Salah satu penulis favoritku membuka kelas menulis. Tanpa dipungut biaya alias gratis. Aku yang saat ini suka dengan membaca akhirnya memutuskan untuk mengikuti kelasnya. Mendaftarkan diri dengan modal nekat mengubah nasib. Karena dari kabar yang beredar jika seseorang berhasil dalam menulis sebuah novel. Dia bisa membeli apapun yang diinginkan. Termasuk membeli tanah para mantan. Ah, membayangkannya saja begitu menggiurkan.
Harapannya aku bisa seperti mereka. Jika tidak bisa membeli tanah paling tidak bisa membeli hinaan mertua yang kadang meresahkan.
Huh hah
"Mbak …." Suara Toni membuyarkan lamunanku. Entah kapan adik iparku itu sudah tiba. Dia masih duduk manis di atas motornya. Aku pun berjalan tergopoh-gopoh menghampirinya.
"Lama."
"Sabar, namanya juga Ibu hamil. Jalannya pelan."
"Memangnya Ibu mau masak apa? Banyak ya?" Aku kembali bertanya sembari menjatuhkan bobot tubuhku di atas motor.
"Mana kutahu, Mbak. Aku kan cowok mana tahu urusan dapur."
"Kan Mbak cuma tanya. Nggak usah sewot kali!"
Toni tanpa memperdulikan ucapanku. Ia akhirnya kembali melajukan kendaraannya menuju rumah Ibu mertuaku. Selama perjalanan pikiranku menerawang jauh. Berandai-andai jika suatu saat nanti aku bisa membeli motor, mesin cuci maupun kulkas dari hasil aku menulis. Alangkah bahagianya aku.
Terlebih saat ini Mas Bambang tidak bisa diandalkan. Mencari pekerjaan kesana kemari.
Tidak berapa lama motor pun akhirnya berhenti tepat di halaman rumah. Ibu mertuaku yang masih mengenakan pakaiannya tadi, berkacak pinggang menyambutku. Tatapannya sinis.
"Lama banget sih?!"
"Namanya juga lagi hamil, Bu. Pelan-pelan dong jalannya."
"Nggak usah banyak alasan. Sudah sana ke dapur. Inget ya, masak yang enak. Jangan sampai nanti teman-teman Ibu sudah datang kamu belum selesai masak!"
Aku hanya bisa menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan.
"Kenapa nggak minta tolong sama tetangga? Ranti kan lagi hamil, Bu." Aku berjalan melewati ibu mertua sembari tangan mengusap lembut perut yang membuncit.
"Hamil itu bukan alasan untuk malas-malasan. Justru kamu harus banyak gerak. Biar kalau lahiran lancar."
"Banyak gerak sama kerja rodi itu beda!"
"Kamu ini kalau dibilangin suka ngebantah. Makanya rejeki kamu menjauh. Buktinya Bambang di PHK. Setelah menikah sama kamu."
"Astagfirullahaladzim, Ibu. Mas Bambang di PHK itu bukan karena Mbak Ranti tapi memang rejekinya baru segitu. Lagian Ibu ini ada-ada saja. Meminta Mbak Ranti memasak banyak kek gitu. Dia kan hamil." Suara bariton milik adik iparku yang nomor dua terdengar jelas ditelinga. Bagas namanya, dia memang bersikap netral. Berbicara yang menurut pandangannya tidak benar dia akan menegur. Termasuk saat ini.
Aku yang langsung meletakan tas di atas meja. Lantas mengambil baskom. Berniat memotong sayur dan juga memotong cabai.
Bibir ibu mencebik. Lantas dia menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi. Menatap ke arahku dengan tatapan mengawasi.
"Makanya jadi istri itu kerja, menghasilkan duit. Seperti calon istri Bagas itu, jadi nggak nyusahin kek kamu!"
"Ibu memintaku kesini untuk membantu masak atau ingin menghinaku?" tanyaku. Entah mengapa rasanya jantungku berdetak lebih cepat. Niatku yang semula baik. Kini malah menguap begitu saja setelah mendengar ucapan Ibu mertua.
"Halah, lebay."
"Bu, cukup! Kalau memang ibu mau meminta Mbak Ranti menolong ya sudah, nggak perlu dihina seperti itu!"
"Eh, Bagas. Kalau dia itu bekerja sebagai pegawai dengan gaji lima juta per bulannya. Ibu nggak akan pernah menghina dia. Ibu akan joget-joget keliling desa pakai daster."
Mataku membulat ketika mendengar ucapan Ibu mertua baru saja.
"Baiklah, Bu. Kalau aku bisa mendapatkan gaji lima juta perbulan ibu akan joget-joget keliling kampung!"
"Oke! Siapa takut! Mustahil buat kamu Ranti! Wanita kek kamu yang hanya lulusan SMA saja mau kerja apa? Hahaha." Tawa Ibu yang nyaring. Justru membuatku semakin mantap untuk mengikuti kelas menulis. Apalagi ide cerita sudah terngiang-ngiang di kepala. Membuatku tidak sabar untuk segera menulisnya. Tentu setelah aku mengikuti kelas menulis. Agar tanda baca dan lainnya benar.
