Hari ini kami kembali ke rumah. Tidak enak berlama-lama di rumah ibu mertu. Apalagi kami masih pengantin baru yang tidak ingin diganggu oleh siapapun. Jangan tanyakan perasaanku saat ini. Aku pun kesulitan mendeskripsikannya. Saking berlipatnya rasa bahagia yang memenuhi relung hati."Dek, ngapain sih dari tadi gak siap-siap nyuci piring? Kayak orang dirumah ini rame aja!" tanya dan protesku pada Naya saat melihat dia sibuk mengotak atik didapur. Apa yang dicuci sementara piring dan gelas kotor hanya dua saja."Lagi membersihkan sisa makanan, Mas," jawabnya asal. "Sisa makanan yang mana? Santai aja kenapa, Say!" protesku.Aku pun mengambil sapu dan meletakkannya disudut pintu. Kemudian kuraih kedua pundak Naya memutar, kurengkuh kedua pinggangnya lalu mengangkat tubuhnya sehingga kududukkan diatas meja makan. Aku berdiri di depannya dengan tangan masih berada di kedua pinggangnya dan kuarahkan tangan dia memegang pinggangku."Mas mau ngapain? Aku belum siap membersihkan rumah," tan
"Gak usah lagi bekerja bagaimana sih, Mas. Gak gampang lolos jadi pegawai negeri sipil, Mas. Adek beruntung banget bisa lolos!""Mas tau itu! Tapi kondisi kamau tidak memungkinkan, Dek. Lihat kamu pucat begini!" kugendong tubuh mungil wanita yang aku cintai itu menuju ke arah cermin besar yang berada diruang keluarga dan menunjukkan betapa pucat dan nampak lelah dia."Mas, ini karena kita kebanyakan. Besok-besok kalau kita sudah terbiasa pasti akan lebih teratur. Seminggu tiga kali atau empat kali, 'kan?" tanya Naya dengan tatapan nakal. Aku tahu maksud dia itu karena kami terlalu banyak bercinta sehingga dia kelelahan dan jadi pucat."Bukan karena itu saja, Dek. Mas gak mau daja kamu bekerja. Mas mau kamu di rumah saja mengurus suami dan anak kita kelak!" usul aku dan Naya keberatan dengan ide yang aku ajukan."Enggak, Mas. Aku gak mau menyesal kemudian,""Kenapa menyesal? Gaji Mas sepuluh kali lipat dari gaji kamu, Dek. Yakinlah. Tidak akan habis dslam sebulan." Aku terus meyakinkan
Naya terkesiap seketika tawanya terhenti."Kamu harus tanggung jawab. Pokoknya aku gak mau tau." Ancam aku dan manatap dengan nakal seraya menaik dan menurunkan alis layaknya lelaki hidung belang yang ada di sinetron-sinetron.Naya berjongkok seperti orang ketakutan dengan tangan diatas kepala dan menyembunyikan wajahnya.Kamudian aku meraih tubuh Naya yang mungil ke dalam dekapan dan memeluk dengan erat, Naya menyambut pelukanku. Tangannya ikut bermain di tulang belakang punggungku. Menimbulkan gelanyar nikmat pada diri ini.Terasa sangat nyaman berada dalam pelukan orang yang kita cintai. Aku ingin kebahagiaan ini jangan pernah berlalu.Kerinduan masa lalu membuat kami berdua hanyut dalam pikiran masing-masing.Sekarang disaat uang begitu mudah di dapatkan, kebersamaan kami berdua jadi berkurang. Disaat uang begitu menimbun dalam hidup ini, para pembenci mencari jalan untuk menghancurkan kami berdua."Mas, Adek gak sanggup dengan semua ini. Adek gak kuat karena terlalu banyak pemben
"Betul ibu ratu. Makanya tadi ibu ratu marah-marah tanpa sebab dan gampang tersinggung. Ternyata kurang piknik toh. Hahaha," ejekku membuat Naya kesal."Ish ... Mas. Ngejek aja kerjanya," ujar Naya seraya memukul lembut punggung suaminya."Udah ... gak usah marah-marah nanti kamu lekas tua." Lagi-lagi aku menyanyikan lagu yang sedang viral saat ini."Apa gak ada lagu lain atau Mas gak bisa nyanyi lagu lain sih. Itu-itu aja yang di nyanayikan dari tadi. Bikin emosi aja," ujar Naya dengan kesal. "Dinda jangan marah-marah, nanti dinda lekas tua. Kanda setia orangnya. Tak 'kan pernah mendua." Suara nyanyianku sangat keras dan sumbang. Membuat sakit telinga siapa saja yang mendengarkannya. Aku sengaja menggoda Naya karena dari tadi subuh bawaan wanitaku marah terus."Suara Mas bagus sih. Tapi lebih bagus diam," ejek Naya. Aku jadi tertawa dibuatnya."Jadi gak ke pantai atau apa mau nyanyi aja nih." Tantang Naya dengan mata melotot tapi bukannya takut malah membuat aku semakin gemas aja.
