*"Maaf, no comment ya."
Zeta menghentikan kunyahannya saat mendengar suara itu. Suara seseorang yang pernah singgah di hatinya.
Tapi itu dulu...
Dulu sekali, saat pertama kali Zeta mengenal apa itu cinta.
Sekarang, hanya mendengar nama pria itu saja, Zeta pasti sudah kegerahan.
*"Apakah Anda tidak akan kembali lagi dengan Rebecca Wiryawan?"
*"Bagaimana dengan pernyataan cinta Rebecca Wiryawan yang mengatakan masih mencintai Anda?"
*"Tidakkah Anda ingin kembali bersama dengan Mantan Istri Anda?"
*"Maaf, ada hal penting yang harus saya kerjakan. Terima kasih."
Zeta menatap senyum menawan yang keluar dari bibir pria itu, pria yang dikejar-kejar wartawan karena pernyataan cinta mantan istrinya beberapa hari yang lalu di depan media, Rebecca Wiryawan, yang adalah salah satu top model di negara ini.
Pria itu terlihat berjalan dengan gagahnya menuju sebuah mobil mewah. Pakaian formal yang dipakainya saat ini, membuat penampilan Andaru Ansel Bratadikara lebih dari kata sempurna. Apalagi wajahnya yang tampan luar biasa, yang selalu jadi perbincangan berbagai media.
*"Sepertinya jika dilihat dari reaksi Andaru Ansel Bratadikara, tidak akan ada kata rujuk di antara dirinya dan Rebecca Wiryawan. P__"
Klik!
Zeta segera mematikan televisinya, yang tadi menyiarkan acara infotainment, lalu melempar asal remote televisi itu ke atas sofa panjang yang saat ini dia duduki. Wajah wanita dua puluh tujuh tahun ini langsung terlihat masam. Tangannya segera sibuk menutup wadah beling berisi keripik kentang yang tadi dimakannya, lalu meletakkannya ke atas meja di depannya.
Zeta meraih ponselnya, lalu mulai berselancar di dunia maya. Tak berapa lama, Zeta sudah asyik membaca salah satu artikel yang entah mengapa menarik perhatiannya walaupun hatinya enggan.
*"Saya berharap kami dapat kembali seperti dulu. Apalagi Evan sudah mulai besar, dan sudah bertanya kenapa kami tidak tinggal bersama."
*Setelah bercerai lebih dari tiga tahun, Rebecca Wiryawan membuat pernyataan yang mengejutkan media. Wanita itu berharap dapat kembali bersama dengan Andaru Ansel Bratadikara, sang CEO stasiun televisi swasta LION TV.
*Tapi sepertinya keinginan itu tidak akan terjadi, mengingat Andaru selalu saja enggan membicarakan hubungannya dan Rebecca Wiryawan.
"Dasar sok ganteng! Dia gak mikirin anaknya kali ya?! Punya mantan istri secantik Rebecca bukannya bersyukur diajak balikan, malah sok jual mahal! Cowok brengsek gitu tuh, habis manis sepah dibuang!" omel Zeta seolah berbicara pada orang lain. Padahal di ruangan itu hanya ada dirinya sendiri. Wanita ini melempar asal ponselnya, yang langsung tergeletak tak jauh dari remote televisi yang sebelumnya dia lempar.
Wanita ini mengedarkan pandangan, sampai matanya berhenti pada sebuah foto. Bibirnya tersenyum kecut melihat fotonya sendiri yang sedang memakai seragam SMA. Pikirannya melayang pada kejadian hampir sepuluh tahun yang lalu, tepat saat dia berusia tujuh belas tahun.
Kejadian yang tak bisa dilupakannya sampai sekarang.
*Flashback On*
"A-apa? Pu-putus?" tanya seorang gadis dengan jantung berdetak kencang.
Seorang pemuda berusia delapan belas tahun menganggukkan kepala mantap. Wajahnya datar tanpa ekspresi apapun.
