Three Times Coffee ramai pengunjung sejak sore menyapa. Harum kopi menyeruak di antara wangi kue yang terpampang pada etalase. Seorang bariste sedang sibuk membuat kopi double espresso pesanan seorang pelanggan, lelaki berwajah bersih yang duduk di sudut dekat jendela sambil memainkan hand phone. Senyum simpatiknya mengembang tatkala bariste tiba mengantar pesanannya.
"Double espresso dan dua ginger cake." "Terima kasih." Mata bariste muda itu mengerjab. Bahkan suaranya pun begitu memanah hingga muka sang bariste memerah merona. Tak ada yang kurang dari penampilan lelaki itu. Sementara sang bariste muda mencuri pandang pada lelaki tersebut di antara kesibukannya, lelaki itu sibuk berselancar. Ada nama Didit Laksana di sana.*** "Selamat pagi, darling. Weekend kamu dahsyat?"Suara ceria Sarita menyapa Lisa lewat telepon kantor. Gadis itu sedang menyiapkan berkBariste: seorang barista perempuan. Remembering MRB, You can never be a witness for my first book, but I truly thank you for your kindness and support for the last years of your life. You'll always be missed 😥 💔 Rizka1seven
Sebuah suara memanggil, memotong percakapan antara Bara dan Lisa. Gadis itu menoleh dan sang pemilik wajah simpatik tersenyum seraya mendekat. Lisa terpaku memandangnya tanpa kata hingga melupakan Bara yang bingung harus bagaimana. "Dipanaskan, ya. Nanti tolong diantar ke meja di pojok sana. Kamu mau kopi apa, Lisa? Atau lemon tea?" Lisa menggeleng, "Tidak, terima kasih. Aku harus buru-buru pulang membawa kue itu. Bara, enggak perlu dipanaskan." Ujar Lisa gugup, sedang Bara semakin bingung. "Kalau begitu, maukah kamu menemani aku sebentar saja. Aku menantikan kamu sore ini untuk bertemu di sini." "Aku…tidak bisa karena ada janji. Maaf." "Kemana? Aku bisa mengantarkan kamu." Bara menyerahkan tas berisi kue kepada Lisa dan berlalu, sementara gadis itu masih gugup karena tak m
Di atas sofa, keduanya bergumul dalam satu nafas. Didit memeluk Lisa yang berbaring. Terasa darah menggelegak memanas hingga keringat bercucuran. Mereka larut dalam gairah malam itu, ingin melepaskan penat yang mendera. Lisa sendiri tak bisa menolak keinginan hati yang merenggut segala dinding pertahanan. Namun secara tiba-tiba Didit berhenti, sambil mengepalkan tangan, matanya menutup dan rahangnya mengeras, berusaha menahan gejolak. "Lisa…," Suara Didit berbisik pelan, sambil mengatur nafas, "lebih baik kamu pulang."Lelaki itu bangkit dan duduk di sofa. Kedua siku lengan bertumpu pada paha selagi tangannya memegangi kepala. "Didit…" "Maafkan aku, Lisa. Pulanglah." Lisa terpaku tanpa kata. Beberapa menit keheningan dalam ruang itu terasa semakin mendingin, hanya ada keduanya duduk di sofa, mematung dalam pikiran mas
Beberapa kali Sarita mengajaknya ngopi bareng, namun Lisa menolak. Bukan apa-apa, akhir pekan ini brand baru akan launching di salah satu mal dan Lisa sibuk mempersiapkan acara tersebut. Namun di balik itu juga Lisa lebih suka menghindari pertanyaan dari Sarita seputar dirinya dan Didit. Ia pun tidak ke rumah kekasihnya sejak kejadian pada hari Senin, dengan alasan sibuk persiapan launching, padahal Lisa enggan menemui. Semua itu dikarenakan foto yang dikirimkan kepadanya. Foto dari Rio memperlihatkan sosok Didit saat remaja dengan wajah babak belur tertawa lebar sambil menodongkan sebuah pistol ke arah kamera. Ia tidak sendiri, melainkan bersama tiga orang temannya yang juga tertawa-tawa. Persiapan launching pada malam Sabtu di sebuah mal disiarkan langsung pukul delapan malam oleh salah satu stasiun televisi. Sejak siang Lisa sudah sibuk di mal mempersiapkan produk yang akan dipromosikan di acara tersebut.
