"Naya, ayo pulang. Buat apa kamu disini?" Ibu menarik tanganku dengan sekuat tenaga yang dia punya. Tangan ini dicengkeram sampai kukunya seakan menancap kedalam dagingku. Sakit. Tapi sakit ini tidak seberapa dibandingkan perbuatan mas Bayu. Secara tidak langsung dia sudah menghina diri ini. Seakan aku ini wanita yang tidak becus melayani suami. Seakan aku ini tidak bisa memuaskan suamiku."Bu, tolong lepas. Tangan Naya sakit!" Aku berusaha melepaskan tangan ibu yang terus saja menyeret tubuh hampir keluar dari dalam rumah."Bu, Naya bukan anak kecil lagi. Tolong hargai diri ini sedikit saja!" aku terus saja memohon tetapi ibu seakan tidak memedulikannya. "Hargai? Apa yang kau ketahui tentang harga diri Naya? Kau lihat suamimu itu! Apa dia menjaga harga dirimu? Kamu tau perbuatan dia itu telah menginjak-injak harga dirimu? Ibu baru narik tangan kamu aja sudah kamu bilang gak menghargai kamu. Lakimu itu apa?" Ibu sangat marah saat mengetahui peristiwa yang menimpa suamiku. Beliau mer
"Anda pikir semudah itu membawa Naya? Dia itu anakku. Suka-sukaku mau kuurus atau enggak! Yang jelas aku akan menggugurkan anak dalam kandungannya!" bentak ibu penuh dengan amarah."Ibu, tolong dengar saya sekali lagi, ya? Buka telinga Ibu lebar-lebar. Bayu itu tidak bersalah. Dia difitnah, bahkan ada yang ingin menyingkirkan Bayu," ujar pak Herman kalem tapi tegas."Pokoknya saya mau Naya sama suaminya itu bercerai. Masih banyak laki-laki lain yang lebih baik dari lelaki sampah itu.""Kalau masalah laki-laki, banyak, Bu! Banyak banget lelaki lain diluar sana. Cuma apakah dia ikhlas menerima anak Ibu yang berstatus janda alias bekas orang? Mereka mikir juga kenapa Naya bercerai. Pasti ada yang salah dalam diri Naya," ujar pak Herman lembut tapi menusuk ke tulang."Banyak yang mau menikahi anak saya. Anda jangan memandang remeh seorang janda!" Ibu belum jera juga.Padahal baru beberapa bulan yang lalu beliau ditipu pak Bakri yang mengatakan dia pengusaha kaya dan ternyata bandar."Apa
"Aku mau membawa pulang calon adik iparku, Pak. Kalau bukan karena itu, di bayar berapapun, aku tidak akan mau menginjak rumah bedebah ini. Najis." "Memang rumah ini najis untuk manusia sepertimu. Makanya kamu pulang saja karena Naya tidak akan ikut kalian. Dia akan ikut saya dan akan tinggal sama saya sampai melahirkan," ujar bu Widya penuh penekanan."Oh ... sudah hamil kau, Naya? Akhirnya kau mengandung anak bangsat!" Hinaan dari Haris sangat menusuk ke dalam hatiku."Brengsek Kau. Aku tidak terima kau menghina anakku, darah dagingku!"Bugh.Sebuah tendangan mengenai ulu hati Haris membuat dia terhuyung dan membentur dinding. Haris berusaha membalas pukulanku tetapi tangan ini lebih dulu menghantam ke wajahnya."Bedebah kau." Aku melayangkan beberapa pukulan ke mulut Haris yang sangat lemes melebihi mulut perempuan.Aku tidak mau di remehkan apalagi diinjak-injak harga diri oleh lelaki yang jelas-jelas ingin menghancurkan hidupku.Bugh"Ini hinaan yang kau lontarkan untuk istri
Setelah kupikir-pikir, lebih baik aku resign saja dan pulang ke desa untuk membuka usaha rumah makan disana.Aku lebih suka membuka usaha sendiri. Hidupku lebih tenang dan aman. Naya sering ketakutan, seakan-seakan kemana pun dia pergi ada orang yang sedang mengintainya. Apalagi diperusahaan itu kita tidak tahu siapa lawandan siapa kawan. Mereka semua manis dimulut tetapi lain di hati."Pak, saya mau mengajukan surat pengunduran diri." ujarku saat menyodorkan surat pengunduran diri di kantor tadi pagi."Kenapa kamu berhenti? Susah payah kamu berjuang sampai ke titik saat ini, kamu malah mau melepaskannya. Apa gak kasian, Bay? Sia-sia perjuanganmu selama ini." Nasihat pak Herman ada beanrnya juga, tapi sampai kapan kami berdua akan dibayang-bayangi oleh rasa takut terhadap Andre dan Haris? Apa harus menunggu kami mati berdiri dia baru akan berhenti?"Itu semua demi keselamatan calon anak dan istri saya, Pak. Saat ini priotiras utama saya ya ... mereka berdua. Bukan takut sama mereka. T