Akankah Ranti bisa membuktikan? Kita tunggu part selanjutnya ya...
BAB 5"Ya Allah … Ranti. Jam berapa ini? Kok makanannya belum ada? Nanti keburu tamu Ibu datang." Suara Ibu mertua melengking membuat aku spontan memejamkan mata. Menghirup oksigen sebanyak-banyaknya lalu membuangnya perlahan.Wanita yang keluar kamar telah berganti pakaian itu terlihat gusar. Tangannya terus saja bergerak mencari makanan yang sudah matang. Namun sayang, belum satu menu pun terhidang di meja. "Bu, Ranti ini hamil besar. Mana bisa masak cepat!" jawabku santai. Semua bahan baru aku siapkan. Tiba-tiba suara Ibu-ibu dari luar sudah terdengar riuh."Tu … kan teman ibu sudah pada datang! Gimana ini?""Ya disuruh masuk lah, Bu!" jawabku santai."Ah, kamu ini bikin malu saja!" Ibu terlihat menahan amarah lantas melewatiku berjalan menuju temannya yang baru saja datang."Assalamualaikum …." Terdengar salam dari luar. Aku pun turut menjawab salam dengan suara pelan. Riuh dan juga tawa yang cukup keras membuatku menggelang kepala. Lantas aku segera menyelesaikan membuat bumbu.
DINak Intan Ini selain pintar juga bijaksana. Beruntung kamu, Gas. Dapat istri cantik dan juga pintar kek intan."'Itu kan belum semuanya terlihat. Kita lihat saja nanti bagaimana sikap Intan yang sebenarnya. Semoga saja baik seperti sekarang. Bukan hanya sekedar topeng sebelum sah menjadi menantu' ucapku dalam hati.****Aku selesai memasak nasi goreng. Menyiapkan sarapan di meja lalu menarik kursi untuk menjatuhkan bokongku. Tidak berapa lama Mas Bambang keluar dari kamar sudah mengenakan pakaian putih dan celana hitam. Persis pakaian yang ia gunakan kemarin."Masak apa, Dek?" tanya laki-laki itu seperti biasa."Nasi goreng. Kamu mau cari pekerjaan lagi, Mas?" tanyaku."Ow, iya. Kemarin Mas belum cerita ya. Mas pulang kamu sudah tidur. Keknya capek banget habis bantuin Ibu masak-masak.""Iya, capek hati dan juga capek badan!" sahutku sembari memasukan sendok pada mulut.Mas Bambang terlihat menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Aku tahu dalam lubuk hatinya pasti sangatla
"Halah, jadi babu saja sombong. Mending kerja sama Ibu. Bisa berangkat kapan saja. Bisa makan gratis!" Bibir Ibu mencebik. Tangannya dilipat di depan dada."Alhamdulilah, babu juga kerjaan halal kok Bu.""Halah, pokoknya nanti kalau Bambang pulang suruh ke rumah Ibu! Biar Ibu yang bicara!" Tanpa menunggu jawaban dariku. Wanita tua itu lantas pergi tanpa pamit. ****Jam menunjukan angka lima lebih lima belas menit, matahari sudah mulai turun ke peraduannya. Aku segera menutup semua jendela dan juga groden. Dimana hari semakin gelap. Disaat aku tengah menutup pintu. Suara kendaraan milik Mas Bambang terdengar berhenti di halaman rumah. Belum juga aku melihat ke luar. Suara pintu terbuka membuat aku segera menoleh ke arahnya. Disana laki-laki dengan lesung pipi di kedua sisi sudah masuk kedalam rumah. Aku pun tersenyum."Dek, kamu ngapain disitu?" tanya Mas Bambang kepadaku. Aku yang tengah berada di dekat jendela lantas memutar badan berjalan ke arah Mas Bambang."Lagi nutup jendela,
"Kamu baca sendiri!"Mas Bambang lantas meraih ponsel yang aku sodorkan. Dia lantas mencari pesan yang dikirim Ibunya. Terlihat disana wajah lelaki itu terlihat membuang napas panjang. Lalu entah apa yang dia ketik. Jari jemarinya seolah menari pada layarnya."Sudah nggak usah dipikirin. Ibu memang seperti itu! Kamu tahu itu!""Tapi, Mas. Kamu ini anaknya lho. Dia itu kok kesannya meremehkan. Bukannya seorang Ibu itu seharusnya mendoakan yang baik-baik untuk anak-anaknya. Lantas ini apa? Dia malah merendahkan pekerjaan kamu! Dan kamu cuma diam saja!""Nggak baik, Dek. Melawan orang tua.""Mas ini bukan melawan tapi ….""Tapi apa? Sudahlah, biarkan Mas besok datang ke rumah Ibu. Untuk membicarakan ini. Kamu tenang saja." Bibirku mencebik setelah mendengarkan penuturan Mas Bambang. Entah terbuat dari apa hati lelaki itu. Dia bisa bersikap tenang, jika aku menjadi posisinya mungkin sudah aku tegur wanita itu. Meskipun dia ibu kandungku. Namun sikapnya memang keterlaluan bukan?*****Mas