"Kenapa?"
"Aku kayaknya gak bisa lagi hubungan jarak jauh kayak gini."
"Tapi kamu dulu bilang kalau kita pasti sanggup jalanin ini semua!"
"Maaf..." Pemuda ini menunduk dalam, tanpa sanggup menatap layar ponselnya lagi yang saat ini sedang melangsungkan panggilan video dengan sang gadis.
"Hiks... Ka-kamu udah punya... pa-pacar baru di sana?" tanya sang gadis dengan suara bergetar.
Hening beberapa saat, sang gadis masih menatap pemuda yang betah menunduk itu lewat layar ponselnya.
"Maaf, Aya..."
Gadis yang dipanggil Aya oleh si pemuda mencoba menahan isakannya yang terus mencoba untuk keluar. Jawaban sang kekasih, bukan, calon mantan kekasihnya, membuat hatinya hancur berkeping-keping.
Jarak dan waktu yang mampu mereka lalui baru beberapa bulan ini ternyata hanya sampai di sini saja. Kesetiaan kekasihnya sepertinya sedang teruji. Dan ternyata, pemuda itu tergoda oleh cinta lain di sana, di negara orang tempat si pemuda menuntut ilmu.
Jalinan kasih yang berjalan dari sejak Aya duduk di bangku kelas satu SMA, sepertinya harus kandas saat ini juga. Padahal masih segar di ingatan, bagaimana kakak kelas beda satu tingkat dengannya itu menyatakan cinta. Pemuda itu malu-malu menyatakan cinta di perpustakaan sekolah mereka, karena mereka sering bertemu di sana sebelumnya, dan menimbulkan ketertarikan satu sama lain. Tapi kini, si pemuda pemalu itu malah membuatnya patah hati.
"Hiks... Ak-aku sekarang lagi ulang tahun yang ke tujuh belas... Dan... dan... hiks... ternyata aku... dapat kado terburuk... sepanjang hidup aku, Ansel..." ucap Aya terbata di sela isakannya yang tak bisa lagi ditahan gadis ini. Sementara itu, pemuda yang dipanggil Ansel masih tak mampu memperlihatkan wajahnya, karena masih betah menunduk.
"Kamu... yang yakinin aku kalau... kalau hubungan kita akan selamanya... tapi... hiks... kamu juga yang menghancurkan... keyakinan itu! Hiks... hiks... A-aku benci kamu... A-aku berharap... kita gak pernah ketemu lagi... hiks..." Aya berusaha menekan isakannya, lalu kembali bersuara. "Seperti yang... kamu mau... hubungan kita... cukup sampai di sini... Selamat tinggal, Ansel..." Setelah mengatakan hal itu, sang gadis langsung mematikan sambungan video-nya.
Gadis ini menangis sejadi-jadinya di dalam kamar, namun dengan menutup mulutnya dengan bantal agar keluarganya tak curiga.
"Kamu brengsek, Ansel! Aku benci kamu!! Hiks... Benci!!!" bisik Aya tajam di sela isakan yang terus lolos dari mulutnya.
Di dalam hati, Aya benar-benar berharap tidak akan bertemu lagi dengan Ansel... Andaru Ansel Bratadikara... Sang cinta pertama. Kekasih yang beberapa menit yang lalu berubah status menjadi mantan...
*Flashback Off*
"Mama!"
Zeta tersadar dari lamunan, lalu segera menghapus air mata yang dengan kurang ajarnya keluar setiap kali wanita ini mengingat kejadian di hari itu, saat terakhir kali dirinya berhubungan dengan Andaru. Ya, Andaru Ansel Bratadikara, pria yang tadi dilihatnya di layar televisi adalah mantan kekasih brengseknya. Pria pertama yang membuat Zeta merasakan apa itu jatuh cinta dan patah hati.
