“Kau berat sekali!” Amelia sedang melangkah tertatih kala memapah seorang pria tinggi besar yang memiliki napas berbau alkohol.
“Kau yang terlalu ringan, sayang!” Kerlingan serta senyuman nakal si pria.
“Kita tidak saling mengenal. Jangan panggil aku sayang!” kesal Amelia bersama napas terengah. Segera, tubuh si pria dijatuhkan ke atas ranjang di dalam hotel karena Amelia menemukan si pria sempoyongan di bar tidak jauh dari hotel mewah ini. “Menyebalkan sekali. Anehnya aku yang harus bertanggung jawab membawamu kesini!” ocehan Amelia saat menggunakan apron bar karena sedang dalam penyamaran memata-matai wanita yang dicurigai memiliki hubungan gelap dengan kekasihnya.
“Kau adalah pelayan di bar, tidak ada salahnya mengantarku.” Senyuman genit si pria yang setengah sadar.
“Sebenarnya aku sedang menyamar, kamu harus tahu itu!” Kedua lengan Amelia dilipat di depan dada bersama tampilan wajah sedikit kacau. Tiba-tiba saja pria ini memiliki tenaga untuk bangkit hanya untuk menarik tangan Amelia hingga terjatuh sempurna dan sensual di atas dada bidangnya.
“Ayo kita bersenang-senang, untuk apa menyamar menjadi pelayan,” bisikan setan dari si pria yang tidak digubris Amelia. Namun, karena perbedaan tenaga akhirnya wanita ini jatuh ke dalam jebakan dewa jalang. Ini pengalaman pertamanya, tetapi yang kata orang sangat menyiksa, justru yang dirasakannya sangat berlainan. Nikmat. Hanya itu!
***
Amelia mengambil sebuah kartu identitas dari dompet si pria yang masih tidak sadarkan diri. “Erland, nama yang bagus, seperti cara bermainmu.” Pipi Amelia merona, kemudian berlalu tanpa jejak. Satu jam kemudian, dirinya tiba di sebuah rumah mewah atau mungkin bisa juga disebut istana, di sini dirinya tinggal. “Bad sekali!” rutuknya seiring menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur.
Semalam, wanita yang dicurigai berselingkuh dengan kekasihnya adalah wanita murahan, tetapi sangat berkelas dan salah satu anggota mafia. Amelia tidak dapat berbuat apapun selain mencari informasi instan lewat obrolan kaum berkelas yang berada dalam lingkaran organisai hitam. “Pantas Tio mengkhiantiku, dia menemukan wanita lebih berani dari pada aku yang cupu.”
Amelia pasrah pada keadaan tidak adil ini karena dirinya merasa amat kecil jika dibandingkan dengan wanita semalam. Namun, di sela-sela memikirkan wanita itu, Erland-pria yang semalam dengannya menelusup begitu saja ke dalam kepalanya. “Siapa pria itu. Dia berada di dalam bar ekslusif, sepertinya dia juga bukan pria sembarangan.”
Tok tok tok
“Mei ...,” panggilan sayang Sopia-ibunya.
“Iya, Ma.” Amelia segera bangkit untuk membukakan pintu.
“Semalam Mama dengar kamu tidak di rumah. Kemana kamu semalaman!” teguran Sopia yang adalah wanita berkelas-istri pejabat.
“Amei habis mengerjakan tugas Ma, di rumah temen.” Senyuman lebar Amelia.
“Sebentar lagi kamu meninggalkan status sebagai mahasiswi dan berubah propesi menjadi orang kantoran, atur waktu kamu mulai dari sekarang!” nasihat tegas Sopia seiring mengendus pakaian putrinya.
“Iya Ma ..., Amei tahu kok.” Amelia menatap ibunya yang berkeliling melingkari tubuhnya.
“Samar-samar Mama mencium bau alkohol!” Indera penciuman Sopia sudah di level teratas maka bau mencurigakan sedikitpun akan segera diolah dalam rongga-rongga hidung hingga menggelitik tidak nyaman.
“Masa sih, Ma.” Lagi, senyuman lebar Amelia.
“Mama juga mencium farfum pria. Apa yang kamu lakukan dengan seorang pria!” Kedua mata Sopia memicing tajam.
“Ma ..., dosa tahu curigaan sama anak,” kekeh Amelia untuk mencairkan suasana yang mulai menegangkan ini.
“Katakan dengan jujur!” Sopia adalah wanita berkelas yang sangat elegand, semua harus sempurna, tertata rapih dan tentu saja aturan-aturan itu juga berlaku untuk Amelia.
Wanita berusia dua puluh empat tahun ini menghembus udara cukup panjang. “Semalam Amei sama temen-temen cewek mengerjakan tugas, lalu kedatangan temen-temen cowok yang ternyata sedang mabuk. Salah satunya ambruk di tubuh Amei. Wajar bau alkohol dan farfum lelaki.” Senyuman lebar kembali ditarik. Namun, tatapan Sopia tetap memicing curiga.