Dari jauh sayup-sayup terdengar seseorang meminta tolong. Apakah ini halusinasiku saja? Kaki ini terus saja melangkah ke pusat suara tetapi tidak nampak wujud manusia.Semakin jauh kuberjalan suara itu semakin nyata. Tiba-tiba saja aku dikejutkan dengan kehadiran seorang wanita muda, dia seperti orang kebingungan."Om, tolong saya. Ada orang yang ingin memperkosa saya." Seorang gadis berumur kisaran tujuh belas tahun tiba-tiba datang meminta tolong untuk diselamatkan dari kejaran seseorang yang katanya sedang mengincarnya."Bantu?" Mungkin pertanyaanku rada bodoh. Tapi jelas aku tidak tahu mau berbuat apa ditempat yang gelap seperti ini. Aku heran, apa yang dia lakukan malam-malam begini berkeliaran ditepi pantai sendirian."Tolong antarkan saya pulang, Om," pintanya sambil memegang erat lenganku."Saya gak bisa antar kamu pulang. Bagaimana kalau kamu saya antar untuk menjumpai pihak keamanan pantai saja ya? Kita minta tolong sama mereka untuk mengantar kamu pulang." tanya dan saranku
"Udah ibu-ibu. Jangan main hakim sendiri. Biarlah pihak berwajib yang menangani masalah ini," ujar salah salah polisi yang sedang bertugas mengamankan dan meredam kemurkaan warga sekitar."Tolong dengarkan saya." Dengan berlutut dan menangkupkan kedua tangan diatas kepala, aku merendahkan diri serendah-rendahnya memohon supaya mereka mendengarkan dan mempercayai bahwa aku tidak pernah melakukan perbuatan yang hina itu."Mau dengarkan apalagi!" bentak ibu bertubuh tambun seraya melemparkan kulit kacang kewajahku."Percayalah. Saya tidak melakukannya," ucapku putus asa."Mau percaya apa lagi. Sudah jelas-jelas kau pelakunya!" bentak lelaki yang aku tidak tahu dimana dia berada. Begitu banyak manusia mengerubungiku, berbagai kata cacian dan makian dilontarkan, diri bagaikan seonggok sampah yang mengganggu sehingga harus segera dilenyapkan."Dia hendak memperkosa saya dengan menodong saya dengan senjata tajam. Masih tidak mengaku juga kamu? Hah!" Gadis belia itu menendang tubuhku yang mas
Pov Naya.Aku tidak menyangka suamiku bisa berbuat sehina dan sangat menjijikkan seperti itu. Apa kurangnya diri ini sehingga dia sampai berbuat serendah itu? Memperkosa anak gadis orang. Apa selama ini dia kurang puas aku layani sehingga berbuat hal nista seperti itu?Hatiku sakit, terluka, kecewa dan marah bersamaan pada pria yang telah mendampingi hidupku selama dua tahun belakangan ini.Dibelakangku dengan beraninya mas Bayu melakukan hal yang menjatuhkan harga diri dan martabatnya sebagai seorang muslim dan sebagai seorang istri aku sangat malu mendapati suami yang berbuat hal yang dilarang oleh Tuhannya."Dek, aku berani bersumpah. Aku tidak pernah melakukannya. Ini semua tidak seperti yang mereka tuduhkan."Aku tidak tahu harus berkata apa. Apakah masih bisa dipercaya seorang Bayu yang sudah terang-terangan berbuat hal yang sangat keji dan nista.Aku memeluk mas Bayu yang sedang di hukum oleh warga karena perbuatan tak senonohnya. Wajah ini tidak tahu lagi mau kuletakkan dimana
"Naya, ayo pulang. Buat apa kamu disini?" Ibu menarik tanganku dengan sekuat tenaga yang dia punya. Tangan ini dicengkeram sampai kukunya seakan menancap kedalam dagingku. Sakit. Tapi sakit ini tidak seberapa dibandingkan perbuatan mas Bayu. Secara tidak langsung dia sudah menghina diri ini. Seakan aku ini wanita yang tidak becus melayani suami. Seakan aku ini tidak bisa memuaskan suamiku."Bu, tolong lepas. Tangan Naya sakit!" Aku berusaha melepaskan tangan ibu yang terus saja menyeret tubuh hampir keluar dari dalam rumah."Bu, Naya bukan anak kecil lagi. Tolong hargai diri ini sedikit saja!" aku terus saja memohon tetapi ibu seakan tidak memedulikannya. "Hargai? Apa yang kau ketahui tentang harga diri Naya? Kau lihat suamimu itu! Apa dia menjaga harga dirimu? Kamu tau perbuatan dia itu telah menginjak-injak harga dirimu? Ibu baru narik tangan kamu aja sudah kamu bilang gak menghargai kamu. Lakimu itu apa?" Ibu sangat marah saat mengetahui peristiwa yang menimpa suamiku. Beliau mer