Share

POISON AND BLACK DIAMOND

Pemuda tampan itu tegak diatas balkon rumah mewah bernuansa klasik tersebut sambil memandang ke arah taman. Kegelapan malam yang mulai turun tampak bersanding eksotis dengan gemerlap lampu taman di bawah sana. 

Dibelakangnya, seorang cowok bermata coklat menunduk khidmat.

"Dia bertindak secara luarbiasa, diluar perintahku." kata pemuda didepannya. Dia membalik. Pencahayaan yang suram menimpa sosoknya yang tinggi sempurna, sepasang matanya bagai manik bintang yang penuh wibawa, memancarkan kekuatan dan ketenangan dalam waktu bersamaan.

Meski dia memakai pakaian santai biasa, namun setiap orang akan merasakan aura seorang raja menguar dari dalam dirinya, padahal usianya masih sangat belia.

"Harap Yang Mulia tidak marah." Si mata coklat merapatkan telapak tangannya diatas kening, khas hamba sahaya jaman dahulu menghadap rajanya.

"Putri mengkhawatirkan Yang Mulia."

"Dia benar. Setelah Rose masuk ke Poison, kau memang harus masuk ke Persada Bangsa untuk menggantikan perannya. Meski kurasa, peran itu tidak akan terlalu berguna untuk sekarang."

Pemuda bermata coklat merasa sedikit tenang. "Terimakasih Yang Mulia. Semoga hamba bisa melakukannya dengan baik."

"Sepertinya kau tertarik pada gadis berkacamata itu..." Pemuda yang dipanggil Yang Mulia itu tersenyum samar.

"Hamba mana berani berpikir macam-macam diluar tugas, Yang Mulia..."

"Tidak apa. Anggap saja sebagai hiburan, asal tidak lupa tugas utama..."

"Yang Mulia..." sang 'hamba' menelan ludah. Rajanya itu tertawa lebar. "Aku hanya bercanda, Chandra. Kau mungkin bisa menebar pesona dan menyukai seorang gadis, namun dirimu harus berhati-hati agar tidak terpeleset dengan minyak yang kau taburkan sendiri."

"Hamba tidak berani bermain-main, Yang Mulia. Hamba mengajak Dwi berkenalan karna... karna..."

"Agar bisa memudahkan tugasmu?"

"Be...benar, Yang Mulia."

"Baiklah, tapi kau harus bisa pandai-pandai memainkan peran. Jangan membuat gadis itu terbawa perasaan, karna biar bagaimanapun, setelah ini semua selesai, kau harus meninggalkan negeri ini dan juga orang-orangnya..."

"Hamba mengerti..."

"Kau boleh pergi."

"Terimakasih, Yang Mulia." Chandra undur diri.

Kini tinggallah sang Raja yang kembali menatapi bintang dari balkon rumahnya. Dikatakan seorang raja sebenarnya agak menggelikan karna dia tidak memakai baju kebesaran ataupun mahkota. Pakaiannya kaos oblong dam celana santai. Walau memang tak dapat dipungkiri, cahaya matanya memantulkan aura seorang pemimpin.

"Putri ...." gumamnya sambil memandang bintang. "Apakah aku memang harus belajar menerimamu?"

Dan pikirannya tiba-tiba melayang pada sosok lain. Seorang gadis yang tersenyum memandangnya di tengah kancah peperangan. Pemuda itu menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Semoga Penguasa Langit membantuku menguak teka-teki ini."

***

Rose mengecek handphonenya ketika sebuah notifikasi WA-nya berbunyi. Nama pengirimnya jelas dan singkat. "Saron."

Dengan berusaha melupakan kepenasarannya mengapa Saron bisa memiliki nomor WA-nya, gadis itu membaca alamat yang baru dikirimkan.

"Pukul 7 malam," gumam Rose melihat keterangan waktu yang juga dikirimkan Saron. Dia melirik kaos dan jaket putih berlambangkan gambar berlian hitam di atas tempat tidurnya. Itu adalah isi bungkusan yang diberikan Riana di sekolah.

"Poison? Mengapa bukan Black Diamond saja? Aneh." Rose menyipitkan matanya, mencari sinkronisasi antara nama geng itu dan lambangnya. Sepertinya dia gagal karna berakhir dengan menggeleng-gelengkan kepala. "Racun. Berlian. Apa maksudnya?"

Rose melirik jam. Dua jam lagi dia harus tiba disana. Gadis berambut coklat ini memutuskan untuk bersiap-siap dari sekarang.

