"Naya? Kamu kenapa?" tanya lelaki yang pernah menjadi suamiku itu."Mas ..." aku menghambur kedalam pelukan mas Bayu dan menangis sejadi-jadinya. Hati ini menjadi damai. Aku merasa mas Bayu merupakan orang yang tepat untuk aku berkeluh kesah. Menyampaikan duka yang sedang diri ini alami. Tak ku hiraukan lagi status kami yang sudah menjadi mantan. Berada dalam pelukan mas Bayu membuat aku nyaman."Ada apa, Nay." Dia memegang kedua pundakku dan mengurai pelukannya. Mas Bayu menatapku dengan tatapan iba."Bukankah hari ini hari pernikahanmu?" lanjut mas Bayu lagi membuat tangisku semakin pecah."Dia penipu, Mas. Dia telah membuat malu kami sekeluarga!" ujarku terisak. "Ayo duduk dulu. Ceritakan sama Mas, apa yang terjadi?" ajaknya sembari membimbing tubuh ini untuk duduk dikursi ditaman rumah sakit.Aku menceritakan semua yang terjadi siang tadi. Bagaimana malunya keluarga kami saat calon suamiku diborgol polisi sesaat sebelum akad nikah dimulai."Beruntung aku belum dinikahinya, Mas. K
"Maaf, Kak. Tadi kami singgah dulu untuk membeli perlengkapan ini," jawabku seraya mengangkat kantung plastik."Ya udah kita ke ruangan dulu untuk menanda tangani surat menyuratnya," ajakku pada kak Melly tapi ternyata mas Bayu juga ikut mengekori kami dari belakang."Nay, Kakak disini saja, Kalian saja yang masuk. Kakak gak berani masuk ke dalam," "Ya udah. Biar aku sama Naya saja yang masuk," jawab mas Bayu seraya menggenggam tangan ini untuk masuk ke dalam ruangan dokter.Setelah menanda tangani semua berkas, akhirnya aku sedikit lega. Kami menunggu hasil tindakan dokter di ruang tunggu."Nay, kamu gak ganti baju? Masak dirumah sakit masih memakai baju pernikahan?" ucap mas Bayu dan aku baru menyadari baju yang aku pakai saat pesta pernikahanku tadi bekum aku ganti juga. Begitu juga dengan kak Melly, dia juga masih memakai baju seragam keluarga dengan dengan dandanannya yang cetar membahana."Iya juga. Tadi gak kepikiran mengganti baju. Di pikiranku hanya keselamatan ibu, Mas. Ter
Sebulan sudah, ibu dirawat di rumah sakit dan hari ini beliau sudah bisa pulang. Kami sangat bahagia mendengar saat dokter mengatakan ibu sudah bisa pulang walaupun masih harus kontrol ulang karena ibu belum sembuh total.Hari ini mas Bayu tidak bisa datang ke rumah sakit karena beliau ada meeting dengan dewan direksi dan tidak bisa ditinggalkan.Tapi mas Bayu mengirimkan seorang supir pribadi keluarga yaitu pak Tohir.Jam dua belas siang, pak Tohir sudah datang menjemput kami. "Sudah siap, Bu?" tanya pak Tohir saat sudah berada di kamar tempat ibu menginap."Tunggu sebentar ya, Pak. Saya urus administrasinya dulu," jawabku sembari mengambil dompet dan ketika hendak melangkahkan kaki ini, pak Tohir mencegahnya."Semua administrasi sudah diurus bapak, Bu. Ibu tinggal mengambil obat dan surat kontrol di administrasi ruangan. Bapak tidak bisa datang. Hari ini beliau ada meeting dewan direksi," jelas pak Tohir panjang lebar. Ibu sempat kaget mendengar penuturan pak Tohir. Beliau tidak me
"Kamu yakin tidak ingin rujuk lagi, Nay?" tanya mas Bayu saat kami sedang duduk berdua saja di teras rumah ibu."Menurut Mas bagaimana?" Aku balik bertanya. Padahal hati ini menginginkan bila perlu detik ini juga kami menikah lagi."Manalah Mas tau-tau isi hati kamu, Dek. Mas bukan Tuhan yang bisa mengetahui isi hati kamu. Sekarang Mas minta kamu jujur ajalah. Apa kamu menginginkan kita bersatu lagi?" tanya mas Bayu dan aku jawab dengan anggukan kuat. Aku takut, tiba-tiba lelaki yang masih merajai hati ini berubah pikiran karena melihat wanita yang dicintainya tidak menginginkan rujuk lagi."Pak Herman pasti sangat bahagia melihat kita bersatu lagi, Nay. Beliau selalu saja menanyakan kabar kamu. Semalam beliau mau menjenguk ibu tetapi tiba-tiba ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Mungkin besok dia akan menjenguk ibu. Hmmm ... Dek, menurut kamu ibu sudah berubah belum ya? Hmmm ... maksud aku. Kalau pak Herman dan keluarga kemari diterima gak?""Masak gak diterima sih, Mas. Ada-
