Share

Bab 5

BAB 5

"Ya Allah … Ranti. Jam berapa ini? Kok makanannya belum ada? Nanti keburu tamu Ibu datang." Suara Ibu mertua melengking membuat aku spontan memejamkan mata. Menghirup oksigen sebanyak-banyaknya lalu membuangnya perlahan.

Wanita yang keluar kamar telah berganti pakaian itu terlihat gusar. Tangannya terus saja bergerak mencari makanan yang sudah matang. Namun sayang, belum satu menu pun terhidang di meja. 

"Bu, Ranti ini hamil besar. Mana bisa masak cepat!" jawabku santai. Semua bahan baru aku siapkan. Tiba-tiba suara Ibu-ibu dari luar sudah terdengar riuh.

"Tu … kan teman ibu sudah pada datang! Gimana ini?"

"Ya disuruh masuk lah, Bu!" jawabku santai.

"Ah, kamu ini bikin malu saja!" Ibu terlihat menahan amarah lantas melewatiku berjalan menuju temannya yang baru saja datang.

"Assalamualaikum …." Terdengar salam dari luar. Aku pun turut menjawab salam dengan suara pelan. Riuh dan juga tawa yang cukup keras membuatku menggelang kepala. Lantas aku segera menyelesaikan membuat bumbu. Jika bumbu sudah selesai baru aku akan memulai memasaknya. Karena hamil besar jadi aku memutuskan untuk meracik semuanya tinggal eksekusi saja. Meskipun membutuhkan banyak waktu tapi aku tidak peduli. Toh, semua aku kerjakan sendiri. Jadi jangan salahkan aku jika aku sesuka hati mengerjakannya.

"Ya Allah, Ranti. Kenapa kamu masak? Kamu lagi hamil besar lho! Bu Romlah ini kok kebangetan. Menantu lagi hamil besar kok ya di suruh masak. Banyak lagi! Dasar!" ucap salah satu teman Ibu mertua. Membuatku mengulum senyum. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku bergumam dalam hati.

"Saya nggak nyuruh kok, Bu suwer. Ranti sendiri yang minta. Ini semua sebenarnya mau saya masak sendiri. Tapi dia kekeh mau membantu." Ibu menyahut lalu bersikap seolah dia mau memasak. 

"Ya sudah kalau begitu. Ibu-Ibu … kita bantuin Ranti masak dulu ya. Baru nanti arisan dimulai!" pinta salah satu Ibu-ibu yang berdandan sedikit menor.

"Okay," sahut yang lainnya.

"Sudah Mbak Ranti kamu istirahat dulu sana! Biar semuanya kami yang masak. Iya kan Ibu Romlah?!"

"I-iya, Bu. Istirahat saja kamu Ranti. Biar kami yang meneruskan." Aku bersyukur dalam hati. Lalu membalasnya dengan senyuman. Setelah itu aku sengaja mencuci tangan. Lantas berjalan tergopoh-gopoh menuju ruang tamu yang sudah di gelar tikar. Kemudian aku bercengkrama dengan Ibu-ibu lainnya. Satu persatu Ibu-ibu yang tadi berniat membantu di dapur akhirnya ikut duduk di ruang tamu. 

Dan pada akhirnya Ibu mertuaku lah yang sedari tadi masak seluruh menu. Begitu juga membuatkan minuman. Aku hanya bisa tersenyum sembari menatap ke arah wanita tua itu. 

Pasti di dalam lubuk hatinya terus memaki aku, hahaha. Aku hanya bisa menahan tawa di dalam hati. Meskipun rasanya ingin tertawa terbahak-bahak.

Aku yang semula diminta datang kemari untuk membantu memasak malah kini aku duduk dengan santai sembari menikmati makanan. Tidak berapa lama suara motor milik adik iparku terdengar berhenti. 

"Assalamualaikum." Seorang wanita mengenakan hijab berwarna hitam masuk dengan senyuman mengembang. Siapa lagi kalau bukan calon adik ipar. 

"Eh, Nak Intan. Masuk-masuk … ibu-ibu perkenalkan Ini Intan. Calon istri Bagas. Dia ini seorang guru."

"Wah, cantiknya." Suara riuh kembali terdengar membuatku hanya bisa menunduk. Karena aku tahu Ibu memang sengaja memperkenalkan calon menantu barunya. Dan sengaja menekankan kata guru agar sadar bahwa aku ini menantu yang tidak memiliki penghasilan alias pengangguran.

"Alamak, Ibu Romlah ini beruntung. Bisa memiliki calon menantu seorang pegawai negeri!" ucap salah satu ibu-ibu arisan. Apakah jika menantu tidak memiliki pekerjaan maupun penghasilan sangatlah rendah? Ya Tuhan. Beri aku kekuatan untuk membuktikan bahwa aku bisa membungkam semua penghinaan ini dengan kesuksesanku sebagai ibu rumah tangga yang berpenghasilan besar. Amin.

"Iya, Bu. Alhamdulilah. Paling tidak dia bisa mengangkat derajat mertua dan juga suami. Bagas, calon suaminya juga alhamdulilah sekarang sudah menjadi pegawai tetap di kantornya. Alhamdulilah banget."

"Alhamdulilah, dong Bu. Lha si Bambang itu bagaimana? Bukannya baru saja di PHK ya?"

"Iya, Bu. Sekarang jadi pengangguran!" Suara Ibu mulai tidak enak didengar. Beberapa teman Ibu justru malah mengelus punggungku. Menguatkanku agar tidak memasukan ke dalam hati kata-kata Ibu mertuaku baru saja. 

"Yang sabar, Mbak Ranti. Jangan berkecil hati. Rejeki sudah ada yang ngatur," bisik salah satu Ibu-ibu arisan.

Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala.

Setelah arisan selesai. Semua Ibu-ibu akhirnya pergi meninggalkan rumah. Sedangkan Intan dan aku duduk di kursi teras. Sedangkan Ibu mertua duduk di dekat Intan bersama Bagas. 

"Ranti, contoh itu si Intan. Sekolah tinggi jadi guru. Nggak bisanya ngabisin duit suami!" Suara Ibu kembali membuatku tersudut.

"Ibu ini bicara apa?" Bagas mencoba membuat Ibunya diam. Mungkin tidak enak jika di dengar Intan.

"Menjadi Ibu rumah tangga bukanlah suatu hinaan kok, Bu. Justru sangat banyak pekerjaan yang dilakukan di rumah. Ya menjaga anak, ngurus suami, masak dan juga bersih-bersih. Ya kan Mbak?" ucapan Intan dijawab dengan anggukan kepala oleh Ibu sembari bibir mengulum senyum.

"Nak Intan Ini selain pintar juga bijaksana. Beruntung kamu, Gas. Dapat istri cantik dan juga pintar kek intan."

'Itu kan belum semuanya terlihat. Kita lihat saja nanti bagaimana sikap Intan yang sebenarnya. Semoga saja baik seperti sekarang. Bukan hanya sekedar topeng sebelum sah menjadi menantu' ucapku dalam hati.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status