Share

TANTANGAN DAN PERTOLONGAN

"Jadi Zarah itu kembaran Zeilo?" Ariza memastikan sambil memandang Rose yang duduk didepannya. Sore itu cuaca cukup baik, anggota inti Poison masih belum pulang. Di samping Ariza duduk Kristo, memasang wajah datar. Sedang Saron dan Riana duduk tak jauh dari mereka.

Rose mengangguk. "Ya, Sapphire."

Ariza berdecak pelan. "Pantas saja dia begitu membenciku, ternyata dia sakit hati dengan kekalahan saudaranya..."

Gadis itu teringat beberapa bulan yang lalu, saat dia membubarkan sebuah geng motor yang dikepalai Zeilo Alexandro. Dia menantang cowok itu duel dengan taruhan yang kalah akan membubarkan gengnya. Dan hasilnya, you know lah. Zeilo kalah, dia kehilangan muka. Padahal awalnya dia sudah memandang remeh gadis cantik yang mengetuai Poison itu.

"Apa kau tahu apa rencana Zarah dengan ini semua?"

"Sejauh ini dia belum tampak mencurigakan." jawab Rose.

Keadaan di ruang tamu yang luas itu mendadak sepi.

"Awasi dia terus." titah Ariza setelah beberapa lama diam.

Dari lantai satu, tampak seorang pelayan datang menyajikan steak dan saus jamur. Suasana yang sendu sore itu pun diisi dengan acara makan-makan.

***

Hari itu adalah hari ujian semester pertama, kebanyakan siswa Persada Bangsa memasang muka tegang dan serius sejak pagi. Dimana-mana, terlihat murid yang memegang buku sambil berusaha mengingat pelajaran diluar kepala.

Hanya para siswa dari kelas A yang rata-rata bersikap santai. Tak salah mereka dijuluki kelas jenius. Para penghuni kelas A memang sudah belajar dengan baik dari rumah, waktu di sekolah digunakan untuk merilekskan pikiran sebelum masuk pada ajang pertarungan.

Ujian jam pertama adalah Biologi. Ketika bel masuk berbunyi, para siswa dan siswi Persada Bangsa segera menuju kelas masing-masing, termasuk Sapphire.

Gadis cantik itu duduk di bangkunya dengan tenang dan rileks. Tidak berapa lama, Pak Sutomo yang bertugas sebagai pengawas Sebelas A pada ujian pertama, muncul di depan kelas.

Guru yang terkenal tegas itu mengucapkan salam, berbasa-basi sejenak dan meminta ketua kelas memimpin doa sebelum ujian di mulai.

Usai berdoa, Pak Sutomo pun membagikan kertas ujian itu pada siswa sebelas A yang berjumlah sekitar 40 orang itu.

"Selamat mengerjakan, dan jangan membuat keributan." katanya sambil duduk dengan tenang di kursi pengawas. Menit-menit berlalu. Para siswa mulai mengerjakan soal-soal itu dengan tekun.

Zarah yang duduk di bangku pada lajur yang bersebelahan dengan Sapphire bangkit dari kursinya.

"Boleh aku pinjam tip-exmu?" tanya Zarah pada gadis cantik berambut hitam lurus itu. Sapphire mengangkat kepala, mengerutkan keningnya. "Apa aku tidak salah dengar?"

Zarah menggeleng sambil tersenyum. Gadis itu mengulurkan tangannya, menyentuh tip-ex milik Sapphire yang ditaruh diatas meja.

Pemiliknya mengangkat bahu. "Ambil saja. Pastikan tidak habis." Sapphire melayangkan senyum mengejek. Senyum Sapphire baru saja pupus ketika Zarah tiba-tiba berkata dengan nada penuh keterkejutan.

"Kau menyontek, Sapphire?"

Suara Zarah tidak terlalu besar, namun karna situasi kelas sedang hening maka ucapannya terdengar dengan jelas.

Alis kiri Sapphire terangkat. "Apa maksudmu, Zarah?"

"Sulit dipercaya, ternyata kau menyontek selama ini!" telunjuk Zarah tertuju pada meja Sapphire, membuat semua mata turut mengamati meja gadis itu. Tidak ada yang mencurigakan. Diatas meja hanya ada kertas ujian dan lembar kerja Sapphire.

