Arsya kembali melambai pada Indah yang berdiri di ambang pintu depan. Wanita itu berkali-kali mengingatkannya untuk tidak terlambat makan dan tetap makan banyak sesuai porsi yang biasa. Tapi tahukah Indah kalau ia semakin sulit tidur akhir-akhir ini. Ia pulang larut malam saat Indah sudah tidur dan berbaring miring memandang istrinya berlama-lama.Ketika dunia di luar terasa amat melelahkan, Arsya merasa sangat beruntung bisa pulang dan memandang hal-hal menenangkan di rumah. Saat Indah mengobrol soal masakan bersama Bu Anum dan Ratmi; saat Indah antusias memangkas bonsai lalu semenit kemudian menyesal karena salah memotong bagian tertentu; saat Indah menyibukkan diri menyusun buku-buku di perpustakaan kecil lalu datang menghampirinya dan bertanya tentang salah satu buku unik yang berhasil ditemukannya. Hanya dengan melihat hal itu Arsya sudah merasa di rumah.“Bu Indah pagi tadi ngingetin saya soal makan siang, Pak. Kata Bu Indah, tolong masuk ke ruangan Pak Arsya lima menit sebelum
Mungkin hari itu konsentrasinya sedang tidak baik untuk berurusan dengan dua komisaris. Arsya bukan anak kemarin sore yang mau duduk mendengarkan dua pria paruh baya memaksakan mimpi-mimpi mereka padanya. “Pak Arsya, Pak Arsya …. Kita sudah datang jauh-jauh dan meluangkan waktu menemui Anda. Bukan cuma Anda yang sibuk.” Pak Binsar berdiri dan nyaris mengejar Arsya ke pintu. Namun, langkah Sarah lebih gesit. Ia berdiri di ambang pintu dengan senyum yang berarti perintah tak terbantah. “Maaf, Pak. Silakan duduk kembali. Mari kita jadwalkan pertemuan dengan Pak Arsya yang berikutnya.” Sarah mengibaskan tangan menunjuk meja. Pak Binsar terlihat kesal namun menghentikan langkahnya. “Apa dia nggak tahu kalau kami ini komisaris? Apa dia nggak tahu apa wewenang kami? Kenapa terlihat sepele sekali? Etikanya ke orang tua pun nggak ada.” Pak Binsar berjalan kembali ke kursinya. Sarah mengikuti langkah kembali ke kursi. Ia duduk tenang membuka tablet dan mengecek jadwal Arsya. “Seperti yang b
“Anda mengejutkan saya,” ucap Arsya seraya tertawa. “Kenapa Anda tahu kalau saya memperhatikan pasangan yang ini?” Arsya menyentuh foto polaroid yang memang menarik perhatiannya. “Karena banyak orang yang ke sini bertanya soal mereka. Setelah mereka, saya belum punya foto pasangan lain untuk diletakkan di sini.” Wanita pemilik toko bunga mengusap bingkai tempat ia menempelkan puluhan foto pasangan di sana. “Apa Anda punya syarat tertentu agar foto bisa diletakkan di sana?” Arsya menjadi tertarik. “Sedikit contoh … saya menganggap cerita mereka sangat unik. Si pria tidak menyadari dirinya sudah bertahun-tahun jatuh cinta sampai dia rela menunggu si wanita dari remaja hingga tumbuh menjadi wanita dewasa yang sangat cantik. Dan … soal syarat agar foto pasangan saya letakkan di sini? Sebentar saya akan mengambil sesuatu.” Wanita pemilik toko bunga masuk ke bengkel kecilnya di sudut ruangan dan keluar dengan sebuah buket bunga yang sangat cantik. Ia menyerahkan buket bunga itu pada A
“Maksudnya? Abang mau ke Morowali beberapa hari?” Indah sedikit curiga dengan penyampaian izin Arsya yang sangat lembut. Seakan pria itu sedang izin melakukan kesalahan.Arsya mengatupkan mulut sejenak. Gemas sekaligus iba melihat raut khawatir Indah. “Kalau Abang bilang beberapa hari sepertinya kurang tepat. Abang mungkin bisa menghabiskan dua minggu atau lebih. Atau bisa jadi satu bulan kalau masalahnya cepat selesai. Abang sebenarnya sedih karena harus pisah dengan kamu. Tapi buat ngajak kamu juga sepertinya nggak mungkin. Kamu nggak akan nyaman dan fokus Abang pasti terbagi.”“Cuma berdua aja dengan Pak Pengacara itu? Bukannya daerah tambang itu juga rawan? Warga sana juga nggak terlalu ramah dengan orang-orang yang berhubungan dengan smelter. Selama ini smelter selalu dianggap sebagai perusak lingkungan mereka. Kalau pimpinan smelter dan direktur operasional tidak bisa mengatasi itu selama ini, bukan berarti sebegitu Abang ke sana semua selesai, kan? Nggak ada yang jamin keselamat