“Mama ingin mencium napas kamu!”
Amelia segera membuang udara dari mulutnya. “Mama percaya kan, Amei tidak mabuk kok.” Dengan ini Sopia merasa tenang karena mulut putrinya tidak mencurigakan seperti yang ada di pikirkannya.
“Iya sudah, ganti pakaian. Sebentar lagi kita kedatangan tamunya papa!”
“Emangnya kalau ada tamunya papa, itu artinya Amei juga harus bersama papa menemui orang-orang penting itu?” tanya Amelia bersama ragu karena mungkin ibunya tidak akan menerima pertanyaan yang menurutnya sangat konyol, pun senyuman kembali ditarik.
“Seisi rumah ini harus memenuhi standar kebersihan, kerapihan, kenyamanan, keindahan, keselarasan, ke ....”
Amelia memotong, “Iya Ma, Amei akan mandi dan pakai baju bagus yang rapih dan sopan. Begitu kan, Ma.”
“Iya. Setelah selesai jangan lupa sarapan!” Sopia berlalu bersama kipas tangan bermotif selaras dengan dekorasi ruangan favoritnya.
“Nasib punya mama sempurna. Semua harus sempurna!” gerutu Amelia hampir setiap hari. Identisas Erland disimpan di dalam dompet karena lain kali dia akan menemuinya lagi sebagai alat untuk memanasi Tio.
Beberapa hari berlalu, Amelia menjalani kebiasaannya, tetapi kini dirinya sudah kehilangan minat pada Tio, hubungan mereka sudah diakhiri. Kehidupannya baik-baik saja sebagaimana mahasiswi yang sedang menyongsong masa depan. Namun, dua bulan kemudian semuanya berubah.
“Apa ini, kenapa bisa garis dua!” Seketika wajah Amelia memucat serta keringat dingin bercucuran dari dahinya, “mana bisa satu kali melakukan hubungan bisa hamil!” Wanita ini tidak yakin dengan penglihatannya. Maka, dokter kandungan menjadi jalan terakhirnya.
“Selamat, nyonya positif hamil.”
“Apa!” Wajah Amelia semakin kehilangan warna segarnya hingga hanya menyisakan warna pucat pasih, “Dok, apa tidak salah?”
“Selama saya menjadi dokter kandungan, saya tidak pernah salah sama sekali.”
Tubuh Amelia lemas, deretan kehidupan yang indah hilang bahkan masa depannya sirna ditelan kenyataan. “Kenapa harus hamil, bagaimana ini?”
Kalimat Amelia itu membuat dokter segera mengerti. “Saya sarankan agar nyonya tetap membiarkan bayinya hidup, janinnya sangat sehat” Senyuman melengkung ramah.
“Tapi masalahnya bayi ini ....” Hendak mengatakan jika dirinya mendapatkan si bayi dari hasil hubungan dengan pria asing, tapi itu adalah aib maka kalimatnya kembali ditelan, “Dok, apa saya bisa melakukan aborsi?” Suara Amelia sedikit berbisik.
“Maaf Nyonya. Aborsi tidak bisa dilakukan dengan sembarang, apalagi atas dasar tidak menginginkan bayinya.”
“Tapi saya memang tidak bisa melahirkannya. Saya mohon, Dok ....”
“Aborsi di luar tugas saya, Nyonya. Jika Nyonya tetap memaksa, silakan cari dokter lain, tapi saya yakin akan sulit menemukan doter yang menyetujui permintaan Nyonya.”
Saat ini jalan Amelia buntu, tetapi tidak bisa meminta bantuan pada si pria karena dia hanyalah orang asing. “Bayi ini hadir di waktu yang salah. Setidaknya dua kali melakukan baru hadir, kenapa baru saja sekali melakukan sudah hadir, memangnya pria itu akan percaya apa!”
Ketika kembali ke rumah mewahnya, Amelia mengatakan sesuatu yang berasal dari keputusan terbaik versinya, “Ma, Pa, Amei akan melanjutkan kuliah di luar negeri saja seperti keinginan Mama sama Papa tahun lalu.”
‘Maaf, sebenarnya Amei mau melahirkan anak ini tanpa harus mama dan papa tahu!’
Bersambung ....