"Zarah Alexa, apa dasarmu menuduh temanmu?"Pak Sutomo bangkit dari kursi pengawas, mendekati meja Sapphire, dimana Zarah masih tegak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Dia... dia menyontek, Pak. Mejanya penuh coretan-coretan tentang materi Biologi!" tuduh Zarah berapi-api. Sapphire mengernyit. Pak Sutomo yang sudah berdiri didekat mereka langsung mengamati meja Sapphire dengan saksama. Meja dan kursi Persada Bangsa berwarna merah gelap, hampir keunguan. Jika seseorang tidak memindai dengan teliti, orang tidak akan melihat coretan-coretan dari tinta pulpen hitam diatas meja Sapphire, dan itu semua adalah salinan materi-materi penting Biologi!

Sepasang mata Pak Sutomo berubah menusuk. "Sapphire Rajasa! Benar kamu menyontek?"

"Kenapa masih bertanya, Pak? Buktinya sudah didepan mata!" seru Zarah.

"Diam, Bapak tidak menyuruhmu bicara, Zarah." Pak Sutomo berpaling pada Sapphire. "Jawab pertanyaan Bapak, Sapphire!"

"Itu bukan tulisan saya." Ketenangan Sapphire memukau ruangan itu, meski tentu saja tidak bisa langsung mematahkan tuduhan yang dilemparkan kepadanya.

"Bagaimana kamu membuktikannya? Mejamu nyatanya ditulisi seperti itu. Kalau Zarah tidak melihatnya, pasti caramu ini tidak akan tercium!"

Sapphire berdiri dengan tenang dari bangkunya. Matanya menatap tajam pada Zarah.

"Saya menawarkan sebuah pembuktian." ungkapnya. "Tulisan itu sangat kecil, sehingga akan sulit mengidentifikasi tulisan siapa sebenarnya yang dicoretkan di meja saya. Yang jelas, saya tidak pernah melakukan manipulasi seperti ini."

Zarah mengernyit mendengar bahasa yang digunakan Sapphire.

"Lalu, kamu ingin membuktikan dengan cara apa, Sapphire Rajasa?!" Suara berat Pak Sutomo memecah ruangan.

Sapphire mengangkat lembar kerjanya yang belum terisi kecuali nama dan mata pelajarannya.

"Lembar ini masih kosong, saya belum mengisinya. Saya bisa dipindahkan di meja mana saja, dan saya akan mengerjakannya. Apabila pekerjaan saya tidak benar, maka saya rela dihukum. Namun jika saya mampu menjawab semua soal itu dengan baik, maka tuduhan menyontek itu telah saya patahkan!"

"Baik. Bapak terima tawaranmu. Kamu pindah di meja guru. Bapak akan mengawasimu dari meja pengawas!" pinta Pak Sutomo.

Sapphire tersenyum. Dia melangkah menuju meja guru dan mengerjakan soalnya disana.

15 menit berlalu, dan gadis itu berdiri dari bangku guru dan menyerahkan lembar kerjanya pada Pak Sutomo. "Saya sudah selesai."

Sang guru memandangi paras segar Sapphire sejenak dan memeriksa pekerjaan gadis itu. Kerutan di kening pak Sutomo perlahan hilang.

"Jawaban kamu sepertinya benar semua. Nanti Bapak akan beritahu guru Biologimu untuk memastikan."

"Terimakasih, Pak. Saya permisi keluar."

Pak Sutomo menganggukkan kepala. Sapphire keluar dari kelasnya dengan santai.

Beberapa lama kemudian bel istrahat berbunyi. Para pengawas pun keluar dari kelas ujian. Zarah tak tahan untuk tidak menggeram ketika dia tinggal sendirian di kelas. Jebakannya tidak mengena! Gadis ini melangkah menuju pintu, namun satu sosok tiba-tiba masuk dari luar dan menghadang jalannya.

"Kalau kamu tidak terlalu tergesa menuduhku, mungkin kamu akan berhasil, Zarah Alexa." ucap sosok itu sambil tersenyum manis. Senyuman khas Sapphire.