"Jangan Mbak pikirkan soal Ibu. Ibu nggak akan pernah tahu jika Mbak Ranti tidak mengatakannya kepada beliau." Aku diam. Benar juga. Jika aku tidak mengatakan apa-apa pasti Ibu mertuaku itu tidak akan pernah tahu. Memang selama ini Mas Bambang baik pada Bagas maupun Toni. Jika sikap Bagas yang juga baik kepadaku karena balas budi. Tidak halnya Toni, dia bersikap acuh mungkin tidak peduli denganku. Memang berbeda anak berbeda karakter meskipun satu Ibu yang sama.Huh hahAku membuang napas dalam-dalam. Lalu menatap Bagas dengan lekat. Lelaki itu mengangguk memberi tanda bahwa aku harus menerima.****"Bismilah," ucapku untuk memulai mengirim naskah pertamaku. Berharap diterima di salah satu platform kepenulisan. Jantungku berdebar tidak beraturan, pasalnya ini kali pertama karyaku di kirim. Semoga bisa membuahkan hasil.[Semangat, Ranti. Tulisan kamu bagus, pasti diterima kok!] Pesan dari sahabat, dia tahu soal keputusanku untuk menulis.[Doakan ya, semoga aku bisa nulis eksklusif disa
Apa operasi?" Ibu mertua kembali bertanya. Memastikan apa yang dikatakan Bambang benar adanya. Panjang lebar laki-laki itu menjelaskan. Hingga tanpa kusadari bulir-bulir bening itu meluncur begitu saja."Kamu tenang, Ranti. Mas akan selalu ada disampingmu. Kamu jangan pernah khawatir!""Bukan masalah Ranti. Akan tetapi masalah uangnya. Gimana sih kamu, Bang. Main setuju-setuju saja. Kalau operasi siapa yang mau bayar dengan biaya sebanyak itu?!" ****Aku membuka mata. Menatap langit-langit kamar yang bercat putih dengan lampu yang menyala terang. Aku mengerjapkan kedua mata, lalu menoleh ke samping ranjang. Benar saja, disana ada Mas Bambang yang tengah setia menemaniku. Dan satu lagi sosok wanita paruh baya yang tidak asing lagi di mataku. "Emak …." Aku bergumam, entah mengapa air mata itu tumpah dengan sendirinya.Wanita yang tengah tertidur pulas itu membuka matanya. Menatapku lekat lalu bergegas menghampiri."Kenapa kamu, Ranti? Ada yang sakit?" tanya wanita itu. Tangannya mengu
Tut … Tut.Aku langsung menghubungi Tami, sahabatku. Menanyakan perihal foto yang ia kirim kepadaku. "Assalamualaikum," salam aku ucapkan setelah orang yang ada di seberang telepon mengangkat telepon. "Waalaikumsalam, Ranti. Ada apa? Pasti nanyain soal foto yang tadi aku kirim?" Wanita itu langsung menebak isi kepalaku. Aku tersenyum meski Tami tidak bisa melihat. "Iya, apa benar karya-karyaku bisa diterima pembaca?" tanyaku antusias. Jantung ini bekerja lebih cepat dari biasanya. Meskipun terdengar sepele, akan tetapi bagiku ini begitu luar biasa. Ini kali pertama aku mengirim naskah dan itu langsung diterima oleh pembaca dengan baik. Alangkah bahagianya aku, ini adalah suatu awal yang baik untuk kedepannya. Harapanku satu, aku bisa membungkam mulut sang mertua dengan kesuksesanku."Iya, alhamdulilah. Bagus itu, ayu buruan nulis. Eh, ngomong-ngomong kamu habis lahiran ya? Maaf, aku belum sempat main. Nanti ya kalau ada waktu pasti main ke rumah kamu. Author yang baik hati dan jug
"Maafkan Ranti, Mas. Uang itu diberikan Bagas sebagai ucapan terima kasih kepada kamu, Mas. Sudah bantu dia buat biayain kuliah hingga bisa seperti sekarang. Dia ngasih uang itu buat biaya persalinan. Terbukti uang itu juga kita gunakan. Akan tetapi, belum juga aku bilang sama kamu soal Itu aku keburu lahiran, Mas. Maafin aku ya?" Tatapanku sendu. Ada rasa menyesal terlihat jelas pada wajah dan juga sikapku. Ya aku menyesal.Huh hahMas Bambang terdengar membuang napas panjang. Aku yakin ada beban berat yang kini tengah ia rasakan. Bukan bermaksud menjadikan beban soal operasi caesar yang aku jalani ini. Akan tetapi, dokter memiliki alasan demi menyelamatkan buah hati. Air ketuban yang terus keluar tanpa diikuti pembukaan membuat janin yang ada di dalam rahim terancam keselamatannya."Semua bisa dibicarakan baik-baik, Bang. Jangan sampai amarahmu membuat kamu gelap mata. Ingat, dia itu ibumu yang harusnya sama kamu hormati. Ya?!" Wanita itu berbicara panjang lebar, membuatku merasa b