"Ini bayaranmu. Dan aku minta kamu segera pergi meninggalkan kota ini. Aku tidak mau kamu ditangkapa polisi dan membongkar semua rencanaku." Ujarku seraya melempar segepok uang ke arah Aris dan dia langsung saja menangkapnya. "Baik, Pak ... saya akan meninggalkan kota ini dan akan pulang kedesa. Disana saya akan membuka usaha dengan uang yang bapak berikan ini." Jawab Aris gugup karena seumur hidupnya belum pernah menerima uang segini banyaknya."Iya ... tapi kamu tunggu dulu disini, jangan keluar. Di luar masih banyak aparat keamanan yang sedang bertugas. Kamu keluar nanti aja menjelang magrib. Biasanya jam segitu mereka sedang beristirahat." Saranku pada lelaki tiga puluhan tahun itu."Baik, Pak." Jawab lelaki itu mengangguk pasti."Dan seandainya kamu tertangkap, jangan kau bawa-bawa namaku apalagi sampai mengatakan itu suruhan dari aku ya! Aku gak mau terlibat, karena kau itu sudah kuberikan uang yang banyak. Jadi tidak ada lagi sangkut paut denganmu. Dengar?" Ucapku tegas.Lelak
Pov Andre"Hari ini memang cepat pulang, Ma. Itu semua akibat ulah Bayu makanya seluruh karyawan dipulangkan. Pak Herman sangat malu karena anak angkatnya berbuat hal yang sangat menjijikkan begitu." Ujarku berbohong. Padahal aku sengaja minta izin cepat pulang hanya untuk menyampaikan berita yang aku karang sendiri. "Menjijikkan bagaimana. Maksud kamu apa, Nak?" Tanya ibu mertua dengan wajah keheranan."Bayu ... menantu kesayangan Ibu. Bikin malu keluarga kita aja. Mau ditaroh dimana lah muka kita ini. Melly gak berani keluar rumah. Malu." Ujar Melly dengan wajah cemberut. Dia sangat malu jika masalah ini sampai terdengar ditelinga para tetangga, pasti mereka akan menjadi buah bibir para tetangga."Kenapa dengan Bayu? Ada apa lagi sama anak sampah itu. Kalian kalau ngomong jangan setengah-setengah, bikin Ibu penasaran aja. Emang kalian mau Ibu mati penasaran ya?" Ujar ibu mertua kesal.Dengan wajah memerah ibu mertua bangun dan berjalan ke dapur. Nampaknya beliau sedang menuang air
"Naya, ada apa ini, Nak." Bu Widya masuk dan kaget melihat ibuku marah-marah tanpa sebab. Beliau baru saja datang kerumah sakit setelah tadi pagi pulang sebentar untuk membersihkan diri."Tolong jangan ikut campur urusan kami. Bukan urusanmu. Kamu tidak ada hak apa-apa terhadap anak saya!" ucap ibu dengan wajah tidak bersahabat."Maaf, saya tidak bermaksud mencampuri urusan Anda. Saya hanya bertanya ada masalah apa sama Naya. Apa itu salah?" tanya bu Widya mulai tersulut emosi."Salah, dong!" jawab ibu ketus."Ibu, tidak baik ngomong begitu. Bu Widya sangat baik terhadap Naya selama ini. Beliau sudah seperti ibu Naya sendiri!" Aku berusaha menengahi pertikaian itu."Hebat kamu, Nay. Sudah besar tidak lagi menganggap ibumu baik, malah orang yang baru kamu kenal kamu agung-agungkan. Lupa daratan," protes wanita yang telah melahirkanku kedunia ini."Bukan begitu maksud Naya, Bu," ucapku serba salah. Sebenarnya aku malas berdebat lagi, tidak ingin menambah masalah. Masalahku saja sudah bi
Hari ini proses lamaran, pak Bakri datang bersama beberapa orang lelaki dan aku tidak tahu apakah dia orang tuanya atau sahabat beliau. Aku mencium gelagat yang tidak baik dari sikap dan tingkah laku calon suami yang menjadi pilihan ibu tersebut. Katanya, pak Bakri tidak mau berlama-lama menyandang status duda. Beliau ingin segera menikah dan memiliki keturunan, karena kata dia dipernikahan sebelumnya tidak mempunyai keturunan sementara umurnya sudah mencapai setengah abad. "Kami menerima lamaran pak Bakri dan saya sebagai orang tua juga tidak menginginkan anak perempuan saya terlalu lama menyandang status janda. Maklum pak. Takut jadi bahan gunjingan," ujar ibu terkekeh seraya menutup mulutnya dengan telapak tangan beliau. Dimataku ibu terlalu genit, gak ada rasa malunya dihadapan calon besan."Bagaimana, Nay? Kamu sudah siap menikah lagi?" tanya pak Bakri."Tentu ... tentu saja, Pak. Naya sudah siap lahir batin," sergah ibu tanpa meminta persetujuan dariku lagi, seakan-akan ibuku
