“Jadi begini kerjaan Nyonya David Ardian setiap harinya? Pantas aja kamu betah,” ucap seorang wanita berambut pirang yang sebagian besar wajahnya tertutup masker. “Ka-kamu siapa?”"Sombong sekarang kamu, ya, mentang-mentang udah jadi istri orang kaya."Zahra beringsut mundur. Ia teringat pada sosok wanita yang dulu pernah tiba-tiba masuk rumahnya yaitu Marta. Tapi jika dilihat-lihat postur tubuh keduanya berbeda. Meski hanya bertemu satu kali, Zahra ingat betul jika tubuh Marta lebih langsing dan lebih tinggi dari wanita di depannya."Sudah cukup kamu menikmati apa yang seharusnya bukan menjadi hakmu!" ucap Wanita itu seraya menurunkan maskernya."M-Mbak Andin? Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?""Zahra, Zahra kamu masih aja jadi gadis bodoh kayak dulu." Andin tertawa mengejek."Wati! Wati kamu di mana?" teriak Zahra. Wanita itu baru saja berpamitan untuk menyapu di halaman samping.
Zahra masih memejamkan mata saat tubuhnya terasa melayang di udara. Meski hatinya sudah sedikit tenang tapi ia masih tak yakin jika dirinya telah selamat. Lamat-lamat orang berbicara terdengar bersamaan dengan suara wanita menjerit tak begitu jelas tertangkap telinga. Beberapa saat kemudian ia merasakan orang yang membawanya seperti menaiki tangga hingga telinga menangkap suara knop pintu dibuka.“Kamu aman, Sayang.”Zahra memberanikan diri membuka mata mendengar suara barusan. Ya, itu suara David, suaminya.“Ini aku, Sayang,” ujar David setelah menurunkan Zahra di atas ranjang.Air mata Zahra mulai menitik saat ia melihat wajah David tengah tersenyum padanya.“Aku takut, Mas! Mbak Andin sudah gil4, Johan juga, semua sudah gil4!” racau Zahra.“Sst... semua sudah selesai, Sayang, kamu aman.”David meraih tubuh istrinya yang kembali bergetar. Ia tahu bagaimana perasaannya saat ini karena
Seminggu berlalu, kini kondisi Zahra sudah berangsur kondusif. Tiga hari yang lalu Wati sudah keluar dari rumah sakit namun langsung dijemput keluarganya untuk pulang dan menjalani masa pemulihan di rumahnya. Wati diberi cuti tak terbatas waktu hingga wanita itu benar-benar siap untuk kembali bekerja dan tentu saja dengan bayaran tetap setiap bulannya ditambah bonus yang dijanjikan oleh David. Semenjak Wati pulang kampung Zahra memilih menghandel semua urusan rumah termasuk mengasuh Mora sendiri karena ia enggan diberi asisten rumah tangga baru. Lagi pula Zahra masih butuh ketenangan untuk menyembuhkan trauma dihatinya. Dengan banyak menyibukkan diri Zahra bisa sedikit mengurasi rasa takut yang selalu menghantuinya.“Apa Mbak Andin akan dipenjara lama?” tanya Zahra setelah menidurkan Mora. “Em ... mungkin.” David menutup laptopnya.Sudah beberapa hari ini David tak pernah datang ke kantor dan mengerjakan semua pekerjaannya d
Zahra melirik pada semua yang kini duduk di sofa ruang tamunya. Setengah jam yang lalu Ibu, Bapak serta orang tua Johan datang bersamaan. Bukan mendadak sebenarnya karena mereka sudah memberitahu sehari sebelumnya. Keempatnya datang bersama Dila sebagai penunjuk jalan sekaligus memenuhi undangan Zahra yang sangat rindu dengan sahabatnya itu.“Tolong maafkan Johan, Nak. Semua ini dia lakukan semata karena Johan sangat mencintaimu.”Zahra menatap nanar lelaki tua dihadapannya. Sesekali ia menunduk dan semakin mengeratkan pegangan tangannya pada David. “Benar, Nak. Tolong cabut laporan kalian. Kami berjanji tak akan membiarkan dia mengganggu hidupmu lagi,” timpal wanita bergamis ungu yang sedari tadi tak berhenti mengeluarkan air mata.Zahra terdiam, bukan sekali dua kali ia melihat Pak Safar dan Bu Rinah—orang tua Johan. Sejak kecil Zahra sudah sering bertemu atau sekedar berpapasan di jalan. Meski mereka tinggal di desa yang b
