Edo bersiul pelan sambil menyisir rambut jabriknya. Ia tersenyum di cermin, mengagumi ketampanannya, lalu menjentikkan jari saat merasa sudah sempurna.
“Lo emang ganteng, Do,” pujinya sambil tersenyum bangga. Pria itu melompati sofa untuk mengambil kunci mobil, lalu melompat lagi ke tempat semula seperti atlit parkur professional.
Plok. Plok.
Edo bertepuk tangan untuk dirinya sendiri, seakan ia adalah penonton yang terkagum-kagum. “Terima kasih, terima kasih,” katanya, sambil membungkukkan badan, kini berperan sebagai seorang atlit yang digemari banyak orang.
Namun, saat ia membuka pintu studio, hampir saja jantungnya berhenti berdetak. “ANJ*NG! S*ALAN! NGAPAIN LO DI SINI?!” bentak Edo ketika menemukan Putra duduk di depan studionya.
Putra menghela napas panjang sambil menghisap dalam-dalam rokok yang hampir habis. Di sekitar kakinya, beberapa puntung rokok berserakan bagai bunga yang ditabur di atas makam. Di sa
“Pak Bara beneran mau resign?” tanya Dianty, staff admin berusia 22 tahun.Gosip itu menyebar dalam sekedipan mata.Setelah cuti hampir 3 minggu lamanya, tiba-tiba saja Bara kembali dengan surat pengunduran diri yang mengguncang semua orang.“Apa dia keterima di law firm yang lebih bagus?” tanya Feby, finance officer yang baru saja menikah dua bulan yang lalu. “Atau mau buka law firmnya sendiri?”Suasana pantry siang itu semurung mendung di luar gedung. Bekal makan siang yang sudah dibuka hanya diaduk tanpa selera. Kesedihan jelas terpancar dari wajah karyawan yang lain, terutama karyawan wanita yang sangat mengidolakan wajah tampan Bara.“Masa kamu nggak pernah dengar apa-apa sebelumnya, Ren?” Dianty beralih kepada Iren yang sejak tadi hanya menatap ketoprak pesanannya.Sebagai paralegal yang bekerja mendampingi Bara, Iren menjadi salah satu orang yang harus
“Saya minta maaf, Nilam.”Nilam menghela napas sambil melirik Leo yang asyik bermain dengan robot kesukaannya di kursi belakang.“Ini check up terakhir Leo, kan?”Nilam mengangguk. “Ya.”“Kalau begitu biar saya antar sekali ini lagi saja.”Pandangan Nilam terpaku ke atas dashboard mobil di hadapanya. Entah bagaimana, rasanya mobil itu tak lagi terasa asing. Mungkin waktu sudah membuat jarak penilaiannya sedikit kabur.“Terima kasih, Mas Putra.”Putra tersenyum tipis. Ia juga berkali-kali melirik Leo dari kaca spion. Tanpa terasa, sekarang tawa Leo sudah menjadi bagian dari kesunyian yang selama ini pria itu lewati. Bahkan, ia tak lagi terkejut melihat satu atau dua mainan Leo yang tertinggal di mobil. Kehidupan abu-abu pria 27 tahun itu jelas ikut berubah sejak kedatangan Leo dan Nilam.Dan ia pasti merindukan warna berbeda yang mereka bawa.&ldquo
Beberapa saat yang lalu.“Dokter Cindy?”Langkah Cindy terhenti seketika.“Dokter Kinan.” Cindy tersenyum manis saat melihat seniornya. Berbeda dengan senyuman sedih di wajah Kinan. “Saya dari tadi cari Dokter.”“Ah, males sebenarnya saya ketemu kamu.”Cindy tersenyum melihat rajukkan seniornya. “Maaf ya, Dok.”Kinan melipat tangan di dada. “Kenapa sampai harus resign sih?”“Kan aku mau ikuti jejak Dokter Kinan dan Dokter Andra.” Cindy menatap cincin berlian yang melingkari tangan Kinan. Kisah Kinan dan Andra memang menjadi kisah romansa terfavorit di rumah sakit mereka. Keduanya adalah dokter muda yang rupawan dan baik hati. Pernikahan mereka yang dramatis membuat semua orang di rumah sakit ikut merasa begitu bahagia.“Kalau kamu mau ikut jejak saya, ya cari suami dokter. Bukan suami pengacara,” gerutu Kinan, masih dengan n
Kardus-kardus menumpuk di depan rumah dinas Bara.Edo menghisap dalam-dalam rokoknya sambil memejamkan mata. Beberapa puntung rokok yang mati berserakkan di sekitar kakinya, dan satu lagi tambahan setelah Edo menghisap rokoknya sampai habis. Ia melemparkan rokok itu, lalu menginjaknya hingga mati.Masih belum terurai, Edo mencari batang rokok yang lain. Berharap kali ini, penat dalam benaknya akan sedikit memudar. Namun, saat ia tidak menemukan batang lain di bungkus rokoknya, ia memaki keras. “B*ngsat!”Edo menendang kerikil dengan ujung sepatu, lalu memungut puntung rokok yang sudah diinjaknya —yang masih cukup panjang— sebelum menyalakannya kembali. Ia tertawa sinis saat menyadari penampilannya pasti seperti penampilan Putra yang terjaga semalaman di depan studionya beberapa waktu yang lalu.Bahkan mungkin, meski ia sudah menghisap seluruh rokok di muka bumi, kusut dalam kepalanya takkan pernah menghilang.Bruk.Fa
