“Rumahmu, Ra, kayak istana. Pantes aja Mbak Andin muring-muring saat Mas David milih kamu,” ujar Dila sembari terus melayangkan pandangan ke seluruh sudut rumah.
“Rumahnya Mas David, bukan punyaku,” jawab Zahra santai.“Tapi kamu istrinya, harta suami milik istri juga, kan?”“Rumah ini dibeli jauh sebelum aku dan Mas David menikah, jadi ini mutlak milik Mas David.”“Halah, terserah kamu lah! Susah ngomong sama kamu!”Zahra terkekeh. Ternyata ada hal yang membahagiakan dibalik musibah yang menimpanya. Andai saja Mbak Andin dan Johan tak masuk penjara, tak mungkin orang tuanya datang menjenguknya. Dan yang lebih membuat Zahra senang, ia jadi bisa bertemu Dila di rumahnya sendiri. Ia pun jadi tahu jika Dila masih mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga Johan.Setelah berbincang dengan Ibunya tadi, kini giliran Zahra mengobrol empat mata dengan Dila. Hari memang sudah hampir jam sebelas malam tapi ked“Ampun, Bu. Andin menyesal, maafin Andin, Bu!”Andin menunduk menyembunyikan wajah sembabnya. Bahunya naik turun dan sesekali terdengar suara sesenggukan dari wanita itu.“Kenapa harus seperti ini, Nduk? Apa kamu enggak kasihan sama ibu? Kamu enggak kasihan sama adikmu? Apa salah Zahra sampai kamu berbuat seperti ini?”Tangis Bu Sumi pecah, sungguh ia tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Hatinya terasa remuk saat melihat kondisi anak sulungnya yang biasanya berpenampilan cantik kini mengenakan kaos seragam tahanan. Wajah kusut serta rambut awut-awutan yang diikat asal membuat kondisi Andin begitu mengenaskan.“Maafin Andin, Bu. Aku salah, aku khilaf, aku menyesal, Bu. Tolong bujuk Zahra untuk bebasin aku, Bu. Andin janji setelah ini enggak akan mengganggu hubungan Zahra dengan Mas David. Aku sudah ikhlas, Bu. Aku pun sudah ikhlas anakku menjadi anak Zahra dan aku enggak akan mengungkitnya sampai kapan pun.”“Sudah terlambat, Nak. Percuma saja kamu menyesal, karena nyatanya kamu bisa
“Terima kasih sudah mau menerima kami di sini, Nak. Atas nama keluarga, kami minta maaf atas semua yang telah anak kami lakukan. Kami sudah ikhlas dengan keadaan Johan saat ini. Kami tahu dia bersalah dan kini sedang menerima ganjarannya. Tolong maafkan Johan, Nak Zahra. Setelah ini dan seterusnya kami pastikan dia tak akan menganggu hidupmu lagi. Semoga kamu selalu bahagia, Nak.”Zahra hanya mengangguk saat wanita bergamis bunga-bunga di depan menyalaminya lalu memeluknya sekilas. Tak banyak hal yang mereka bicarakan setelah wanita itu pulang menjenguk Johan di rutan. Berbeda dengan saat datang, kini Bu Rinah maupun Pak Sarip lebih terlihat tenang.Hari ini Pak Sarip serta Pak Sapar dan istrinya sudah berniat untuk pulang. Berbeda dengan Pak Sapar yang sudah terlihat tenang, kondisi Pak Sarip malah semakin tak jelas. Lelaki itu kini lebih banyak diam dan terlihat tak bersemangat. Bahkan ia yang awalnya melarang istrinya tinggal lebih lama di rumah Zahra
“Mas, aku telat 2 minggu.”“Telat?”David masih berpikir. Ia belum terlalu paham dengan arah pembicaraan Zahra hingga istrinya meletakkan sebuah benda kecil di genggaman tangannya.Sejenak ia memperhatikan benda pipih berwarna putih dengan 2 garis merah tertera di sana. David beralih menatap Zahra kemudian benda itu bergantian. Seketika ada euforia yang membuncah di dadanya namun ia belum bisa mengekspresikannya.“Ini beneran? Kamu ha-mil?”“M-Mungkin,” jawab Zahra ragu.Sedetik kemudian David sudah membawa Zahra ke dalam pelukannya. Diciumi wajah istrinya bertubi-tubi seraya terus mengucap syukur dalam hati.“Terima kasih, Sayang,” bisik David.Akhirnya apa yang ia impikan terwujud. Meski ini bukan anak pertamanya karena ada Mora sebelumnya. Namun kali ini pertama kalinya ia akan menjadi seorang ayah yang sesungguhnya yang bisa menemani dan memantau tumbuh kembang calon anaknya mul
“Mas bisa pegang Mora sebentar, aku mau siap-siap.”Zahra menyerahkan Mora pada David. Bayi itu sudah cantik dengan setelan baju baby doll berwarna pink dipadukan dengan celana leging panjang berwarna putih. Dikepalanya dipasang bandana bunga yang membuat wajahnya terlihat menggemaskan.Hari ini Zahra dan David akan memenuhi janjinya untuk mengajak Bu Sumi dan Dila jalan-jalan. Selain itu mereka juga berniat membeli oleh-oleh untuk dibawa ke kampung.Zahra sedang memoles lipstik dibibirnya saat mendengar suara tangis Mora melengking keras. Tak membuang waktu, ia langsung berlari keluar menuju arah sumber suara. Bu Sumi dan Dila yang sedang berada di kamar pun ikut berlarian karena suara tangis Mora terdengar sangat kencang.“Mora kenapa, Mas?” tanya Zahra mengambil alih anak sambungnya.Ia menimang Mora sebentar agar tangisnya reda. Namun bukannya semakin tenang, tangisan Mora malah semakin menjadi dan betapa terk