Akun ig _authordestiangraeni # Kalau Kakak" liat akun ig di bab, itu yang lama ya, udah nggak dipakai. Sekarang pakainya yang ini. ^^
Amelia terbang ke luar negeri bersama seorang bibi dan asisten pribadi utusan dari orangtuanya. Selama di sana, wanita ini kuliah dengan lancar, tetapi semakin lama perutnya semakin buncit. “Bibi dan Kak Amanda jangan katakan apapun pada mama dan papa ya kalau sebenarnya Amei hamil.” Kedua wanita yang dibawa Amelia hanya saling menatap bingung hingga Amelia kembali berkata, “Amei akan melahirkan anak ini, Amei tidak akan membunuhnya karena anak ini tidak memiliki dosa apapun.” “Iya Mei, tapi bagaimana dengan sekolah kamu?” tanya wanita bernama Amanda yang usianya lima tahun lebih tua dari Amelia jadi dia sudah menganggapnya sebagai kakak. “Gampang. Pokoknya kalian harus kerjasama, tidak boleh ada yang membocorkan rahasia ini!” Hingga detik ini Amelia tidak mengetahui kehidupan pria bernama Erland, apakah dia manusia berada seperti dugaannya atau hanya anjing jalanan yang disewa seorang wanita kaya karena bar ekslusif itu dipenuhi oleh organisasi hitam. Tatapan wanita ini mengarah pa
Amelia membawa Kenzo tidak tentu arah. “Mana mungkin mama buang Kenzo, kalau mama sejahat itu sudah dari dulu mama lakukan.” Wanita ini mengendarai mobilnya sendiri. “Aku harus mencari Erland dan menceritakan semuanya!” Namun sebelum mencari Erland, Amelia harus mencari ibu asuh untuk Kenzo karena Sopia hanya memberikan waktu sampai besok. “Aku membutuhkan bantuan Kak Amanda.” Panggilan di udara dihubungkan pada Amanda yang masih berada di dalam kediamannya karena selama ini wanita itu adalah asisten pribadi Sopia. “Bantuan apa Mei, kalau bisa membantu aku akan membantu.” “Tolong carikan ibu asuh buat Kenzo, siapapun itu walau saudara Kak Amanda.” “Bagaimana ya Mei. Semua saudara aku bekerja, tidak ada yang diam di rumah.” “Seorang saja sudah cukup kak.” “Justru itu, tidak ada seorang pun,” sesal Amanda karena justru di saat paling genting dirinya tidak bisa membantu Amelia dan Kenzo. “Kak Amanda punya kenalan kan, tolong carikan, siapapun, asalkan orang itu berpengalaman mengur
“Dengarkan perintah papa kamu.” Sopia segera memihak Adhinatha. “Tapi Kenzo gimana Ma, besok hari terakhir Amei sama Kenzo.” Amelia mencoba meminta kebijakan dari orangtuanya. “Mama memberikan waktu sampai besok bukan berarti kamu yang harus menyingkirkan Kenzo. Papa punya banyak antek-antek untuk apa bersusah payah.” Sopia masih mempertahankan sikap tidak pedulinya pada si balita. Selain itu, wanita ini ingin Amelia tetap fokus pada dirinya sendiri demi membangun masa depan cerah. “Pokoknya besok Amei harus menghabiskan waktu sama Kenzo. Amei janji kok tidak akan bawa Kenzo pulang, tapi izinkan Amei yang pilih orang untuk menjadi ibu asuh Kenzo!” Saat ini Amelia memberanikan diri memerotes pada keputusan ayah dan ibunya demi sang buah hati. Namun, sikap Amelia membuat Adhinatha menatap sengit. “Sejak kapan kamu jadi pembangkang!” Saat ini Amelia dibuat tidak tenang sebagaimana seorang anak yang mendapatkan teguran dari ayahnya, tetapi semua yang dilakukannya selalu demi Kenzo. “
Amelia ditemukan setelah mobilnya memasuki kota kelahirannya. Maka, segera wanita ini dihadapkan pada Adhinatha dan Sopia. “Dari mana saja?” tanya wanita ini dengan santai walau tatapannya tetap mengandung kekecewaan. “Menitipkan Kenzo ke panti asuhan.” Wajah Amelia sedikit menunduk guna menyembunyikan kebohongannya. “Panti asuhan mana?” Sopia masih menatap lurus ke arah putrinya. “Mama dan papa tidak perlu tahu yang penting kan Kenzo tidak di sini, itu kan yang mama dan papa mau.” Hampir saja air matanya jatuh jika Amelia tidak mati-matian menahannya. Adhinatha membuang udara pendek. “Iya sudah, kamu siap-siap lalu ikut papa.” Maka, hari ini Amelia disibukan dengan sederet kegiatan yang dikenalkan Adhinatha sebagai jalan masa depan menuju kesuksesannya. Namun, karena berjauhan dengan buah hatinya maka wanita ini sering tidak fokus hingga membuat Adhinatha memberikan teguran kecil. “Kalau kamu bekerja seperti ini, papa yakin tidak akan ada orang hebat yang melirik, bahkan kamu