Zarah diam saja. Hanya matanya yang menyorot benci.

Setelah beberapa lama bungkam, Zarah membuka mulut. "Lalu, kau mau apa?" Gadis itu tampak berjaga-jaga.

Sapphire tertawa lebar. "Kenapa kau membenciku?"

"Karna kau monster!"

Sapphire mendekat, dia berdiri sangat dekat, sehingga wajahnya hanya beberapa senti dari wajah Zarah. Gadis itu refleks hendak mundur, namun Sapphire mencengkram tangannya.

"Sudah dua kali kau mengatakan itu. Siapa yang mengatakan hal seperti itu padamu?!"

Zarah berdecak mengejek. "Benar kan, kau itu monster!"

"Berdasarkan apa kau menuduhku monster?"

"Lepaskan softlens hitam itu baru aku katakan apa dasarku menudingmu seperti itu!"

Sapphire tertawa lalu mundur selangkah. "Jangan panggil aku Sapphire jika aku membiarkan diriku menuruti perintah seorang musuh."

"Huh. Kau hanya malu, bukan?"

"Aku tidak pernah malu dengan keadaanku. Yang memalukan itu, ketika seorang lelaki kalah dari seorang wanita dan mendendam berkepanjangan. Itu adalah ciri khas seorang pecundang!" Sapphire dapat melihat paras Zarah yang sudah memerah saga. "Bahkan lebih memalukan lagi, dia bersembunyi di belakang seorang wanita untuk menuntaskan dendamnya."

"Tutup mulutmu!" Zara meledak. Tangannya bergerak menampar, namun Sapphire telah menahan tangannya. "Saudaramu memang pecundang. Jika dia masih dihantui ketidakpuasan, mengapa tidak menantangku secara terang-terangan? Mengapa dia bersembunyi di balik punggungmu?!"

"Huh. Ini inisiatifku sendiri. Kau tidak perlu melibatkan dirinya!" Zarah menyentakkan tangan Sapphire.

"Aku tidak ingin berseteru denganmu, Zarah. Ini terlihat tidak adil, karna kau jelas-jelas berusaha melawan orang yang lebih kuat darimu." Sapphire merangkap tangan didepan dada. Zarah melotot didepannya, "Sombong!"

"Aku dengar kau sangat senang mengikuti balapan mobil."

"Heh?" Zarah mengerutkan kening. Darimana Sapphire mengetahuinya?

"Karna skill-mu di arena balap dapat diperhitungkan, maka aku menantangmu. Bagaimana? Ini terdengar fair, bukan? Kau tidak melawanku pada titik kelemahanmu, namun pada puncak kekuatanmu. Ini akan menarik."

Zarah tak menjawab.

"Tunjukkan kalau kau bisa mengalahku pada tingkat kecakapan yang paling kau andalkan." tantang Sapphire.

Karna gadis itu tak kunjung menjawab, Sapphire mengangkat bahu dan membalikkan tubuh.

"Aku terima tantanganmu, Sapphire Rajasa!"

***

"Kamu benar-benar menantangnya?" Riana bertanya pada Sapphire ketika mereka bertiga-termasuk Saron- makan siang di kantin usai ujian ke dua.

"Ya. Mengapa?"

"Kami tidak meragukanmu, tapi bagaimana kalau saat itu yang muncul adalah Ariza? Kau tahu bukan, Ariza tidak suka balapan mobil. Beda dengan dirimu."

"Tenang saja, aku akan menyelesaikan ini."

"Aku menemukan sesuatu di mejamu." lapor Saron. Sapphire meneguk minumannya dan menatap gadis itu. "Kapan?"

"Tadi, saat bel masuk ujian kedua. Aku yang lebih dulu masuk di kelas dan melihatnya ditaruh diatas mejamu." jelas Saron sambil mengeluarkan sebuah amplop berwarna biru, benda itu diserahkannya pada sang ketua.

Sapphire menerimanya dengan ekspresi datar. Saron tergelitik untuk menggoda. "Surat cinta barangkali..."