Satu jam kemudian, gadis itu telah keluar dari kamarnya sambil mengenakan kaos berlapis jaket Poison serta jeans hitam dan sepatu kets berwarna putih. Rambut coklatnya digerai lepas. Dia memang cantik, meski memang belum dapat menandingi kecantikan 01 Persada Bangsa, Sapphire.

"Kamu mau pergi?"

Seorang lelaki separuh baya memandangnya dari sofa ruang tamu yang luas dan didominasi warna-warna terang itu.

"Ya,"jawab Rose singkat. "Ini untuk kepentingan misi, Paman."

Lelaki itu tersenyum. "Sudah pamit?" katanya sambil mengarahkan kepala ke arah tangga loteng.

Rose mengangguk cepat. "Ya. Aku berangkat."

Rose menaiki sepeda motor sport miliknya dan melesat keluar dari pintu gerbang dan melaju menuju alamat yang dikirimkan Saron.

Lewat setengah jam berkendara, gadis itu tiba di alamat yang dikirimkan. Gadis ini memarkir motornya, dan mengecek pesan WA Saron.

"Di rumah?" Rose mengangkat mata mengamati sebuah rumah besar yang berhalaman luas, dilindungi dengan pagar besi yang rapat. Halamannya teduh, ditumbuhi pohon-pohon akasia yang terpangkas rapi. Dia segera mengirim pesan pada Saron.

"Aku sudah sampai."

Hanya 3 detik, pesannya itu langsung ditandai dua centang berwarna biru.

Tak lama kemudian, seorang lelaki berseragam satpam membuka pintu gerbang yang megah itu.

"Nona Rose?" dia disapa. Rose mengangguk.

"Silakan masukkan kendaraan Anda di garasi." terang si satpam.

Rose menurut. Motornya dimasukkan ke dalam gerbang, terus menuju garasi rumah yang luas dan tampak sudah dipenuhi sepeda motor berbagai merk.

Ketika dia turun dari motornya, seorang gadis mendekatinya. Rose melepas helm dan memandang orang itu.

Itu Saron. Rambut curlynya dikuncir, membuat karakter wajahnya yang cantik semakin menonjol. Dia  memakai kaos  senada dengan Rose. di bagian belakang kaos putih polosnya terlihat lambang Poison, Berlian berwarna hitam.

"Selamat datang." Saron menjabat tangannya, membuat Rose mengernyit samar. Apa harus seresmi itu?

Saron tertawa.  Dia dapat menduga apa yang dipikirkan Rose."Itu bentuk ucapan selamat personal bagi Anggota baru," jelasnya, disambut anggukan pelan Rose.

"Ini rumahmu?"

"Bukan."

"Lalu?"

Saron menggerakkan kepalanya. "Ikutlah. Anak-anak sudah menunggu."

Rose tidak mendapat jawaban, dan pada akhirnya memilih menurut saja. Mereka masuk melalui pintu utama yang dijaga 2 orang pria kekar berseragam hitam. Ruang tamunya sangat luas,  berdinding putih bersih, dengan lantai dilapisi karpet berwarna merah tua. Tampak sebuah tangga  memanjang menuju lantai dua rumah itu. Saron membawanya meniti tangga, dan pada akhirnya tibalah mereka di ruang tamu lantai dua yang sama luasnya dengan lantai satu. Ada sekitar 10 orang remaja  lelaki, sedang duduk dan bersantai disana. Ada yang sedang bermain game play station, duduk makan cemilan, main gitar bahkan main catur! Semuanya memakai kaos putih berlambang berlian hitam.

Ketika Saron datang bersama Rose, semua anggota Poison berpaling memandangnya. Mereka rata-rata laki-laki. Hanya Riana dan Sapphire yang perempuan.

"Selamat datang," Rose berpaling begitu mendengar suara itu. Sapphire melangkah mendekatinya. Gadis itu mengulurkan tangan, yang dengan tenang disambut oleh Rose.

"Kawan-kawan," Sapphire meminta perhatian kawan-kawannya. "Ini Rose Adiratna, dia adalah anggota baru di Poison."

Para cowok yang rata-rata berwajah cuek namun menarik itu melambaikan tangan. Kemudian Mereka gantian menyalami Rose. Salah seorang dari mereka, tampaknya masih diam di sofa sambil menggenggam gitarnya. Dia baru bergerak ketika Sapphire memanggilnya penuh penekanan, "Kristo?"

Cowok itu bangkit, lalu mendekati Rose. Pemuda ini memiliki tubuh yang tinggi dan proporsional. Ditengah para cowok ganteng itu pun dia tetap terlihat special. Rambutnya dipotong dengan gaya terkini, wajahnya tampan dengan sepasang mata hitam dalam bagaikan mutiara dari samudra tak berdasar.