Putra : ‘Gue akan nikahi Nilam.’Tidak perlu menunggu lama untuk mendapat jawaban dari pesan yang dikirimnya beberapa saat yang lalu. Putra menghisap dalam-dalam rokok yang terselip di antara jarinya, lalu terkekeh sinis saat melihat nama Bara yang mencoba menghubunginya berkali-kali.Jika ia tau semudah itu memancing Bara keluar dari persembunyiannya, mungkin ia sudah melakukannya sejak dulu.Putra membiarkan teleponnya berdering sedikit lebih lama, meski sebentar, ia ingin pria itu merasakan kegelisahaan yang selama ini mereka rasakan saat mencari keberadaannya.“Apa maksud lo, bangs*t?!” bentakkan itu muncul saat akhirnya Putra menjawab telepon.Senyum sinis Putra melengkung tipis. “Lo nggak bisa baca?”“Jangan main-main, Putra!” geram pria di seberang telepon, yang membuat kekeh Putra terlontar begitu saja.“Gue nggak ma
Beberapa saat yang lalu.Malam semakin larut saat akhirnya Cindy melepas sarung tangan lateks dan maskernya. Ia mengambil air mineral di kulkas ruang perawat, lalu meletakkan uang pecahan 20.000 di dalam kotak yang terbuat dari kardus bekas, tanpa repot-repot mengambil kembalian.Langkah lelahnya membawa ke luar ruang IGD. Akhirnya, setelah sesorean ini ia harus membantu timnya menghadapi keadaan genting karena tumpukan pasien korban kebakaran rusun, sekarang ia bisa kembali menghirup udara segar tanpa aroma darah atau alkohol.Cindy memejamkan mata sambil memijat tengkuk yang pegal. Rata-rata pasien yang masuk mengalami luka bakar, tapi ada satu orag pria tua yang masuk karena serangan jantung, dan dua orang balita yang tidak sadarkan diri karena keracunan asap.Suara sirine ambulans sudah lama berhenti, tapi suara itu masih terus terngiang-ngiang di telinga Cindy. Ia menghela napas panjang, lalu mendongak menatap langit. Lengannya tersemat
“Halo? GImana?!” tanya Putra tanpa basa-basi.“Nggak ada di sini.” Fadlan yang menjawab. Ia menatap Edo yang mengelilingi bagian luar rumah, sedangkan ia baru saja memeriksa bagian dalam rumah yang terkunci. Tidak ada tanda-tanda kedatangan Leo atau siapa pun ke rumah itu. Lampu depannya padam, dan pagarnya masih terkunci saat mereka datang. Ibu pemilik warung di depan rumah Bara juga mengaku tidak melihat siapa pun yang datang.“S*al.” Putra mengepalkan tangannya. Ia menatap langit yang semakin kelam.“Gue sama Edo akan jalan dari sini ke mall, kalau Leo benar-benar ke rumah Bara jalan kaki, kami pasti ketemu di jalan.”“Oke. Jangan lengah.”“Oke.”Saat sambungan teleponnya terputus, Putra menoleh kepada Nilam yang sudah menunggu kabar dari Fadlan dan Edo. Ia menggeleng dengan berat hati. “Leo nggak ada di rumah Bara.”Nilam
Ini bukan kali pertama Bara mencari orang hilang.Ia pernah mencari seorang anak berusia 8 tahun yang hilang di kantor pengacara karena tidak terima dengan perceraian kedua orang tuanya. Lalu, ia juga pernah mencari seorang pemuda 16 tahun yang kabur saat orang tuanya berkonsultasi atas kasus kepemilikan n*rkoba. Terakhir, Bara dan timnya harus mencari wanita 19 tahun yang baru saja menabrak ibu hamil hingga meninggal.Dan mereka semua selalu ditemukan, dalam keadaan baik-baik saja.Namun, ini adalah kali pertama Bara mencari seseorang dengan luapan kecemasan yang begitu tinggi. Seluruh prosedur sistematis yang sudah ia pelajari berkali-kali, menguap seketika. Ketenangan dan pikiran jernih adalah hal paling utama yang dibutuhkan saat melakukan pencarian seseorang, tapi justru dua hal itu lah yang tidak bisa Bara miliki sekarang.Rasa cemas dan khawatir membuat penilaiannya kabur. Belum lagi sengatan nyeri yang berkali-kali muncul dari luka yang dibuat ole