"Siapa berani mati mengirimkan surat cinta padamu?" Riana berkomentar tanpa nada bercanda sedikitpun. Sapphire membuka amplop itu dan mengeluarkan sebuah kertas yang berwarna putih bersih.

Diikuti tatapan penasaran kedua ajudannya, gadis itu membuka lipatan surat. Disana ada satu baris tulisan, terdiri dari empat kata.

Sudah saatnya kau pulang.

Dibawah tulisan itu nampak sebuah lambang menyerupai bintang yang berwarna biru gemerlap.

"Apa maksudnya?" Alis Sapphire terangkat tidak mengerti. Kertas itu diremasnya dengan kuat, dan dilemparkannya ke dalam tong sampah didekat meja mereka.

"Cabut!" titah gadis itu pada dua rekannya. Tanpa setahu Sapphire, Saron mengambil kertas surat itu dan menyelipkan di kantong pakaiannya, Riana yang menyadari aktivitas sahabatnya hanya memutar bola matanya tidak peduli.

Bel ujian terakhir berbunyi nyaring, mengiring ke tiga gadis itu masuk ke dalam kelasnya.

***

Daniah memutar kepala kesana kemari dengan jengkel. Sudah jam setengah dua, dan jemputannya belum juga tiba. Dia berusaha menelpon ke rumah, alih-alih papanya, yang mengangkat justru seorang wanita.

"Hallo, Nia? Ada apa?"

Daniah mengenali suara itu. Dia menelan ludah sebentar. Itu suara Sinta, ibu sambungnya.

"Ma, jemputan Nia belum datang juga..."

"Lho? Bukannya Mama sudah suruh jemput kamu? Seharusnya sudah sampai." balas wanita itu. Daniah yang peka dapat membaca kebohongan dalam nada suara Sinta.

"Belum sampai juga, Ma."

"Tunggulah sebentar, Nia. Jadi orang ya sabar."

Wait. Dia sudah menunggu satu setengah jam, by the way!

Gadis berkacamata tipis itu merengut. "Nia naik ojek saja, Ma." gadis itu memutus teleponnya. Dia yakin ibu tirinya itu memang tidak menyuruh sopir menjemputnya. Kalau Papanya keluar kota, Sinta kerap membuatnya pulang naik ojek!

Gadis itu berdiri menunggu ojek lewat dengan kaki pegal.

Akhirnya dia memutuskan untuk berjalan kaki sambil berharap ada angkot atau taxi yang bisa di tumpanginya. Panas matahari yang menyengat membuat parasnya memerah dan diperciki keringat.

Tepat disebuah perempatan, sebuah sepeda motor berhenti disampingnya.

"Ojek Neng," terdengar sapaan. Gadis itu menoleh. Tampak seorang pria berusia sekitar 20 an tahun, berkulit hitam dan berambut gondrong. Pakaiannya terlihat kumal dan celana jeans belelnya sobek di bagian lutut.

"Ojek, Bang?" Daniah memastikan sambil mengusap keringatnya.

"Iya, mau kemana?"

"Jalan Melati, Komplek Perumahan Lestari..."

"O... Iya.. Naik, Neng!" pinta si tukang ojek. Daniah termangu sesaat, dan kemudian memutuskan untuk naik.

Buset! Nih tukang ojek bau apak banget!

Daniah menutup hidungnya sambil memastikan tingkahnya itu tidak akan terlihat pada kaca spion motor butut itu. Dia terus memandang ke depan dan berusaha mengabaikan bau tidak enak yang menyambar dari pakaian si tukang ojek.

"Perumahan Lestari kan lumayan jauh, Neng. Memangnya nggak ada jemputan?" tanya tukang ojek itu diantara desau mesin kendaraan.

"Jemputannya telat." jawab Daniah tanpa bisa menyembunyikan kekesalannya.

Disebuah pertigaan, ojek itu berbelok meninggalkan rute menuju Jalan Melati.

"Kok belok, Bang? Ini bukan arah Jalan Melati!" seru Daniah.

"Saya mau ambil barang dulu, Neng." kata tukang ojek itu pula.