"Kristopher," sebutnya sambil menggenggam tangan Rose sekilas. Lalu dia kembali ke sofa. Rose di persilahkan duduk oleh Sapphire.

"Mereka adalah anggota luar Poison," kata Sapphire. Riana melirik wajah tersenyum ketuanya itu. Sapphire dan  Safira memang sangat berbeda dalam pembawaan dan sikap.

"Anggota inti adalah Riana, Kristo, Saron, dan aku sebagai Ketua. Jika kau ingin bertanya atau butuh sesuatu, kau bisa menghubungi mereka bertiga."

Rose mengangguk.

"Aku ingin bicara berdua denganmu." Kristo buka suara sambil memandang Sapphire. Gadis itu mengernyit. Namun akhirnya mengangguk.

Dia mengikuti Kristo, menuju balkon lantai dua yang jauh dari keramaian anak-anak Poison. Tak lupa Sapphire memberi kode lewat mata pada Riana. Gadis itu mengangguk singkat.

Ketika Kristo dan Sapphire menjauh, Riana segera mengambil alih pembicaraan dengan Rose.

"Perlu kau tahu," Suara Riana tenang, dan datar. "Setiap anggota yang baru masuk harus menjalankan sebuah misi yang diberikan padanya. Dan misi itu harus dilakukan seorang diri."

"Apa ini semacam syarat?" Rose bertanya, disambut anggukan mantap Riana. Sementara Saron memilih diam diantara mereka sambil menyantap cemilan.

"Aku akan memberikan sebuah nama dan petunjuk singkat mengenai seseorang. Dan kau harus mengumpulkan semua data tentangnya, bahkan sampai hal yang paling detail. Kau juga akan disuruh mengawasi gerak-geriknya dan melapor padaku."

"Padamu? Mengapa bukan pada Sapphire?"

Saron menghentikan makannya, dia melirik Riana yang tetap memasang wajah datar mendengar pertanyaan itu.

"Rose, kau tidak boleh lupa bahwa Riana adalah orang kepercayaan Sapphire yang paling utama." tanggap Saron. "Ini," gadis itu menyerahkan secarik kertas yang dicomotnya dari atas meja.

"Apa ini?"

"Peraturan dalam Poison, kau harus membacanya." jelas Saron.

Rose menerimanya dan melipatnya dengan cepat. "Aku akan membacanya nanti. Sekarang, bisa kau berikan nama orang yang harus ku selidiki?"

"Kau memang bernyali lumayan." Seorang cowok berkomentar begitu mendengar kalimat terakhir Rose. Namanya Rino. Dia tersenyum sinis, kemudian segera berlalu ketika Riana melempar lirikan tajam.

"Zarah Alexa. Persada Bangsa, Sebelas A." jawab Riana tegas. "Awasi gerak-geriknya dari sekarang, kumpulkan semua data tentang kehidupan pribadinya, kau harus menyetornya selambat-lambatnya 4 hari dari sekarang."

"Baik." Rose berucap mantap.

Sementara itu, di balkon rumah, Kristo sedang memandangi Sapphire dengan pandangan bertanya. "Kau serius menerimanya sebagai anggota?" tanya Kristo.

"Apa aku terlihat bercanda?" Sapphire mengangkat alis. "Bagaimana kalau dia seorang musuh yang disusupkan  ke Poison?"

"Kau berlebihan."

Kristo menarik nafas. Diamatinya wajah cantik gadis itu. "Apa Ariza tahu tentang ini?"

"Dia yang menerima Rose sebelumnya! Apa kau puas?"

Kristo mendapat sentuhan maut dalam kalimat itu. Dia tersenyum tipis. "Maafkan aku kalau begitu."

"Kau meragukanku, bukan? Jika saat ini Ariza yang sedang berhadapan denganmu, tentu kau tidak akan bertanya. Bukan begitu?"

"Kau marah padaku?" Kristo meraih tangan gadis yang dicintainya itu.

Sapphire mendengus tipis.  Dilepaskannya tangan Kristo dengan sentakan lembut. "Aku balik kesana." ucapnya sambil melangkah pergi. Kristo mengikuti dibelakangnya.

Sapphire duduk di sofa ukuran satu orang, berhadapan dengan Rose di seberang meja. Kristo duduk disamping Riana.

"Riana sudah memberitahu misi pertamamu?" tanya Sapphire.

"Iya,"

"Keanggotaanmu di rahasiakan, di sekolah pun kau tidak boleh memancing kecurigaan orang. Kau mengerti?"