Zeta memasang senyum sumringah saat seorang bocah perempuan berlari ke arahnya. Wanita ini merentangkan tangan siap menyambut tubuh mungil itu, yang kini sudah ada di dalam pelukannya secepat kilat. Zeta mengusap sayang punggung bocah perempuan ini, lalu mencium puncak kepalanya sayang.
Sang bocah mengurai pelukannya, lalu langsung saja menyusupkan tubuhnya untuk masuk ke dalam pangkuan Zeta, dengan tubuh depan berhadapan dengan wanita ini.
Zeta masih memasang senyum lembut, lalu mengusap sayang rambut panjang bocah yang ada di pangkuannya ini.
"Misha tadi ke mana aja sama Ayah?"
"Akuh makan ayam gorreeeng besaar, Ma... Trus aku main lemparrr bolaa... Trus Ayah ajak akuh..."
Bocah perempuan ini terus saja bercerita kegiatannya hari ini bersama sang ayah. Zeta sesekali tertawa melihat ekspresi lucu yang dikeluarkan sang bocah saat bercerita.
Misha Purwadiningrat... Anaknya...
Zeta bersyukur atas kehadiran Misha di hidupnya. Anak yang saat ini berusia lima tahun itu, adalah cahaya di kehidupannya.
Walaupun Zeta sudah berpisah dengan Fahri Purwadinata, yang dua tahun yang lalu resmi bercerai dengannya, tapi Misha tak kekurangan kasih sayang dari mereka berdua selaku orangtua anak ini.
"Misha,ayah pulang ya."
Zeta langsung menggendong sang anak menuju ke arah seorang pria yang berjalan ke arah mereka.
Setelah mereka berhadapan, pria ini langsung mencium pipi Misha, lalu mengusap sayang puncak kepala sang anak. Pandangan pria ini beralih ke arah Zeta.
"Saya pulang ya."
"Iya, Mas Fahri. Hati-hati di jalan."
Sang pria menganggukkan kepala sambil tersenyum lembut, lalu berubah tersenyum geli saat pandangannya kembali ke arah sang anak yang sudah menempelkan kepalanya di ceruk leher Zeta. Mata sang anak sudah hampir menutup.
"Kayaknya dia capek banget," bisik Zeta yang ikut tersenyum geli, karena melihat mata Misha yang sebentar lagi benar-benar tertutup sempurna.
"Dia tidak berhenti main sejak siang tadi," balas Fahri mengingat kebersamaannya dengan sang anak seharian ini. Memang setelah berpisah dengan Zeta, Fahri selalu menyempatkan diri menghabiskan waktu dengan sang anak minimal dua kali dalam satu minggu, dan melakukan panggilan video setidaknya satu kali sehari. Sehingga membuat hubungannya dan sang anak berjalan sangat lancar walaupun tak tinggal satu rumah lagi.
Zeta dan Fahri ingin anak mereka tetap mendapatkan kasih sayang yang berlimpah walaupun mereka sudah tidak bersama.
"Ya sudah, saya pulang dulu ya," ucap Fahri kembali. Pria ini kembali mencium pipi anaknya, lalu setelah itu berbalik untuk pulang.
Zeta memperhatikan punggung mantan suaminya, lalu menghela napas berat. Pandangannya beralih ke arah wajah sang anak yang benar-benar sudah tertidur pulas.
Zeta mengusap sayang pipi sang anak. "Misha harus ingat, mama dan Ayah gak akan buat Misha jadi anak broken home, Sayang... Mama sayang banget sama Misha..." bisik Zeta lirih dengan mata berkaca-kaca. Wanita ini memeluk erat tubuh anaknya yang saat ini menggeliat, lalu mengecup puncak kepala sang anak. "Tidur nyenyak ya, Nak..."