Daniah mengulum bibirnya. "Kalau begitu turunkan saya disini!" kecamnya dengan perasaan tidak enak.

"Nggak apa-apa Neng, saya juga nggak lama..."

Motor itu mulai memasuki gang sempit yang sepi. Hati Daniah semakin ketar-ketir. Apalagi saat dilihatnya kumpulan pemuda bertampang preman yang sedang berkumpul minum-minum disebuah pentras rumah tua yang sepi dan terpencil. Rumah itu berdiri tepat di tikungan jalan.

Si tukang ojek menghentikan sepeda motornya.

"Bro!" serunya. Para preman itu mengangkat kepala. Daniah bersumpah dapat melihat kelebatan buas di mata orang-orang itu saat melihatnya. Dia melompat turun. Saat itu dia mendengar deru sepeda motor mendekat. Namun sayangnya, malah lenyap sama sekali.

Tukang ojek itu memberi kode pada teman-temannya.

"Ikut ke dalam, Neng?" tawarnya dengan muka sok manis, diikuti seringai harimau yang menampakan belangnya.

"Jangan macam-macam! Atau saya akan teriak!" Daniah benar-benar takut sekarang. Sekujur tubuhnya bergetar. Dia termundur-mundur, namun dua dari kumpulan sampah rakyat itu segera bersikap mengurung dari arah belakang.

Daniah sadar dia sudah terjebak. Betapa bodohnya dirinya! Tangannya yang gemetar refleks menarik keluar ponselnya, bermaksud menghubungi seseorang. Namun denhan mudah si preman yang tadi berkedok tukang ojek merampas benda itu dari tangannya.

"Kembalikan!" gadis itu merangsek berusaha merebut apa yang menjadi miliknya, namun dengan cepat kedua tangannya dipegangi. Tas ranselnya direnggut paksa. Gadis itu meronta keras. Namun apalah daya seorang gadis muda ditangan 5 orang preman yang buas!

"Lepas kacamatamu!" salah satu dari mereka merenggut kacamata gadis itu, sesaat Daniah merasa pening sebelum akhirnya bisa beradaptasi dengan cahaya. Minus matanya sebenarnya tidak terlalu parah. Dia memakai kacamata itu karna hobbynya.

"Matamu indah juga gadis cilik," preman tukang ojek membelai pipinya. Daniah tak bisa mengelak, kedua tangannya di pegangi dengan erat. Gadis itu tak dapat menahan airmatanya lagi. Dia benar-benar ketakutan. "Lepaskan saya! Kalian gila! Lepaskan!"

Sekujur tubuhnya gemetar. Salah satu dari mereka bahkan mulai mempreteli kancing seragamnya!

"Tidak! Demi Tuhan! Lepaskan saya!" Daniah menangis sesunggukan dan meronta sekuat-kuatnya. Namun dia benar-benar tidak berdaya. Orang-orang itu hanya menertawai gadis muda yang malang ini.

"Berteriaklah! Tidak akan ada yang mendengarmu!" cibir mereka.

"Manusia hina!" terdengar bentakan keras.

Bukkkkk!!!!

Salah seorang yang memegangi Daniah terdorong lalu menyuruk tanah, menimpa salah satu kawannya. Terdengar suara bak buk bak, menyusul tiga preman berjatuhan. Daniah yang gemetar ketakutan merasa ada sebuah tangan menariknya dalam sebuah pelukan. Hangat dan aman.

Gadis ini mengangkat wajahnya yang dipenuhi airmata, mendapati sebuah wajah tampan yang sedang memandang beringas pada ke lima preman didepan sana.

"Cha...Chandra...?" gadis itu memanggil serak.

"Tenanglah." Chandra melepaskan rangkulannya, berdiri didepan gadis itu dengan sikap melindungi.

Ke empat preman yang tadi dipukuli bangkit terbungkuk-bungkuk, berdiri disamping preman tukang ojek yang kebetulan belum mendapat bagian.

"Ternyata di negeri yang digadang-gadang maju dan dipenuhi orang-orang pintar masih ada juga binatang berkedok manusia!" kecam Chandra dengan dingin. Kalimatnya terdengar aneh di telinga Daniah.