Sehari sebelum keberangkatan Arsya. Tak terhitung berapa kali Indah mengecek semua bawaan Arsya sehari sebelum keberangkatan. Walau Arsya meyakinkan bahwa semua sudah beres dan tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, Indah tetap merasa perlu mengalihkan dirinya dari kesedihan dan berkecil hati.Sore sebelum berangkat, Arsya tiba dari kantor sedikit lebih cepat. Saat sedang mengecek semua perangkat elektronik yang akan dibawa, Indah tercenung saat membuka salah satu laci kerja Arsya. Tadinya ia memang hanya ingin mencari kabel. Bersamaan dengan itu, Arsya muncul di depan pintu.“Lihat apa? Kok, mukanya gitu?” Arsya cepat-cepat menyusul Indah.“Sejak kapan jurnal ini ada di Abang? Bukannya ini sebelumnya aku kasih ke Mbak Yeni?” Indah memegang jurnal yang isinya tentang jenis pakaian Arsya dan beberapa contoh padanan busana yang diklipingnya sewaktu menjadi asisten sekretaris. “Oh, itu .... Itu memang Abang ambil dari Yeni. Dulu ada cewe yang ngambek langsung mengundurkan diri. Semua
Deden dan Ipul yang bekerja merangkap keamanan dan segala tukang di rumah Arsya, masuk bersamaan pagi itu. Kemarin, Arsya sudah mewanti-wanti keduanya. “Saya minta waktu ekstra kalian berdua. Bu Indah lebih senang di rumah merawat bonsai-bonsainya. Jadi, jangan ambil libur tanpa seizin saya. Jangan tinggalkan pagar tanpa pengawasan karena saya bisa mengakses CCTV dari mana saja. Saya harap kalian bisa diandalkan saat saya pergi bersama Galih.” Setelah menyampaikan pesan-pesannya, Arsya bergeser untuk menerima uluran tangan Bu Anum. “Jaga diri, Pak Arsya. Pergi sehat kembali sehat. Tiga bulan lagi bakal ketemu dede bayi. Bukan Pak Arsya aja yang nggak sabar, saya juga nggak sabar,” kata Bu Anum. Arsya menambahkan satu tangannya lagi di atas jabatannya bersama Bu Anum. Genggamannya semakin kuat. Wanita paruh baya di depannya itu adalah orang pertama yang dipercayainya dalam soal menjaga Indah. “Bu Anum, saya mempercayakan istri dan calon bayi saya ke Bu Anum. Tetap baik-baik saja sela
Percakapan selama perjalanan itu tidak berlangsung lama. Perjalanan panjang dan beberapa kali berpindah moda transportasi bisa membuat orang cepat letih. Terutama buat orang yang jarang melakukan perjalanan jauh seperti Abdul. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktunya di depan komputer. Sedangkan Vino rekannya terlihat tidak sabar untuk segera mengakhiri perjalanan. Vino sering melihat jam dan mengecek map. Seolah ada petualangan khusus yang sedang dinantinya.Di sisi lain, Galih sang ajudan pimpinan lebih banyak diam memperhatikan sekitar mereka. Galih memandang tiap orang lebih seksama terutama orang baru yang kebetulan melintas atau tiba-tiba saja berada di dekat mereka. Galih berusaha keras agar pimpinannya tidak terlihat terlalu mencolok meski hal itu sangat sulit dilakukan. Rupa Arsya sangat menonjol. Gayanya sederhana, tapi terkesan eksklusif dan mahal. Apalagi ditambah dengan Arsya sedang berada di sebelah pengacara yang terlihat selalu rapi dan licin dengan jas mahalnya. Sem
“Memangnya PT. E ini punya hubungan apa lagi dengan Pelita Sentosa? Kenapa menyerang SB Industrial Energy? Bagian yang ini saya belum paham. Tolong seseorang bantu jelaskan karena sepertinya saya nggak ikut turun. Saya tidak mahir dengan senjata api by the way.” Abdul membuat semua orang di mobil menoleh ke arahnya. “Saya juga tidak mahir dengan senjata manual. Tombak, panah, pedang dan sejenisnya,” tambah Abdul cepat-cepat.Vino membuka tabletnya dan menggulirnya sebentar. Sejurus kemudian dia menjejalkan tablet itu pada Abdul. “Aku juga baru tahu kalau ternyata PT. E ini adalah anak perusahaan Pelita Sentosa. Salah satu tambang yang izinnya bakal dicabut karena banyak melanggar aspek teknis maupun pelestarian lingkungan. Perusahaan ini sedang dalam pemeriksaan.”“Harusnya PT. E sudah dihentikan sementara, tapi kita akan lihat ke dalam apa yang kita temukan. Masyarakat adat tahunya kalau PT. E ini bagian dari SB Industrial Energy. Mobil yang menjemput kita udah di depan, Sa. Yang tur