Rose tersenyum untuk pertama kalinya. "Aku mengerti."

"Satu lagi, kau harus tahu bahwa disini, pengkhianatan adalah pelanggaran yang paling parah. Dan aku tidak akan mengampuni seorang pengkhianat." Sapphire menampilkan smirk jahat. Riana dan Saron saling lirik. Barusan mereka sepertinya merasakan aura Ariza yang kejam, meski mereka yakin yang berhadapan dengan mereka ini masih Sapphire, bukan Ariza.

Kesunyian yang tidak enak menggantung beberapa lama, kemudian dipecah kembali oleh suara Sapphire. "Santailah. Yang perlu kau dan kita semua ingat..." katanya ditujukan pada Rose dengan nada yang lebih ramah,"...Loyalitas. Dimanapun kita berada, utamanya dalam organisasi ataupun pekerjaan, sikap loyal harus dijunjung tinggi. Kau yang meminta masuk ke Poison, sekarang apa kau menyesal?"

"Tidak sama sekali." Rose menggeleng. Sementara hatinya masih bertanya-tanya apa maksud kata 'tidak akan mengampuni' itu. Dihabisi? Bukankah pembunuhan adalah tindakan yang sangat serius dan kejahatan yang paling berbahaya?

"Bagus." tanggap Sapphire pendek.

"Aku menyukai tantangan. Ini adalah duniaku." Rose membunyikan jari-jari tangannya.

Saron tersenyum lebar, Sapphire juga. Hanya Riana dan Kristo yang terus berekspresi dingin. Kristo memang berpembawaan kaku. Senyumnya hanya muncul saat dia  berdua dengan Sapphire.

***

Keadaan mendadak sepi ketika seluruh anggota Poison berpamitan. Hanya Riana dan Saron yang tetap tinggal, karna memang tugas mereka adalah menjaga Sapphire. Selain mereka, ada 8 bodyguard pilihan dan 8 orang pelayan di rumah itu. Rumah besar berlantai dua itu adalah rumah Sapphire.

Saron dan Riana adalah putri dari dua pengawal pribadi kepercayaan Ayah Sapphire, Adi Rajasa, yang sekarang berdiam di Australia.

Adi Rajasa adalah seorang diplomat yang telah berkeliling dunia dan tinggal di beberapa negara. Dia sangat jarang kembali ke Indonesia, kalaupun kembali itu hanya untuk urusan yang urgent.

Sapphire telah terbiasa dari kecil hidup sendirian. Ketika baru berusia 12 tahun, ibunya meninggal dan dia mengalami depresi hebat. Dia bahkan sering melukai dirinya sendiri. Sapphire  meminta ayahnya untuk tidak menikah lagi karna gadis kecil itu terintimidasi dengan penggambaran kejam seorang ibu tiri di sinetron-sinetron Indonesia.

Namun pada akhirnya, sang Ayah menikah lagi dengan Gina, seorang perempuan beranak satu dari kalangan darah biru. Sayangnya wanita ini terlalu dingin untuk mengganti peran Ibunya. Mereka bahkan tidak pernah bercakap-cakap setelah pernikahan Gina dan ayahnya.   Adi Rajasa pun sangat sibuk dengan tugasnya sehingga dia tidak lagi sempat memperhatikan Sapphire yang masih membutuhkan kasih sayangnya.

Saphire kecil tumbuh dalam gersangnya kasih sayang. Ketika ayahnya mengajak dia untuk ikut ke berbagai belahan dunia, gadis itu menolak mentah-mentah, dan lebih memilih tinggal. Ibu dan saudara tirinya-Ajeng- ikut ayahnya ke Australia dan berdomisili disana selama  masa tugas Adi Rajasa, dan tinggalah Sapphire bersama para pelayan dan bodyguard yang dipekerjakan sang Ayah.

Setelah Saron dan Riana pamit ke kamar mereka, Sapphire berganti pakaian dengan piyama , melepas softlens dan naik ke pembaringannya. Dia berniat untuk istirahat, namun kepalanya mendadak sakit dan rasa kantuk lenyap begitu saja. Gadis itu bangkit dari tempat tidurnya, wajahnya terasa panas sekali. Gadis ini membuka laci meja di samping tempat tidur Dia berusaha menjangkau sebuah benda, namun baru saja jarinya menyentuh benda itu, Sapphire jatuh pingsan!