***
Daru memijat pangkal hidungnya lelah. Pemberitaan tentang dirinya dan sang mantan istri masih terus ramai di media.Apa sih mau mantan istrinya itu?? Bukankah mereka sudah sepakat untuk berpisah? Mengapa malah bikin heboh khalayak luas?? Terlebih malah dirinya yang dicap jelek orang-orang karena tidak mau berkorban demi kebahagiaan anak mereka.Evan Rahadian Bratadikara... Anak lucunya yang berusia lima tahun itu.Bukannya Daru ingin egois, tapi untuk apa pernikahan dipertahankan jika tak ada cinta untuk Rebecca. Bukankah anaknya akan lebih kasihan lagi jika hidup di dalam kepura-puraan?"Papa!"Daru langsung menjauhkan tangannya dari pangkal hidung yang sejak tadi dipijatnya itu. Wajahnya sumringah saat sang jagoan menghampirinya dengan membawa mainan robot-robotan di tangannya."Hai, Boy!" Daru langsung menangkap tubuh mungil itu, lalu memangku anak tersaya
"Menunggu lama?""Ah tidak juga. Silahkan duduk.""Terima kasih."Daru langsung duduk di depan seorang pengacara sekaligus seniornya di salah satu kampus terkenal di Australia. Pria ini memperhatikan sekeliling cafe yang lumayan besar yang didatanginya saat ini. Hanya ada beberapa pengunjung yang sekedar memesan cake dan kopi."Cafe-nya bagus dan nyaman, Bang."Seniornya hanya memasang senyum kecil sebagai jawaban."Tapi apa selalu sesepi ini?""Kalau saat makan siang dan jam lima sore, biasanya akan kembali ramai."Daru ber-o ria sambil melihat arlojinya yang menunjukkan hampir pukul dua siang."Abang suka ke sini?""Hampir setiap hari."Daru bersiul, lalu memajukan tubuhnya ke arah sang kakak senior. "Ada yang Abang incer ya di sini?" tanya Daru me
Setelah jawaban ambigu Fahri, mereka berdua kembali berbincang hal lain, karena sepertinya Fahri tak nyaman dengan pembicaraan sebelumnya.Daru beberapa kali mencuri pandang ke arah wanita yang saat ini ada di meja kasir, wanita yang tadi mengantarkan Cappuccino buatannya yang memang enak luar biasa.Tak salah jika Fahri merekomendasikan Cappuccino buatan Zeta, karena Daru bisa langsung jatuh cinta pada varian kopi itu di sesapan pertama."Daru, sepertinya saya harus kembali ke kantor. Ada klien yang ingin bertemu setengah jam lagi.""Oh, oke Bang.""Kamu ingin pergi juga?""Saya... kayaknya saya di sini dulu deh. Cappuccino dan mille feuille-nya enak dan belum habis," ucap Daru sambil menunjuk pastry yang terkenal di Perancis itu.Fahri tertawa renyah, lalu beranjak dari duduknya. "Sudah saya bilang, Cappuccino buatan Zetaya memang
"Kak Zeta, besok aku datang siangan ya, soalnya jam 11 ada kelas. Aku lupa izin Kakak tadi.""Jadinya kamu shift siang?""Iya, Kak. Aku udah bilang Alana buat gantiin aku shift pagi.""Okay, gak pa-pa. Yang semangat ya ujiannya," ucap Zeta sambil menepuk pundak salah satu karyawan wanitanya itu."Makasih Kak Zeta cantik~""Tau aja kalau aku cantik. Hahaha..." Zeta dan sang karyawan tertawa seiring langkah kaki mereka keluar dari pintu cafe. Para karyawan lain di belakang Zeta pun ikut tertawa. Wanita dua puluh tujuh tahun ini memang terkenal humble sejak kecil. Di manapun berada, Zeta pasti langsung disukai banyak orang.Tawa Zeta luntur saat melihat seorang pria yang sejak siang betah nangkring di cafenya sampai cafe wanita berambut merah ini hampir tutup.Zeta pikir pria ini sudah pergi.Wanita ini menghentika