“Rumahmu, Ra, kayak istana. Pantes aja Mbak Andin muring-muring saat Mas David milih kamu,” ujar Dila sembari terus melayangkan pandangan ke seluruh sudut rumah.“Rumahnya Mas David, bukan punyaku,” jawab Zahra santai.“Tapi kamu istrinya, harta suami milik istri juga, kan?”“Rumah ini dibeli jauh sebelum aku dan Mas David menikah, jadi ini mutlak milik Mas David.”“Halah, terserah kamu lah! Susah ngomong sama kamu!”Zahra terkekeh. Ternyata ada hal yang membahagiakan dibalik musibah yang menimpanya. Andai saja Mbak Andin dan Johan tak masuk penjara, tak mungkin orang tuanya datang menjenguknya. Dan yang lebih membuat Zahra senang, ia jadi bisa bertemu Dila di rumahnya sendiri. Ia pun jadi tahu jika Dila masih mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga Johan.Setelah berbincang dengan Ibunya tadi, kini giliran Zahra mengobrol empat mata dengan Dila. Hari memang sudah hampir jam sebelas malam tapi ked
“Ampun, Bu. Andin menyesal, maafin Andin, Bu!”Andin menunduk menyembunyikan wajah sembabnya. Bahunya naik turun dan sesekali terdengar suara sesenggukan dari wanita itu.“Kenapa harus seperti ini, Nduk? Apa kamu enggak kasihan sama ibu? Kamu enggak kasihan sama adikmu? Apa salah Zahra sampai kamu berbuat seperti ini?”Tangis Bu Sumi pecah, sungguh ia tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Hatinya terasa remuk saat melihat kondisi anak sulungnya yang biasanya berpenampilan cantik kini mengenakan kaos seragam tahanan. Wajah kusut serta rambut awut-awutan yang diikat asal membuat kondisi Andin begitu mengenaskan.“Maafin Andin, Bu. Aku salah, aku khilaf, aku menyesal, Bu. Tolong bujuk Zahra untuk bebasin aku, Bu. Andin janji setelah ini enggak akan mengganggu hubungan Zahra dengan Mas David. Aku sudah ikhlas, Bu. Aku pun sudah ikhlas anakku menjadi anak Zahra dan aku enggak akan mengungkitnya sampai kapan pun.”“Sudah terlambat, Nak. Percuma saja kamu menyesal, karena nyatanya kamu bisa
“Terima kasih sudah mau menerima kami di sini, Nak. Atas nama keluarga, kami minta maaf atas semua yang telah anak kami lakukan. Kami sudah ikhlas dengan keadaan Johan saat ini. Kami tahu dia bersalah dan kini sedang menerima ganjarannya. Tolong maafkan Johan, Nak Zahra. Setelah ini dan seterusnya kami pastikan dia tak akan menganggu hidupmu lagi. Semoga kamu selalu bahagia, Nak.”Zahra hanya mengangguk saat wanita bergamis bunga-bunga di depan menyalaminya lalu memeluknya sekilas. Tak banyak hal yang mereka bicarakan setelah wanita itu pulang menjenguk Johan di rutan. Berbeda dengan saat datang, kini Bu Rinah maupun Pak Sarip lebih terlihat tenang.Hari ini Pak Sarip serta Pak Sapar dan istrinya sudah berniat untuk pulang. Berbeda dengan Pak Sapar yang sudah terlihat tenang, kondisi Pak Sarip malah semakin tak jelas. Lelaki itu kini lebih banyak diam dan terlihat tak bersemangat. Bahkan ia yang awalnya melarang istrinya tinggal lebih lama di rumah Zahra
“Mas, aku telat 2 minggu.”“Telat?”David masih berpikir. Ia belum terlalu paham dengan arah pembicaraan Zahra hingga istrinya meletakkan sebuah benda kecil di genggaman tangannya.Sejenak ia memperhatikan benda pipih berwarna putih dengan 2 garis merah tertera di sana. David beralih menatap Zahra kemudian benda itu bergantian. Seketika ada euforia yang membuncah di dadanya namun ia belum bisa mengekspresikannya.“Ini beneran? Kamu ha-mil?”“M-Mungkin,” jawab Zahra ragu.Sedetik kemudian David sudah membawa Zahra ke dalam pelukannya. Diciumi wajah istrinya bertubi-tubi seraya terus mengucap syukur dalam hati.“Terima kasih, Sayang,” bisik David.Akhirnya apa yang ia impikan terwujud. Meski ini bukan anak pertamanya karena ada Mora sebelumnya. Namun kali ini pertama kalinya ia akan menjadi seorang ayah yang sesungguhnya yang bisa menemani dan memantau tumbuh kembang calon anaknya mul