Ketika dia  membuka mata, Sapphire mendapati dirinya sedang berada ditempat yang asing. Di tengah-tengah sebuah taman yang cantik, keadaan di tempat itu sangat indah dengan warna yang terang dan segar. Gadis ini merasa rileks. Dia melangkah ke telaga jernih di tengah taman, bermaksud menyegarkan tubuhnya.

Sapphire membungkuk, hendak menciduk air. Tapi gerakannya tertahan. Dia melihat bayangan seseorang terpantul dari telaga jernih.  Bayangan seseorang yang berdiri dibelakangnya. Gadis itu berpaling.

"Hai, Sapphire." sapa sosok itu sambil tersenyum.

Mata Sapphire melebar. "Kau..." dia merasa tenggorokannya kering. Didepannya tampak sosok seorang gadis berpakaian biru, berambut hitam dan setengah dijalin setengah digerai . Gadis itu mirip dengannya, baik bentuk tubuh dan garis muka. Satu-satunya perbedaan terletak pada warna mata mereka. Sapphire memiliki warna mata hitam, sedang gadis didepannya bermata biru seperti permata nilakandi.

"Si...siapa kau?"

"Benarkah kau tidak mengenaliku? Padahal kita berbagi tubuh selama ini." jawab si gadis mata biru tenang sekali.

Sapphire tersurut. "Kau Ariza?"

Gadis didepannya tersenyum. "Ya, aku Ariza. Itu namaku saat meminjam tubuhmu."

Sapphire speechless. Dia tercengang.

"Aku hanya ingin mengucapkan terimakasih. Kita berbagi ingatan dan pikiran meski salah satu jiwa tidak memegang kendali. Aku tahu ini tidak mengenakkan bagimu."

"Aku memang tidak suka tubuhku dikuasai dua jiwa." Sapphire berucap setelah bisa mengendalikan keterkejutannya. "Namun akhirnya aku terbiasa dengan kehadiranmu. Kau banyak membuat perubahan yang berdampak baik bagiku."

Ariza tersenyum manis. Tiba-tiba muncul kilauan sinar biru yang semakin lama semakin silau, dan menelan sosoknya. Ketika cahaya itu memudar, gadis itu mendapati dirinya berada di dalam kamarnya, tengah menggenggam sebuah batu nilakandi, yang tadi disentuhnya dari dalam laci.

"Sapphire..." desisnya. "Maafkan aku mengambil alih tubuhmu lagi. Ini semua diluar kuasaku." gumamnya. Dan memang, jiwa yang kini memegang kendali atas tubuh Sapphire adalah jiwa Ariza.

***

Siang itu ketika jam istrahat kedua, Bayu melangkah menuju kelas Sebelas A sambil membawa sebuah buku, dengan kepala ditundukkan. Ketika tiba disana, dia sesaat menjadi ragu didepan pintu. Tetapi akhirnya pemuda berkacamata itu melangkah masuk dan mengangkat kepala sedikit mengedarkan pandang. Sebelas A sepi, para siswa sedang beristrahat di luar kelas. Hanya ada satu orang disana, yang asyik memasang earphone-nya dan membuka-buka sebuah buku. Dia tidak lain adalah Sapphire dalam kepribadian Ariza.

Bayu mendekat sambil menunduk. Ariza yang masih menatap buku, mengangkat muka. Wajahnya yang datar tampak berkerut melihat penampakan Bayu di depannya.

Pemuda itu menyodorkan buku yang dibawanya.

"Aku sudah membacanya, kau bisa meminjamnya sekarang. Maaf kalau waktu itu kita saling bermusuhan gara-gara buku ini." kata Bayu tak berani mengangkat mata.

Ariza menurunkan earphone dari telinganya. Raut wajahnya tanpa ekspresi ketika dia menyahut. "Tidak perlu. Aku sudah membeli sendiri." katanya datar. Bayu tertegun sejenak. dia menarik buku itu lagi.

"Maaf kalau begitu."

Ariza diam saja. Raut wajahnya tidak terlihat marah ataupun jengkel. Lurus dan monoton.

"Kau memaafkanku?" pemuda culun itu bertanya pelan.

"Memangnya apa kesalahanmu?"

Bayu terdiam. "Buku ini..."

"Hanya sebuah buku? Lalu apa masalahnya?" Ariza bangkit, berdiri didepan cowok culun yang selalu menunduk itu.

"Aku berterimakasih."

Alis si cantik dingin didepan Bayu terangkat mendengar ucapan itu. "Untuk apa?"

"Kau sudah menolongku dari Rubby dan teman-temannya..."

"Rose yang menolongmu, jangan lupa itu."

"Kau juga turut membantuku."

"Terserah padamu. Waktu itu aku hanya menonton, tidak menolong."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status