Putri bungsu Antara Dafruz itu tersentak sadar. Sekujur tubuhnya masih gemetar. Bahkan dia menyadari ada airmata yang mengalir dipipinya. Gadis itu bangun. Menetralkan nafasnya yang sempat sesak dan memandang berkeliling. Dia Berada di tempat asing yang terlihat damai. Lumut menutupi tanah, tanaman berbunga tumbuh disana. Dia terbaring di bawah pohon bunga Tirza yang tengah mekar dan memancarkan bau harum yang menenangkan. "Apa aku sudah menyatu alam?" batinnya bingung. Ingatan terakhirnya adalah saat-saat dimana dia sekarat. Masuk akal jika dia berpikir dirinya sudah mati saat itu. Saat itu seorang perempuan mendekatinya, duduk disampingnya dengan tenang. "Aqwazana..." Tirza tentu saja mengenalinya. Perempuan cantik yang merupakan nenek moyangnya itu tersenyum lembut padanya. "Kau sudah lihat bukan?" ucapnya pula. Perempuan itu kini mengenakan pakaian berwarna tembaga yang membuatnya terlihat semakin cantik. "Apa jadinya dirimu di masa depan, karna mencintai Pangeran Sofraz?"Tirza
Aqwazana Silfa melayang ke udara dengan kedua tangan terentang disamping tubuh. Pukulan Tirza Antara menghantam dahan dan membuatnya hancur berderai dengan asap biru menguar kemana-mana. Gadis itu mengejar Aqwazana dengan gesit. Keduanya kemudian mendarat diatas tanah dan saling berhadap-hadapan. "Aku hanya bermaksud membantu." ucap Aqwazana Silfa dengan senyum tanpa dosa."Apa yang kau lakukan adalah pelanggaran terbesarku selama aku hidup." tutur Tirza Antara pula. "Aku bukan perempuan jalang. Aqwazana Silfa, kita memang merasakan banyak hal yang sama. Tapi aku tidak pernah berpikir untuk melakukan hal sememalukan tadi." Airmuka Tirza Antara masih terlihat kemerahan, membawa jejak rasa malu sekaligus kemarahan yang kentara.Aqwazana Silfa mengangkat tangannya ke udara. Secercah sinar muncul dan tiba-tiba membentuk tudung tak kasat mata yang melindungi keduanya. "Tudung Penghilang Jejak." batin Tirza Antara saat dia melirik hal yang dilakukan Aqwazana Silfa. Dia menyadari itu kar
Bunyi bergemuruh disertai hawa yang mendadak memekat membuat para penduduk pemukiman tepi sungai merasa was-was. Mereka mulai berlari kesana kemari untuk menyelamatkan diri. "Nahama sudah datang! Lari! Lari! Cari perlindungan!" teriakan panik terdengar dari segala arah. Kali ini bukan lagi pemukiman Balazan yang jadi sasaran, namun juga pemukiman-pemukiman tersisa yang paling dekat dengan hutan Pavadan.Binatang besar itu memiliki kecepatan gerak yang luarbiasa, setiap jejak tubuhnya bersifat destruktif dan merusak. Ekornya yang dua kali lebih besar dari pohon kelapa melibas kesana kemari. Mulutnya menganga mencari mangsa. Yang menarik kali ini di atas kepala binatang raksasa itu, berdiri sosok seorang perempuan berpakaian tembaga. Rambutnya yang indah berkibar-kibar tertiup angin, sedikit menutupi wajahnya. Dia terus tertawa sembari menyuruh nahama merusak apapun yang dilihatnya. Disamping perempuan ini, Tirza Antara tegak dengan pandangan miris melihat kekacauan di bawah sana. Gadi
"Kau sudah keterlaluan, Tirza Antara." Raja Sofraz maju ke depan, membuat Antara Dafruz yang mukanya telah berubah saga mundur ke belakang. Sang Raja yang bermata hazel itu menatap putri mandaranya itu yang tengah menatap datar ke arahnya."Aku mengutusmu ke Sofraz Timur bukan untuk menjadi biang kekacauan. Kau datang dengan keinginan jahat hendak menyerang. Apa yang sebenarnya terjadi padamu?""Yang Mulia..." desis Tirza Antara sambil tersenyum sinis. "Kau tidak perlu tahu apa yang terjadi padaku. Penyerangan yang datang kepadamu hari ini berasal dari rasa muak dan rasa kecewaku terhadap Sofraz. Aku adalah mandara Pangeran Sofraz, embel-embel mandara yang membungkus tugasku yang tak lebih dari budak kerajaan. Di tuntut menjadi sempurna, dibenci oleh kaum bangsawan yang takut tersaingi, dan dipaksa meminta maaf untuk hal yang tidak pernah disebabkan olehku. Sebut, di bagian mana aku masih harus menyisakan cinta terhadap negeri ini?""Kau merasa sakit hati?" Raja Sofraz menggeleng-gele
