorasi bagian itu dengan lembut dan napas yang semakin memburu. Dengan kenikmatan yang semakin menggila, Indah mengangkat dagunya lebih tinggi. Ia ingin dicium dan Arsya seakan mendengar permintaannya dalam hati detik itu juga. Arsya kembali melumat bibirnya. Indah mendesah penuh kenikmatan. Ditambah dengan sentuhan Arsya yang semakin menggila di bagian bawah tubuhnya. Indah menggeliat. Ibu jari Arsya menemukan satu titik di pusat kelembutannya yang semakin membuatnya menggila. Tubuhnya melenting dengan sepasang dada terangkat ke depan. Dengan erangan pelan, Arsya menunduk dan melumat puncak dadanya, menyesapnya dengan kuat, bersamaan dengan hunjaman nakal dari jemari Arsya di bagian bawah tubuhnya. Indah merasa tubuhnya bergetar dari ujung rambut ke ujung kaki. Kenikmatan yang luar biasa semakin dekat dan hampir menghantamnya. Ia bergerak semakin gaduh. Indah mendesah seirama dengan ritme jari Arsya. Ia belum pernah merasakan kenikmatan luar biasa seperti itu. Ia ingi