Amelia sempat mengerjap. “Tujuanku kesini bukan karena ingin mengulang dua tahun lalu, aku cuma mau kamu mengakui Kenzo, selamatkan Kenzo, aku tidak mau Kenzo dititipkan di panti asuhan.”William memerhatikan kecemasan Amelia yang tampak nyata. “Masuklah, kita akan bicarakan ini.” Akhirnya Amelia memiliki kesempatan bicara dengan pria yang selalu dikejarnya. Kini, dirinya berada di dalam mobil Willam yang entah akan membawanya kemana?“Saat ini Kenzo ada di pedesaan, tapi ibu asuhnya tidak bisa menjaganya lebih lama, hanya dua minggu. Sebentar lagi Kenzo akan kembali padaku, tapi aku tidak bisa membawanya ke rumah, mama dan papa tidak menginginkan Kenzo,” lirih Amelia.“Kenapa?” sahut singkat William saat menyetir.“Aku memperkenalkan Kenzo sebagai anak asuh, bukan anakku karena pasti mama dan papa semakin marah saat tahu aku hamil di luar nikah.”“Itu hanya prasangka kamu kan, tapi kamu belum mencobanya.” Datar William.“Mana bisa, keluargaku meninggikan keselaras dalam kehidupan, me
Saat William dan Amelia masih bersama, Tio muncul. “Kalian berdua saja?” curiga segera merasuki pikirannya.William memberikan jawaban dengan santai, “Iya, duduklah bergabung.” Tidak buang waktu apalagi menolak, Tio segera menggeser kursi kosong.“Mei, syukurlah, kamu baik-baik saja.” Senyuman tulus Tio. Melihat Amelia makan dengan lahap membuatnya tahu jika wanita itu sudah pulih.“Iya, aku baik-baik saja, tapi nama kamu sangat jelek di mata mama dan papa!” Sunggingan kecil Amelia yang merasa puas karena nama baik Tio jatuh begitu saja, mungkin ini balasan karena pria itu sudah mengkhianatinya.Tio memegangi pelipisnya sesaat. “Aku sudah menduganya.” Embusan udara ikut dibuang seiring menggelengkan kepala.William berbicara masih sangat santai. “Pesanlah sesuatu. Aku yakin kamu tidak tertarik menonton orang makan.” Tawa kecil disisipkan.“Tidak perlu, sebenarnya aku kesini karena ada kencan buta. Mama menjodohkan aku lagi!” keluhan Tio yang disahut tawa ringan William.“Terima saja p
“Apa maksudnya?” Tio menatap William dan Amelia bergilir.Amelia segera memberikan penjelasan, “Aku menginginkan pria yang kelak akan menjadi ayah untuk anakku!”“Nah, itu maksudku.” Tawa puas William. Sebenarnya tadi dirinya sengaja mengungkit tentang keberadaan Kenzo hanya untuk mengetahui reaksi Amelia demi memberinya petunjuk apakah Kenzo benar-benar ada?Namun, tentu saja Amelia tidak menyukai kalimat William, apalagi jika dianggap lelucon. Dirinya mati-matian melindungi Kenzo, seharusnya William mengerti itu. Kehadiran Tio menambah rasa tidak nyaman, maka Amelia memilih berpamitan diantar sopir karena jika William yang mengantar mungkin mantan pacarnya akan banyak bertanya.Pukul sepuluh malam Amelia baru saja kembali menginjakan kakinya di rumah. Sopia dan Adhinatha segera mengepungnya. “Di mana William, apa tadi Amei diantar pulang?” Tatapan wanita ini celingak-celinguk ke halaman.“Tidak, Amei pulang sama sopir.”Adhinatha menyahut kecewa, “Kenapa tidak ajak William ke rumah?