Dan kini, Lisa berada di dalam kamar lelaki itu. Kamar tersebut hampir dua kali luas kamar miliknya. Berada di sisi kanan ruang tengah, ia melihat hampir ada kemiripan dengan tata letak di kamarnya sendiri. Yang membedakan, di dalam kamar Didit terdapat dua pintu, satu kamar mandi dan satunya lagi lemari. Lemari ini lebih mirip ruangan khusus penyimpanan dengan cermin besar di depan deretan barang-barang yang tersusun rapi menurut jenisnya. Gadis itu takjub melihat isi lemari tersebut. Pertama ia melihat deretan sepatu dalam lemari berpintu kaca, lalu berikutnya adalah susunan tas digantung teratur. Terakhir, susunan pakaian mulai dari kemeja, kaos dan celana disusun terpisah, sedang jas digantung rapi dalam kantong laundry. Dibawah lemari terdapat laci-laci yang ia duga menyimpan kaus kaki atau asesoris lain seperti dasi. "Amazing…" Desis Lisa. Bahkan dirinya tidak terpikir memiliki lemari sekeren ini.&
Lisa telah berada di sebuah taman luas penuh bunga. Semerbak wangi bunga gardenia terbawa semilir angin, menyebarkan aroma wewangian sepanjang Lisa menyusuri jalan setapak melewati rimbunan bunga. Tiba-tiba suara yang sangat dikenalnya memanggil. Didit telah berada di depan pintu. Ia tersenyum dan melambaikan ke arah Didit. Tanpa disadari, dirinya telah berada di pinggir tebing yang curam. “Lisa!” Didit mengejar, tapi terlambat. Kaki Lisa ditarik oleh tangan yang tiba-tiba muncul dari bawah tebing, menyebabkan tubuhnya terjatuh ke jurang yang dalam dan panjang...*** Lisa membuka mata. Tatapannya panik, kaget oleh mimpinya sendiri. Nafasnya memburu seiring detak jantung yang bergerak lebih kencang. Lisa meraih android dari atas nakas. Pukul lima pagi. Lisa mengatur nafas. Ditatapnya jendela yang berada di sisi kiri tempat ia tidur. Cahaya
Lisa menelan ludah. Air matanya mengambang. Oh, Didit… Demi apa hingga ia sendiri tanpa disadari larut dalam kesedihan dan luka lelaki itu? "Bagaimana dengan Mama Gita?" Didit menghela nafas,”Sejak rumor itu beredar, Mama Gita tak ingin menemuiku lagi. Aku tak bisa menghubunginya dan Gita. Terakhir kudengar beliau pindah ke Australia." "Aku merasa Gita adalah cinta pertamamu." Didit tersenyum tipis sambil menggeleng. "Gita adalah gadis pertama yang menciumku. Waktu itu kami hanya berdua di ruang rawat, saling berpegangan tangan erat. Dia mengatakan sangat takut. Aku mencoba menenangkan dan entah angin apa yang menuntunku untuk menciumnya. Gita menangis, mengucapkan terima kasih. Aku ikut menangis entah untuk apa. Sayangnya, Gita bukan cinta pertamaku. Mungkin terdengar gila
Seketika otak Lisa membeku, tak bisa berpikir apapun kecuali satu kata spontan yang telah keluar dari mulutnya sejenak setelah mendengar apa yang barusan dikatakan Didit. Antara percaya dan tidak, beberapa detik semua kata menghilang. Didit mengangguk, lalu, "Aku sudah bertemu bapak dan ibu kamu sebelum kencan kita yang kedua. Saat kuutarakan maksudku, ibumu menangis dan bertanya, apakah kamu hamil. Ibumu sangat mudah panik dan menangis dan menelepon kakak lelaki kamu, Mas Setya. Aku jelaskan bahwa kamu baik-baik saja, tak ada yang hamil dan tak terjadi apa-apa di antara kita." Lisa mengangkat tangannya sebagai tanda agar Didit berhenti bicara. "Kamu ke rumah orang tuaku? Are you insane?" "Tidak. Aku memikirkan semuanya, Lisa." Lisa bangkit dari duduk, berdiri gelisah sambil memegang
'Hei, Lisa. Aku merindukanmu.'Lisa tercenung menatap pesan dari Rio. Perlukah dirinya membalas pesan itu? Apa yang akan ia katakan? Hei, Rio. Aku tak merindukanmu. Atau, Hei, Rio. Jangan hubungi aku lagi. Oh. Ia takkan menulis itu. Rio tetaplah lelaki yang pernah menghiasi relung hati dan selalu ada pada awal ia bekerja di perusahaan sekarang, sering memberi tahu cara kerja mereka dan tak bisa ia lupa betapa hangat sikap lelaki itu. Ia masih tetap baik di mata Lisa. "Lisa, kamu sudah siap?" Suara Didit terdengar dari balik pintu kamar. Sore telah menjamah waktu tanpa terasa, dan mereka berencana akan ke Three Times Coffee. Pada sabtu malam, kafe itu ramai oleh pengunjung, karena gedung perkantoran tempat Three Times Coffee bersebelahan dengan mal. Lisa membuka pintu. Di luar, lelaki itu telah menunggu. Ia tersenyum melihat pakaian Lisa yang begit