Suatu ketika petir biru Tirza Antara berhasil menyambar dan mengoyakkan jubah permai sang raja. Menciptakan garis tabasan hangus di area dada. Raja Sofraz terhempas keluar dari kancah pertarungan. Mengalirkan energi ke bagian yang terluka untuk segera mengantisipasi. Saat itu Tirza Antara dengan wajah kejamnya menyerbu dengan tubuh horizontal, menghunus pedang mandaranya yang telah di keluarkan dari tubuh. Semua orang berseru tertahan. Dan Sang Raja berdiri tegak disana, dia bahkan tidak memiliki kesempatan untuk mengelak. Segala sesuatu terjadi begitu cepat. Semua orang hanya sempat melihat sosok Tirza Antara terlempar ke udara. Namun dia masih bisa berdiri diatas kakinya. Matanya yang telah berubah menjadi biru pekat memicing, menyaksikan sosok tegap Angin Nava Satra yang muncul disana. Pemuda itu yang mendorongnya sehingga serangannya mental entah kemana. Nilam Rencana juga sudah muncul disana. Dia berdiri agak jauh di belakang Angin Nava Satra. Tirza Antara mendengus. "Kau muncu
Tirza Antara menjalani pemulihan yang cukup lama. Dia bahkan melakukan meditasi selama 10 hari sebelum akhirnya kembali menyeimbangkan kekuatannya dan mengembalikan energi serta menyembuhkan luka-lukanya. Itu adalah hari yang cerah, seolah hendak mengucapkan selamat hari baru untuk seluruh Sofraz yang sempat jatuh dalam kemelut. Tirza melangkahkan kakinya menuju air terjun di belakang istana. Dia masih mengenakan pakaian kamarnya. Wajahnya masih tampak pucat. Selama dia menyembuhkan diri, gadis itu tidak di temui oleh siapapun selain gurunya. Dia berdiri memandang air terjun yang indah itu sembari memikirkan begitu banyak hal. Kehadiran Aqwazana meski singkat tapi begitu membekas di hatinya. Di atas bumi Sofraz ini, hanya perempuan itu yang mengerti perasaannya. Meski sayangnya wanita yang merupakan nenek moyangnya itu berusaha membalaskan dendamnya dengan cara yang salah.Tirza pelan berjalan ke arah aliran air, melepaskan kasutnya dan mulai bergerak masuk ke dalam elemen yang dingin
Di seluruh istana Sofraz, yang disebut bangsawan muda adalah orang Istana kalangan atas yang belum menikah. Para putra-putri bangsawan dari seluruh Sofraz memang sering diundang dalam acara seperti itu, setiap satu tahun sekali. Selama ini, Putra Mahkota tidak pernah menghadiri acara itu setelah 3 tahun berlalu. 3 tahun lalu, Festival Bangsawan Muda juga dilakukan di Istana Gag, dan disitulah awal mula Pangeran Gag memusuhinya sampai datang dan mengacaukan acara pertunangannya. Tiga tahun lalu, Pangeran Gag menyukai seorang putri dari negeri Marlan, namun putri Marlan malah menyukai Pangeran Sofraz, tak pernah melepaskan pandangannya pada pangeran negeri selaksa warna itu, tak peduli seberapa gencarnya Pangeran Gag berusaha mendekatinya dalam pesta. Masa itu, Tirza Antara tidak ikut menghadiri festival karna sedang menjalani masa pelatihan ketat. Pangeran Gag sempat menyindir Pangeran Sofraz, karna merasa cemburu. Dia bahkan berusaha memancing amarah putra tunggal Raja Satra Aldara i
Pangeran Avdar menarik Tirza masuk ke sebuah lorong yang menyerupai terowongan entah di bagian istana yang mana. Tirza melakukan gerakan menepis yang cepat, dan sesaat kemudian dialah yang menggenggam pergelangan sang pangeran, menyatakan gerakan dimana dia bisa membanting Pangeran Avdar saat itu juga." Aku tidak abermaksud jahat." ucap Pangeran Negeri Gag itu dengan suara rendah. Di matanya yang biasa muncul tatapan main-main kini terlihat serius. "Kau mau bawa aku kemana?""Sebuah tempat. Kau bisa terus memegang tanganku kalau kau mau." Kini kedipan nakalnya muncul lagi, membuat gadis bermata nilakandi itu melepaskan tangannya dengan cepat. "Aku akan ikut di belakangmu."Pangeranr Avdar tersenyum dan kemudian melanjutkan langkahnya. Tirza Antara berjalan waspada di belakangnya. Terowongan itu berakhir, bersamaan dengan cercah matahari yang menerpa pupil mata mereka."Ini untukmu." ungkap Pangeran Avdar pula.Tirza tidak melihat apapun di tangan sang pangeran, dia hanya melihat ke