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Cuaca langit dipagi ini sangatlah cerah. Secerah hati ini yang sebentar lagi akan melakukan ijab kabul.Konsep dekor yang indah dengan nuansa warna putih lily itu menambah suasana semakin sakral. Dengan anggun Naya duduk disebelahku. Dibelakangnya ada pak Herman sekeluarga dan juga bu Lastri serta kak Melly yang mengenakan seragam berwarna putih tulang."Bagaimana apa sudah siap dimulai?" tanya seorang penghulu."Siap, Pak." Dengan mantap aku menjawab. Ini bukan pernikahan pertama bagi kami berdua, walaupun ada sedikit grogi tapi bisa aku atasi."Bismillahirrahmanirrahim." ujarku lirih seraya menarik nafas dalam, kemudian menjabat tangan dengan seorang penghulu."Aku nikahkan engkau dan aku kawinkan engkau dengan pinanganmu Naya Kamalia Ivona binti almarhum Hadiningrat dengan mas kawin seperangkat alat salat dan emas seberat tiga puluh gram serta uang tiga ratus juta yang dibayar tunai.""Saya terima nikah dan kawinnya dengan mahar yang telah disebutka
Hari ini kami kembali ke rumah. Tidak enak berlama-lama di rumah ibu mertu. Apalagi kami masih pengantin baru yang tidak ingin diganggu oleh siapapun. Jangan tanyakan perasaanku saat ini. Aku pun kesulitan mendeskripsikannya. Saking berlipatnya rasa bahagia yang memenuhi relung hati."Dek, ngapain sih dari tadi gak siap-siap nyuci piring? Kayak orang dirumah ini rame aja!" tanya dan protesku pada Naya saat melihat dia sibuk mengotak atik didapur. Apa yang dicuci sementara piring dan gelas kotor hanya dua saja."Lagi membersihkan sisa makanan, Mas," jawabnya asal. "Sisa makanan yang mana? Santai aja kenapa, Say!" protesku.Aku pun mengambil sapu dan meletakkannya disudut pintu. Kemudian kuraih kedua pundak Naya memutar, kurengkuh kedua pinggangnya lalu mengangkat tubuhnya sehingga kududukkan diatas meja makan. Aku berdiri di depannya dengan tangan masih berada di kedua pinggangnya dan kuarahkan tangan dia memegang pinggangku."Mas mau ngapain? Aku belum siap membersihkan rumah," tan
"Gak usah lagi bekerja bagaimana sih, Mas. Gak gampang lolos jadi pegawai negeri sipil, Mas. Adek beruntung banget bisa lolos!""Mas tau itu! Tapi kondisi kamau tidak memungkinkan, Dek. Lihat kamu pucat begini!" kugendong tubuh mungil wanita yang aku cintai itu menuju ke arah cermin besar yang berada diruang keluarga dan menunjukkan betapa pucat dan nampak lelah dia."Mas, ini karena kita kebanyakan. Besok-besok kalau kita sudah terbiasa pasti akan lebih teratur. Seminggu tiga kali atau empat kali, 'kan?" tanya Naya dengan tatapan nakal. Aku tahu maksud dia itu karena kami terlalu banyak bercinta sehingga dia kelelahan dan jadi pucat."Bukan karena itu saja, Dek. Mas gak mau daja kamu bekerja. Mas mau kamu di rumah saja mengurus suami dan anak kita kelak!" usul aku dan Naya keberatan dengan ide yang aku ajukan."Enggak, Mas. Aku gak mau menyesal kemudian,""Kenapa menyesal? Gaji Mas sepuluh kali lipat dari gaji kamu, Dek. Yakinlah. Tidak akan habis dslam sebulan." Aku terus meyakinkan
Naya terkesiap seketika tawanya terhenti."Kamu harus tanggung jawab. Pokoknya aku gak mau tau." Ancam aku dan manatap dengan nakal seraya menaik dan menurunkan alis layaknya lelaki hidung belang yang ada di sinetron-sinetron.Naya berjongkok seperti orang ketakutan dengan tangan diatas kepala dan menyembunyikan wajahnya.Kamudian aku meraih tubuh Naya yang mungil ke dalam dekapan dan memeluk dengan erat, Naya menyambut pelukanku. Tangannya ikut bermain di tulang belakang punggungku. Menimbulkan gelanyar nikmat pada diri ini.Terasa sangat nyaman berada dalam pelukan orang yang kita cintai. Aku ingin kebahagiaan ini jangan pernah berlalu.Kerinduan masa lalu membuat kami berdua hanyut dalam pikiran masing-masing.Sekarang disaat uang begitu mudah di dapatkan, kebersamaan kami berdua jadi berkurang. Disaat uang begitu menimbun dalam hidup ini, para pembenci mencari jalan untuk menghancurkan kami berdua."Mas, Adek gak sanggup dengan semua ini. Adek gak kuat karena terlalu banyak pemben