“Dasar perempuan bia-d@b! Jadi ini alasan kamu tak pernah pulang?” Pak Sarip menampar keras wajah Zahra—anak bungsunya.“Ma-Maaf, Pak. Zahra bisa jelasin semuanya?” Zahra terus mendekap bayi berumur empat bulan dalam gendongannya.“Jelasin apa, hah? Jelasin kalo kamu hamil tapi enggak menikah? Katakan siapa Ayah dari bayi ini? Biar Bapak patahkan tulang-tulang lelaki itu!” Suara Pak Sarip terdengar menggelegar. Para tetangga kanan kiri rumah yang mendengar pun akhirnya berdatangan.“Sabar, Pak! Kita bisa bicara baik-baik. Kasihan Zahra, Pak. Dia pasti capek setelah perjalanan jauh.” Bu Sumi—istri Pak Sarip berusaha menenangkan suaminya.“Gimana mau sabar, Bu? Pulang merantau bukannya membanggakan orang tua malah bikin malu!” Bu Sumi menggiring anaknya ke dalam kamar sebelum suaminya bertindak lebih jauh. Belum genap dua tahun Zahra pergi dari kampung halaman untuk mengadu nasib di ibukota. Faktor ekonomi menjadi alasan bagi gadis yang saat itu baru lulus SMA agar bisa segera mengub
“Ih, hidungnya mirip Zahra, bibirnya juga,” ucap salah seorang tetangga yang kini tengah berkunjung ke rumah Pak Sarip.“Tapi wajahnya enggak mirip banget sama Zahra, mirip siapa, ya?” timpal yang lain.“Ya mirip Bapaknya lah, orang namanya bikin anak ya berdua. Lahirnya kalo enggak mirip Ibunya ya mirip Bapaknya. Iya enggak, Ra?” jawab Bu Seli yang juga ikut datang.Zahra hanya terdiam tak menanggapi omongan para tetangganya. Baginya percuma saja menjawab, toh ia tahu mereka datang untuk mencibirnya.Rumah Pak Sarip yang semula sepi karena selalu ditinggal bekerja di sawah kini menjadi ramai. Para sanak saudara dan tetangga berbondong-bondong datang untuk menengok bayi yang dibawa pulang Zahra. Banyak yang mencibir namun ada juga yang merasa kasihan dengan nasib Zahra.Zahra dan Bu Sumi pun tak bisa membendung niat para tetangganya. Keduanya tetap mempersilakan masuk sembari terus menguatkan hati untuk mendengarkan suara yang keluar dari mulut mereka.“Bubar-bubar! Ini bukan muyen.
Suasana rumah Pak Sarip mendadak terasa horor. Di dalam rumah, empat orang yang tinggal di dalamnya semuanya diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Pak Sarip dan Bu Sumi yang duduk berdampingan di ruang tengah pun hanya membisu. Mereka bingung sekaligus tak habis pikir dengan kelakuan dua anak gadisnya.“Jadi siapa yang benar, Pak? Bayi itu anak siapa?” Suara Bu Sumi terdengar bergetar.“Entah, Bu. Bapak jadi pusing. Kenapa anak-anak kita jadi begini ya, Bu? Bukankah dulu semua baik-baik saja,” ujar Pak Sarip.Di dalam kamar Zahra tengah sibuk dengan ponselnya. Berulang kali ia menghela nafas saat panggilannya selalu di abaikan. Sesekali ia melirik pada bayi yang kini tengah terlelap di ranjangnya. Terbesit rasa menyesal karena bayi itu tak hanya merepotkannya namun juga telah memecah belah keluarganya.Zahra merebahkan tubuhnya di samping Amora. Ia memejamkan mata berharap rasa lelahnya sedikit berkurang. Andai saja waktu bisa terulang kembali, ia tak ingin terlibat dalam masalah i
Empat bulan yang lalu ...Waktu sudah menunjuk jam sebelas lewat lima belas saat motor matic yang dikendarai Zahra sampai di depan rumah yang ia tempati bersama Kakaknya. Merantau di kota yang sama dengan saudara membuat hidupnya sedikit lebih mudah karena bisa mendompleng ini itu pada kakaknya.Tak ada hal aneh saat Zahra membuka pintu dengan kunci cadangan yang dimilikinya. Hal biasanya yang gadis itu lakukan setiap masuk kerja shift dua.“Mbak aku pulang,” teriak Zahra.Biasanya di jam seperti ini Andin sudah masuk kamar dan tak terlalu menghiraukan kepulangan adiknya.Meski katanya hanya kerja di toko roti, Andin bisa dibilang sangat sukses. Selain bisa membeli sawah dan merenovasi rumah, wanita itu juga bisa mencicil perumahan kelas menengah yang kini di tempatinya dengan Zahra. Tak hanya itu, semenjak Zahra datang, ia langsung membelikannya sepeda motor untuk menunjang transportasi adiknya.Setelah bersih-bersih, Zahra melangkah menuju dapur. Biasanya Andin sudah membeli sesuatu