Amelia tidak bisa berhenti begitu saja, dirinya mencoba mencari informasi dari pihak lain yaitu pedagang kaki lima yang tidak jauh dari kediaman Erland. “Pak, maaf bertanya. Rumah yang banyak benderanya itu rumah siapa ya pak?” “Kalau itu sih rumahnya pengusaha paling hebat neng. Masa neng tidak tahu,” jawaban yang diberikan bapak-bapak ini. “Rumah pengusaha paling hebat.” Amelia tercengang karena ternyata benar dugaannya jika Erland bukanlah orang sembarangan. “Iya neng. Terhebat di negara kita!” “Heuh!” Amelia semakin tercengang saja selama beberapa saat, kemudian terduduk lesu di bangku kayu. “Papa dan mama tidak bisa menerima Kenzo, apalagi keluarganya Erland.” Maka, Amelia kembali ke rumahnya tanpa semangat. “Mei, ada apa?” bisik Amanda kala dirinya sedang tidak berada di bawah perintah Sopia. “Erland putra dari seorang pengusaha hebat di negara ini. Apa menurut Kak Amanda, keluarga Erland akan menerima Kenzo?” “Kalau itu aku juga tidak tahu ....” Amanda ikut terbawa dalam
“Bi, kenapa memberi tahu adiknya bibi kalau Kenzo anaknya Amei?” protesnya disampaikan lewat panggilan di udara karena pasti bibi masih sibuk di dapur. “Bibi tidak mengatakannya, non.” “Yang benar bi ....” “Iya non, bibi berani sumpah.” Wanita ini celingak-celinguk ke persekitaran karena takut jika tuan atau nyonya mendengar percakapannya. “Tapi tadi adiknya bibi bilang, wajar seorang ibu inginkan yang terbaik untuk anaknya. Apa itu artinya kalau adiknya bibi tahu Kenzo anaknya Amei?” “Mungkin menebak dari perhatian Non Amei.” “Iya juga sih ..., hari ini Amei sering menelepon menanyakan Kenzo.” “Coba Non Amei tenang, percayakan Kenzo pada adiknya bibi, adik bibi bisa dipercaya non karena sudah berpengalaman mengurus dua anak,” nasihatnya karena menyayangi Amelia. “Iya bi, mungkin Amei terlalu over. Maaf ya bi.” “Tidak apa non ....” Kalimatnya tidak disahut Amelia karena wanita itu mendapatkan kunjungan tidak terduga dari Sopia. “Ada apa ma, kok tidak ketuk pintu? Amei kan kag
Nitara berpamitan pada Amelia, segera wanita ini meninggalkan gedung untuk menemui kekasihnya yang sudah menunggu di halaman. “Dari kapan di sini?” “Barusan sih. Gimana wawancaranya?” tanya William-putra pengusaha paling hebat di negara ini yang semalam menjadi bahan pencarian Amelia di dalam internet. “Aku keterima kerja, mulai besok aku punya jadwal di sini,” riang Nitara. “Syukurlah ..., tapi tadi papa bilang lagi, katanya papa siap menerima kamu kapanpun.” “Aku di sini saja ya ..., soalnya malu kalau bekerja di perusahaan papa kamu.” “Iya sudah.” William mengusap puncak kepala Nitara sangat lembut dan penuh kasih. Kala mereka berlalu, barulah Amelia keluar dari gedung perusahaan untuk mencari udara segar. “Pusing dan BT. Itu yang Amei rasakan di perusahaan papa. Harusnya papa biarkan Amei melakukan hobby yang dijadikan mata pencaharian!” Wanita ini duduk di kursi taman di halaman gedung. Handphone sudah dirogohnya, tetapi hanya dipandangi saja. “Kalau aku menanyakan Kenzo lag
Amelia tidak dapat menghubungi balik karena nomor telepon Erland tidak tertera dalam panggilan. Wanita ini mondar-mandir gelisah seiring menggigit ujung bibirnya. “Erland ..., Kenzo membutuhkan kamu. Please, jangan bersikap seperti ini!” lirih mencambuk batinnya. Wanita ini memutuskan kembali ke kediaman si pria, tetapi dirinya berpapasan dengan Sopia kala menuruni anak tangga. “Sayang, kamu masih belum mandi dan ganti pakaian? Berantakan sekali anak gadis mama!” omelan segera meluncur dari Sopia. “Ma, Amei akan mandi setelah menyelesaikan urusan.” Kalimat grasah-grusuhnya. “Urusan apa sih? Jangan berpura-pura penting deh Mei. Ayo mandi.” Sopia segera menggiring putrinya kembali, hingga Amelia melangkah mundur. “Ma ..., Amei ada urusan sebentar!” “Mandi Mei, kamu bau busuk, mana ada anak gadis berpenampilan seperti kamu!” “Sebentar saja ma ..., Amei janji kok!” “Kalau sudah mandi, mama izinkan kamu keluar. Lagi pula di halaman sedang banyak tamu papa. Mama malu Mei, kalau kamu s