"Andaru!"Daru menghentikan langkah saat seseorang memanggilnya. Pria ini membalikkan tubuh sampai berhadapan dengan seseorang itu, namun dengan jarak yang tidak dekat."Kamu ke mana saja? Mama tadi ke kantor, dan kamu malah tidak ada!""Habis ketemu teman lama. Ada apa Mama ke kantor?""Lebih tepatnya mama dan Rebecca datang ke sana."Wajah Daru berubah datar mendengar nama mantan istrinya itu. "Becca? Untuk apa?""Mama mau ajak kalian makan malam.""Tolong berhenti, Ma. Ansel dan Becca tidak akan kembali bersam—""Setidaknya ingat anakmu!" potong sang mama.Mereka saling pandang beberapa saat, sampai akhirnya Daru menghela napas berat. "Ansel yakin Evan tidak akan kekurangan kasih sayang kalau itu yang Mama takutkan.""Kalau kalian kembali bersama, kasih sayang yang Ev
"Tutup?""Iya, Bu. Sudah lebih dari satu minggu yang lalu dia pulang kampung. Kalau pulang kampung suka lama, Bu, bisa satu bulan."Zeta menghela napas berat. "Tukang tambal ban lain di daerah sini gak ada lagi ya, Pak?""Ada, tapi jauh banget, di ujung jalan situ, ke depan lagi dan harus nyebrang."Zeta lagi-lagi menghela napas berat mendengar ucapan satpam yang berjaga di pos depan sekolah sang anak. Wanita ini mengalihkan pandangan ke arah Misha yang berdiri di sampingnya."Panas ya, Nak?" tanya Zeta lembut dengan sebelah tangan mengusap dahi sang anak yang sudah mengeluarkan keringat, sementara sebelah tangan lagi memegang grip stang motor matic putih kesayangannya."Enggak kok, Ma. Orang tambal bannya enggak ada ya?""Tutup, Sayang...""Mama Aya bannya kempes?"Tubuh Zeta menegang mendengar s
"Spaghetti Tante enaaakkkk!!!! Evvan suka!"Zeta tersenyum lebar saat mendengar teman anaknya menyukai spaghetti yang dia buat.Wanita ini mengusap sayang puncak kepala Evan. "Habisin ya.""Pasti, Tante!!"Zeta tertawa renyah, lalu pandangannya beralih ke arah sang anak yang duduk di sampingnya. "Misha mau susu?""Endak ah, Ma. Di rumah ajah nanti.""Oke, Sayang...""Bisa buatkan aku kopi seperti kemarin?"Zeta mengalihkan pandangan ke arah pria yang berada di samping Evan. Wanita ini menyandarkan punggungnya, lalu menaikkan sebelah alis sambil bersedekap. "Itu kan sudah ada di depan Anda, Papanya Evan." Zeta melirik kopi yang ada di depan mantannya itu."Tapi ini bukan buatan kamu.""Sama-sama cappucinno kok.""Rasanya beda, aku nggak suka. Aku nggak mau
"Mama, akuh mau lagi!!!""Habis itu, Evvan ya, Tante!!"Ucap dua bocah yang duduk berdampingan ini heboh."Iya-iya gantian ya."Daru tersenyum sumringah saat melihat dua malaikat cilik itu saling berebut meminta Zeta yang duduk di samping Misha menyuapi mereka. Zeta terlihat telaten dan sangat sabar menghadapi keceriwisan dua bocah yang sejak tadi bermain beragam jenis permainan di sini tanpa kenal lelah."Uhuk!""Hati-hati makannya, Evan... Minum dulu ya.""Ehm..."Setelah memberikan minum pada Evan yang tersedak makanan, Zeta mengalihkan pandangan ke arah pria yang sejak tadi duduk di depannya, karena mendengar suara yang keluar dari mulut Daru. Sejak mereka selesai memesan makanan di sebuah restoran cepat saji yang berada di area taman bermain yang mereka datangi, Daru tak pernah mengalihkan tatapannya dari w