"Kamu boleh membuka usaha apapun yang kamu inginkan, Bay. Bapak akan mendukungmu seratus persen," ucap pak Herman disaat aku mengutarakan keinginanku untuk membuka warung nasi padang dan usaha abon ikan. Naya sangat suka dengan abon ikan makanya dia sudah sangat mahir membuatnya."Iya, Pak. Nanti saya lihat-lihat dulu kondisi disana,""Warung makan kamu disini, bagaimana? Dilanjutkan atau kita stop aja dulu?" tanya pak Herman. Beliau bukan maksud terlalu mendikte, tetapi karena menganggap aku ini anaknya sendiri jadi tidak ingin anaknya menderita kerugian. Beliau tidak ingin kami melarat."Kita fokus satu-satu saja, soalnya kalau sudah selesai disana nanti baru saya kembangkan lagi yang disini." ujarku. "Bisa juga. Nanti kita kembangkan terus bisnis kalian. Lihat dulu bagaimana disana. Kalau masalah tempat kamu tidak usah khawatir. Sudah ada dan tinggal ditambah saja apa yang kurang. Bapak rasa gak ada yang perlu ditambah, karena rumah makannya baru saja lepas penyewanya. Sekarang ka
Akhirnya kami tiba juga di sebuah kota terpencil, jauh dari keramaian. Dari dulu aku sangat mengimpikan tinggal di pedesaan jauh dari hiruk pikuk perkotaan yang membuat pikiran jadi stress."Mas, aku lapar!" ujar Naya dengan wajah meringis menahan lapar. Jam sudah menunjukkan diangka dua siang. Pantas saja perut sudah keroncongan."Iya. Bentar lagi kita cari rumah makan, ya?" tanyaku seraya mengelus pucuk kepala sang bidadari hati ini.Keluar dari bandara, kami sudah di jemput mobil travel. Butuh waktu setengah jam dari bandara untuk sampai ke pusat kota.Sampai dipusat kota kami berdua beristirahat, mencari rumah makan Padang. Istriku sangat menyukai semua masakan yang tersedia di rumah makan padang. Selama hamil ini, nafsu makannya semakin hari semakin bertambah.Aku sangat senang melihat Naya makan begitu lahapnya. Sehingga nafsu makanku juga jadi naik. Tidak heran berat badannya juga semakin bertambah. Bagiku tidak mengapa yang penting istri dan calon anakku sehat selalu.Setelah
Hari ini kami berdua memulai hidup baru di desa. Diri ini jarang masuk kantor, hanya di waktu-waktu tertentu saja.Pagi ini setelah salat subuh aku berdua dengan Naya jalan-jalan mengelilingi desa dengan berjalan kaki. Sekalian olahraga dan juga sebagai perkenalan dengan warga sekitar."Mas, lihat rumah diujung sana!" ujar Naya seraya menunjukkan ke arah rumah minimalis bernuansa biru."Satu unit rumah itu dijual beserta sawahnya. Pasti sangat nyaman tinggal dipinggir sawah begini. Jauh dari keramaian, udaranya juga bersih. Gimana. Adek, berminat?" tanyaku saat kami sudah mendekati rumah itu."Menurut Mas?" Dia balik bertanya."Pengin, sih. Jika berkebun, tidak terlalu jauh dari rumah. Kalau udah lelah tinggal pulang, tiduran di rumah dan juga untuk salat pun tidak akan ketinggalan karena sawahnya bersebelahan dengan tempat tinggal kita." jawabku. Kami berdua berdiri di pintu gerbang rumah itu. Melihat-lihat kondisi dan lingkungan sekitar.Rumah berukuran minimalis terletak di antara
Akhirnya rumah tersebut berhasil kami beli dengan harga yang menurut aku termasuk murah. Bahagia rasanya karena keinginan untuk memiliki hunian di desa tercapai sudah.Lihat di sekeliling dan sejauh mata memandang, kita akan dimanjakan dengan pemandangan yang sangat menyejukkan mata. Padi yang menguning tersinari oleh mentari pagi menjadikannya bak permadani yang terhampar."Dari dulu Mas sangat suka bertani. Waktu di Sekolah Dasar sudah mulai menanam sayur di pekarangan rumah. Entah mengapa kecintaan Mas terhadap.pertanian melebihi apapun," ucapku di sela membersihkan rumput di halaman rumah yang akan kami tempati."Adek suka juga bertani, Mas. Rumah dengan halaman seluas ini, bagaimana jika kita buat kolam dan juga pelihara bebek. Berternak ayam juga. Adek sangat suka berternak. Membayangkan setiap hari panen telur bebek dan jika kita kehabisan uang belanja tinggal mancing di kolam atau potong ayam atau bebek. Ya kan, Mas." Ada-ada saja istriku, seorang Bayu pemilik pabrik kayu tid