****Rasa lemas yang Helmi rasakan setelah berhasil mendonorkan darah untuk putrinya, tiba-tiba sirna ketika ia melihat mamanya sedang menonton televisi. Bahkan, ia sampai lupa mengucapkan salam ketika akan memasuki rumah."Ma, aku punya kabar baik untuk Mama." Helmi tampak semringah. Binar matanya memperlihatkan ia sedang bahagia lalu ia duduk di samping mamanya.Wulan tak menoleh sama sekali, matanya tetap fokus menonton sinetron ikan terbang faporitnya sejak dulu."Ma, coba Mama matikan dulu televisinya!""Alah, tibang mau bicara saja Mama harus matikan televisi segala. Kamu bicara saja, Mama pasti dengerin. Mama lagi sibuk mempelajari bagaimana cara membuat menantu-menantu durhaka menjadi lebih baik dan berbakti pada mertua.""Ma, ini penting. Ini masalah cucu perempuan Mama.""Hah, Mariah kenapa? Mariah baik-baik saja di dalam penjara sana 'kan, Hel?"'Dia l
****Helmi memenuhi janjinya untuk menjenguk Mariah setiap minggu. Ia membawa beberapa menu makanan kesukaannya demi menjaga nutrisi untuk bayi yang ada dalam kandungan Mariah."Mas," gumam Mariah. Matanya yang bulat tampak berbinar melihat siapa yang sudah menunggunya. Meskipun talak sudah terucap dari bibir lelaki itu, namun ia yakin Helmi mau rujuk dengannya."Mar, ini aku bawakan makanan untuk kamu." Helmi menyodorkan rantang berisi makanan ke hadapannya."Terimakasih, Mas. Apa kabar?" tanya Mariah. Sudut matanya menelisik wajah lelaki yang tampak lebih muda dengan senyum yang terus mengembang di bibirnya."Baik, alhamdulilah, Mar. Kamu bagaimana di sini?""Aku, aku sudah mulai betah, aku juga sudah punya teman di sini, lain kali aku akan mengenalkannya padamu, Mas." "Syukurlah. Aku tidak bisa berlama-lama di sini, aku harus segera ke rumah sakit sekarang,
****Dinda cukup tenang ketika Galuh dan Bram pergi ke Magelang. Setidaknya, Dinda merasa tak harus melulu kepikiran dengan tuduhan-tuduhan yang memang nggak masuk akalnya.Namun, pagi itu Dinda cukup terkejut ketika melihat story whatsapp milik Helmi. Di sana menunjukkan Galuh sedang terbaring di rumah sakit dengan caption "Syafakillah, Mbak!"Dengan buru-buru Dinda mengomentari postingan Helmi. Sungguh kepeduliannya mengalahkan rasa sakit hati atas sikapnya di beberapa bulan ini.[Mas, Mbak Galuh sakit apa?]Tidak harus menunggu lama pesan balasan dari Helmi masuk.[Mbak Galuh Drop setelah sampai di Magelang, Din. Tolong, do'akan mbakku, ya!]'Ya Allah, rasanya baru kemarin dia memaki-makiku dengan kata-kata kasar, sekarang dia malah sakit seperti ini. Angkatlah sakitnya, Ya Allah,' do'anya dalam hati."Bunda!""Bunda!" "Ah, Bunda m
****"Sam," panggil Dinda Pelan.'Apa ini mimpi? Bagaimana mungkin perempuan yang berdiri di hadapanku adalah perempuan yang sama dengan kutemui tadi siang?' batin Dinda. Seketika saja ucapan dan sumpah serapah terngiang-ngiang di telinganya.Samudra menoleh ke arah Dinda. Ia benar-benar tak mengerti kenapa mamanya bisa sehisteris ini? Tanpa ia minta, bayangan itu terasa nyata menari-nari di depan matanya. Akankah kisah lima tahun silam itu terulang lagi?"Sam, aku minta maaf. Aku tak bermaksud menyakiti mamamu," ucap Dinda."Aku percaya sama kamu, Dinda.""Terimakasih, aku sebaiknya pulang sekarang saja, Sam.""Ayo, kuantar!" tawar Samudra."Tidak, tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri, lebih baik kamu tenangkan mamamu saja, Sam!""Baiklah, hati-hati!"Di sepanjang perjalanan ke rumahnya, Dinda tak henti memikirkan kejadian yang di alaminya barusan. Apa setelah ini Samudra akan berhenti m
****Dinda memijit keningnya yang terasa begitu sakit. Niatnya mau istirahat sebentar malah ketiduran. Ia mencari-cari keberadaan ponselnya, namun ia tak menemukan benda itu di atas ranjang. Seingatnya, ketika ia dalam keadaan setengah terlelap ada panggilan masuk ke ponselnya, namun sengaja ia matikan begitu saja lalu kembali menaruhnya di atas nakas.'Tapi, kok, bisa nggak ada, ya?'Dinda kembali mencari benda itu di atas ranjang, menyibakkan selimut, bantal, juga seprai tak luput menjadi korban sifat pelupanya. Padahal, usianya masih terbilang muda."Astaga," gumamnya.Benda yang Dinda cari tenyata tergeletak begitu saja di lantai tepat di bawah nakas. Mungkin, semalam ketika ia berniat menyimpannya kembali, benda itu terjatuh.Beberapa panggilan tak terjawab dari Helmi menghiasi layar ponselnya ketika sudah di aktifkan kembali. Namun, ia merasa malas jika harus balik menghubunginya.