"Anak kemarin sore! Nyalimu besar juga! Jangan ikut campur!" salah satu preman itu berteriak.

"Semenjak aku melihat apa yang terjadi, aku sudah memutuskan untuk tidak membiarkan seorangpun dari kalian hidup!"

"Bacot!" Ke limanya sontak menyerbu. Daniah terkesiap ketika melihat Chandra berkelebat ringan kesana kemari bahkan melompat ke udara seperti sehelai daun kering. Terdengar suara bergedebukan berulang kali. Dua dari preman itu terjungkal dengan gigi rontok, Satu lagi menyusul dengan tangan kanan patah, dan dua lainnya tersungkur berkelukuran mengerang tiada henti dengan kening robek mengucur darah.

Chandra hendak memburu, namun tiba-tiba Daniah berlari menghadang sangat dekat dihadapannya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya cowok itu dengan suara rendah penuh penekanan.

Daniah tercekat menyaksikan sepasang mata coklat pemuda itu dipenuhi aura berbahaya.

"Sudah Chandra... Mereka sudah tidak berdaya. Kau akan mendapat masalah kalau berbuat lebih brutal. Ini negara hukum!"

Perlahan-lahan kilau aneh di mata sang pemuda meredup. Mereka berperang pandang. Daniah langsung menunduk. Dia berdiri sangat dekat dengan Chandra, bahkan ujung sepatu mereka bersentuhan. Gadis itu bergerak mundur dengan gugup.

Chandra memungut tas ransel Daniah yang tercampak, lalu mengambil handphone gadis itu yang tadi sempat direbut. Benda-benda itu diserahkan pada pemiliknya.

"Kita pergi!" Chandra menarik tangan gadis itu, menuju sepeda motor sport hitam yang terparkir di tikungan jalan.

Keduanya melaju pergi keluar dari gang itu.

"Dimana rumahmu?"

"Ja..Jalan Melati..."

"Tunjukkan bila arahnya salah." gumam Chandra.

"Bisa kita bicara sebentar?" Daniah berkata pelan. Chandra tak menyahut. Namun akhirnya dibawah sebuah pohon rindang didepan taman kota, cowok itu berhenti.

Daniah bergerak turun. Chandra mengikuti jejaknya.

"Mau bicara apa?" tanyanya sambil menatap manik mata Daniah yang masih terlihat sembab. Chandra sesaat tertegun melihat sepasang mata lembut yang selama ini selalu tersembunyi dibalik kacamata.

"Terimakasih." ucap gadis itu pelan. "Kau...menyelamatkanku..."

"Lupakan."

"Ba..bagaimana bisa kau ada disana?"

"Aku mengikutimu."

"Hah?" Daniah terkejut.

"Aku hendak menawarkan tumpangan, namun tukang ojek sialan itu sudah lebih dulu sampai. Kau sudah keburu naik."

"Terimakasih..." hanya itu yang bisa diucapkan Daniah. Sorot matanya masih menyisakan shock.

"Lain kali, kalau jemputanmu tidak datang, hubungi aku." cowok itu merebut handphone gadis itu tanpa izin, lalu dengan santainya menyimpan nomor teleponnya.

Chandra mengembalikan alat komunikasi itu ke dalam genggaman Daniah yang terpaku.

"Jangan lupa!"

"Eh...?"

"Kenapa kau mendadak linglung begini?" Chandra tertawa. Aura cerianya yang sempat hilang muncul kembali.

"Aku hanya sedikit kaget..."

"Sudahlah. Masih mau pulang, kan?"

Gadis itu mengangguk, membuat Chandra kembali tersenyum.

"Yasudah, ayo!"

Mereka kembali melaju pergi, meninggalkan taman kota itu. Tanpa sadar, Daniah tersenyum dibalik punggung cowok itu. Perasaan bahagia yang berbunga-bunga memekarkan warna pipinya menjadi merah muda!

Kejadian mengerikan sebelumnya seolah lebur ketika dia menggenggam seragam cowok itu, dan menghirup aroma parfumnya yang menenangkan.

Trimakasih Tuhan. Kau sudah mengirimnya untuk menolongku.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status