Nitara memberikan senyuman serta sikap santun pada William yang baru saja memanggil namanya. “Selamat siang tuan,” sapa Nitara sangat propesional kemudian menyimpan air ke hadapan beberapa orang termasuk Amelia. ‘Ternyata jabatan Amei di sini memang tinggi.’ Bangganya walau hanya ditunjukan melalui senyuman.William menatap Adhinatha. “Apa Tara di bagian pantri?” Dirinya ingin menjawab rasa penasarannya.Adhinatha terkekeh hangat sebelum memberikan jawaban, “Jadi anda dan karyawan saya saling mengenal.” Senyuman kecil diarahkan pada Nitara, “maaf ya jadi nona yang menggantikan bagian pantri.”“Tidak apa, tuan.” Masih santun Nitara selayaknya seorang bawahan pada bosnya.‘Begitu ya.’ Akhirnya William dibuat tenang karena ternyata jabatan kekasihnya tidak serendah itu.Adhinatha mulai menanyakan hubungan William bersama karyawannya, “Apakah Nitara pernah menjadi karyawan Anda? Tapi saya melihat dalam CV, Nitara tidak memiliki pengalaman kerja.”“Nitara memang bukan karyawan saya.” Lirik
Amelia mengerjap kecil, menghapus matanya yang sudah basah. “Tio, sedang apa kamu di sini?” Wanita ini balik bertanya pada pria tampan yang notabene adalah mantan kekasihnya. “Aku baru pulang kerja. Kebetulan lihat kamu.” Tio sempat celingak-celinguk ke persekitaran Amelia, “kamu sendiri?” “Iya.” Datar Amelia yang tidak pernah mengharapkan kehadiran Tio. “Mei, aku minta maaf atas kejadian sebelumnya, aku tahu pasti kamu masih kesel sama aku.” Digenggamnya satu tangan Amelia yang duduk di sisinya. Segera, tangan lembut itu ditarik perlahan oleh empunya, tetapi sangat mudah karena saking mulus dan halusnya kulit si wanita. “Kejadian yang mana? Kamu banyak membuat onar sampai-sampai yang aku ingat cuma keburukan kamu!” ketus Amelia tanpa menatap tampang Tio yang menyebalkan di matanya. “Mei ....” Tio masih mengalunkan suara lembutnya bersama tatapan teduh, “aku tahu bagaimana wanita, kalian memang sering mengingat keburukan pria, aku sangat mengenal kaum kalian, tapi tolong berikan m
Setelah menghabiskan waktu beristirahat, Amelia selaku anak dari pemilik gedung mulai mengecam tindakan para karyawan. “Nitara sahabat saya sejak sekolah, jadi jangan berkata buruk tentang Tara!” tegasnya seolah sedang memberikan perintah sebagaimana seorang bos. Maka, segelintir karyawan yang mendapatkan tegurannya tidak dapat berkutik sama sekali.“Mei,” panggilan Adhinatha yang baru saja kembali dari jam makan siangnya, mereka berpapasan di ruangan kerja para karyawan.“Iya, pa?”“Sudah makan, sayang?” Hangat Adhinatha karena dirinya satu hati dengan Sopia tentang kebahagiaannya mendengar kabar baik kedekatan Amelia bersama William.“Sudah, kok. Tadi papa makan di mana?”“Di restoran tidak jauh dari perusahaan. Papa dengar kamu sering ke kantin. Memangnya tempat itu higienis?”“Bersih kok!” Amelia menjawab tegas supaya pemikiran ayahnya tidak mengarah ke hal negatif yang membuatnya tidak bisa makan siang bersama Nitara lagi.“Iya, sudah. Bagaimana pekerjaan kamu?”“Ini mau mulai, p
Obrolan Amelia dan Bagaswara telah berakhir, tetapi wanita ini tidak ingin mengikuti intruksi pria itu selama bukan William yang mengatakannya. Jadi, dirinya segera berpamitan pada si pria yang adalah bawahan orang terhebat dalam bisnis di negaranya. “Mungkin mama sudah melewatkan kesempatan untuk menitipkan Kenzo, tapi mama tidak bisa memberikan Kenzo ke sembarang orang kalau bukan papanya Kenzo, walau yang tadi itu kakeknya Kenzo.” Desah lirihnya mengiringi, “kakeknya Kenzo seharusnya menjadi mertuanya mama.” Senyuman tegar dipasang karena dirinya tidak dapat mengatur takdir, sebagai salah satu manusia biasa di muka bumi ini Amelia hanya mampu menjalani kehidupan sesuai dengan alurnya. Namun, setiap keputusan tentunya memiliki sisi positif dan negatif maka kini dirinya kebingungan harus membawa Kenzo kemana? “Kalau Amei titipkan Kenzo sebentar pada Nitara apa dia bersedia? Tapi ... paling jam segini Nitara sedang bekerja.” Udara dihembus bingung. Dirinya belum mengetahui jika kini s
Amelia meninggalkan pesta untuk mencari ketenangan walau tidak menemukannya. Panggilan mengarah pada bibi. “Bi, bagaimana Kenzo?” “Rewel, non. Kalau sekarang Kenzo sedang sama Amanda, tapi kalau tuan dan nyonya pulang mana bisa seperti ini.” “Bi ..., Amei bingung ....” “Kita kucing-kucingan dulu saja kalau orangtuanya Non Amei di rumah, intinya supaya tangisan Kenzo reda dulu, itu sudah cukup.” Rencana bibi dianggap brillian oleh Amelia, tetapi entahlah apakah rencana ini akan berhasil? Cukup lama Amelia memisahkan diri dari orangtuanya maka Adhinatha kembali melakukan panggilan. “Mei, kamu tidak bisa diam. Cepat kemari, papa akan mengenalkan kamu pada anak-anak kolega!” “Iya, pa ...,” patuh Amelia sangat terpaksa. Wanita ini masih belum menemui pemilik acara, maka hingga detik ini dirinya belum mengetahui jika Nitara adalah wanita yang sangat cantik yang berdiri di depan sana. Wanita ini berkenalan dengan banyak pria dan wanita hebat, usianya sejajar ada juga yang di atasnya dan