****"Pak, tolong tambah kecepatan, ya!""Baik, Non."Perjalanan Dinda menuju rumah Galuh terasa sangat lambat, padahal ia sudah meminta Pak Dahlan untuk menambah kecepatan laju mobil yang di kendarainya.Perasaan Dinda semakin nggak karuan. Antara sedih, menyesal dan tak percaya berkecamuk dalam hatinya saat itu. 'Kenapa hatiku begitu keras? Hanya sekadar untuk mengangkat telepon dari Bram saja aku tak mau.' Dinda terus mengutuk dirinya sendiri.Rumah Galuh masih sepi, hanya terlihat ada dua bendera kuning yang terpasang di pintu gerbang. Itu meyakinkan dirinya kalau memang benar-benar ada kematian di rumah ini.Ibu-Ibu berkerudung hitam tampak sibuk menggelar karpet di ruang keluarga. Ia mempersilakan Dinda duduk dengan ramah."Jenazah Mbak Galuh sedang di perjalanan, silakan duduk dulu saja, Bu!" titah perempuan itu."Iya, Bu."Din
****Mentari sudah mulai naik dan tak malu-malu lagi menampakkan sinarnya yang terasa menghangat. Namun, Dinda masih bergelung dengan selimut yang cukup tebal.Tok, tok, tok!"Masuk," sahut Dinda. Ia masih terbaring di atas ranjang. Bahkan, tak biasanya ia membiarkan gorden kamar itu menghalangi sinar mentari masuk ke dalam kamarnya."Non, ini sarapannya saya bawa ke kamar saja, soalnya Non Dinda nggak keluar kamar dari tadi." Mbak Sri meletakkan bubur dan teh manis di atas nakas."Iya, kepalaku masih terasa pusing dan berat.""Apa sebaiknya kita ke dokter saja, Non?" "Nanti saja, Mbak!""Baiklah. Non bisa makan sendiri?" "Bisa, Mbak tenang saja! Aku minta ambilkan obat pereda demam dan tolong bukakan gordennya, ya, Mbak!""Siap, Non."Dinda beranjak dari ranjangnya, ia tertatih-tatih untuk pergi ke kamar mandi. Ketika ia m
****"Aduh, Bram anak-anak kamu itu nakalnya minta ampun. Baru meleng dikit aja sudah kabur. Ini lagi sopir kamu bodoh banget bisanya di kibulin bocah-bocah ingusan. Harusnya dia tanya kamu dulu, kan?" cerosos wulan ketika Bram sampai di rumahnya."Tapi Hanif nggak suka ada oma di sini!" teriak Hanif."Aku juga!" pekik Laura.Wulan matanya membulat mendengar Laura dan Hanif mulai ngadu. Hatinya tiba-tiba saja gelisah tak karuan."Laura, tolong, jangan ajarkan adikmu seperti itu. Ayo, minta maaf sama Oma!" sentak Bram pada Laura, lalu menatap anak keduanya."Tapi kami nggak salah, Pa. Oma marah-marah terus. dia bilang Laura anak haram. Apa iya Laura anak haram?" rengek gadis berusia sebelas tahun itu, sedih.Degh."Laura," gumam Bram."Jawab, Pa! Apa iya Laura anak haramnya Papa? Apa yang dikatakan Oma itu benar? Jawab, pa?""Mama!" pek