Semua menjadi gelap gulita. Sunyi, sepi dan tanpa suara. Kemana mereka semua. Pak Herman, bu Widya dan Arman? "Dimana aku sekarang. Apakah aku sudah mati? Kenapa di sekeliling semuanya menjadi gelap. Naya ... mana istriku Naya. Dan kenapa juga dia meninggalkan aku sendiri dalam kegelapan ini." Dari kejauhan aku melihat ratusan manusia lalu lalang tetapi tidak bertegur sapa. Mereka seakan sibuk dengan dirinya sendiri. "Bayu ... kenapa kamu disini, Nak." Sapa ibu. Kerinduanku seakan terobati melihat kehadiran beliau yang begitu cantik dan mempesona, dibalut baju serba putih dan memancarkan cahaya yang sangat menyilaukan mata. "Bayu juga gak tau kenapa Bayu bisa disini, Bu. Ibu ... kenapa Ibu tidak pernah pulang-pulang. Tidakkah engkau merindukan kami, Bu? Selama Ibu pergi hidupku hancur berantakan. Bagaikan kapal kehilangan arah." Ucapku sendu. "Yang sabar, Nak. Engkau pasti kuat menghadapi semua ini." Nasehati ibu tetapi tidak membuat hati ini terhibur. "Kalau Ibu tidak mau pula
"Bu, kemana Naya?" tanyaku pelan. Sejak membuka mata dari tadi siang, diri ini belum melihat wanita yang telah aku halalkan setahun yang lalu."Nak, kamu harus banyak istirahat. Jangan banyak bergerak dulu." Bukan menjawab pertanyaanku, bu Widya malah menyuruhku untuk beristirahat. Masak baru bangun dari tidur aku disuruh tidur lagi?Ada apa ini? Aku curiga seakan ada sesuatu yang sedang ditutupi dariku."Bu, saya hanya menanyakan kemana istri saya. Apakah itu tidak boleh?""Bukan gitu, Bayu. Pesan dokter kamu tidak boleh banyak pikiran dulu!" Lagi-lagi jawaban yang diberikan oleh bu Widya tidak membuatku puas. Aku semakin yakin mereka menyimpan sesuatu dan aku tidak boleh mengetahuinya."Bu, Pak. Saya mohon beritahukan dimana istri saya? Jika sudah ada jawabannya pasti saya tidak akan menanyakan lagi." Segala pikiran buruk menari-nari dalam kepala ini. Semoga saja Naya ikut di bebaskan saat disekap oleh preman."Apa Naya tidak terselamatkan saat penyekapan itu?" Berbagai pikiran buru
"Bay, kamu masih ingat wajah orang yang menganiaya kamu?" tanya pak Herman saat kami sedang menyantap sarapan pagi.Aku berfikir keras untuk mengingat kembali wajah tiga orang preman yang telah membuat aku koma dirumah sakit selama tiga bulan."Mereka memakai penutup wajah kecuali satu orang. Saya dengar mereka memanggil namanya dengan sebutan bogel. Apa yang mereka lakukan, sampai sekarang masih terngiang-ngiang dalam kepala saya, Pak," ujarku.Aku masih mengingat lelaki berhati iblis itu yang telah menendang dada ini sehingga muntah darah dan tidak sadarkan diri. Lelaki berkulit sawo matang, bermata sipit dan hidung pesek itu memiliki tato kepala macan dilenan sebelah kanannya."Nanti sepulang dari rumah Naya, kita singgah ke kantor polisi buat pengaduan. Baru satu orang yang tertangkap dan Bapak yakin ada dalang dibalik ini semua. Mereka itu hanya melaksanakan perintah," ujar pak Herman sembari menyendokkan nasi kedalam piringnya."Pembunuh bayaran, maksud Bapak?" tanyaku."Ya begi
Aku bingung, bagaimana cara menghentikan acara pernikahan Naya yang akan dilaksanakan seminggu lagi?Ingin mengajak Naya untuk kawin lari tetapi dia tidak mau melawan ibunya, takut durhaka. Apalagi ibunya menderita darah tinggi, jika banyak pikiran nanti akan kumat."Pak Tohir, kenal dengan pak Bakri pengusaha batu bara gak?" tanyaku saat sudah berada dalam mobil hendak berangkat pulang."Pak Bakri? Pak Bakri mana nih?" Beliau balik bertanya. Kuangsurkan foto calon suami Naya kepada lelaki berkemeja navy itu. Foto itu diberikan Naya saat aku berkunjung kerumahnya tadi."Pak Bakri? Saya kenal orangnya, Pak! Bukan kenal dekat sih, cuma tau aja.""Dia bakal menikahi mantan istri saya," ucapku seraya menyugar rambut frustasi."Iyalah. Bu Lastri mata duitan. Padahal pak Bakri hobynya kawin tapi bu Lastri masih juga menjodohkan bu Naya dengannya!" ucap pak Tohir kesal. Kedua tanganku mengepal. Meredam kekesalan yang memenuhi hati."Sudah tua pula tapi tidak tau diri!" ujar pak Tohir lagi. B