Nayla terbangun. Dia berusaha membuka ketika menyadari ada lengan seseorang memeluknya dari belakang. Telapak tangan besar itu berada di depan perutnya yang buncit.Nayla mengingat kejadian malam tadi. Dia ingat sekarang, dia telah melakukan hubungan itu bersama Alvaro, kakak suaminya. Pipinya merona ketika dia sendiri yang secara terang-terangan memohon agar Alvaro tidak secepat itu menyudahinya. Entah mendapat keberanian dari mana dia mampu bersikap genit seperti itu. Padahal, sebelum dia tak pernah genit seperti itu, apalagi terhadap Alvin.Nayla perlahan menyingkirkan tangan Alvaro. Sinar matahari pagi seolah berdesakkan untuk masuk ke ruangan itu. Nayla bermaksud ingin membantu Mbok Asih membereskan dapur. Dia ingat semalam dia ingin membuat kue, tetapi Alvaro lebih dulu menggodanya di sana, sehingga berakhirlah kondisi dapur yang berantakan. Nayla hanya tidak ingin wanita itu menaruh curiga terhadap dirinya dan Alvaro yang tiba-tiba menghilang.Namun, belum sempat lengan berotot
Matanya yang tajam memicing sembari memastikan jika orang yang dia maksud tidak salah.Seorang wanita yang memiliki tawa khas. Tawa yang membuat wajahnya semakin cantik dengan dua lesung pipi di kanan kirinya.Wanita yang selalu menyambut kepulangannya di depan pintu dengan wajah yang semringah. Setelahnya dia akan merajuk jika pria itu pulang terlalu malam atau bahkan tidak pulang sama sekali karena alasan lembur.Ya, wanita itu adalah Nayla, sang istri. Melihatnya telah kembali ke rumah itu membuat Alvin sedikit menghangat. Jauh di lubuk hatinya dia masih menyimpan rasa rindu untuk wanita yang masih berstatus sebagai istri sahnya.“Sayang, kau ada di sini?” tanya pria itu yang tidak lain adalah Alvin. Ia telah berhasil mengikis jarak.Raut wajahnya berbinar ketika melihat Nayla duduk di sana. Tidak pernah berubah setelah beberapa bulan tidak bertemu. Wajahnya tetap terlihat cantik, tubuhnya sedikit berisi dari sebelumnya.Nayla dan Mbok Asih segera menghentikan obrolan mereka setela
Hening untuk beberapa saat. Nayla enggan untuk menanggapi Alvin. Sungguh ketika bertemu dengannya, sifat pria itu sangat jauh berbeda dari Alvin yang dia kenal. Rasa peduli dan perhatian yang pria itu miliki seolah sudah sirna kepadanya.“Apa masih ada yang perlu dibicarakan lagi? Jika tidak, aku akan menyusul Mbok Asih.”“Bagaimana keadaan kandungan kamu? Apa semuanya sehat? Kau mengalami masalah?”Hati Alvin kembali menghangat ketika mengingat calon anaknya yang ada di dalam kandungan sang istri. Anak yang mereka nantikan kehadirannya.Dengan cepat Nayla menggeleng. Seharusnya dia senang ketika Alvin mulai perhatian terhadap calon anaknya. Tapi, entahlah. Rasa itu telah hambar. Nayla sama sekali tidak membutuhkan perhatian darinya.“Anakku sehat. Dia tidak pernah merepotkan aku.”Mendengar kata ‘anakku’, hati Alvin kembali tercubit. Bukankah dia ayahnya? Anak itu adalah miliknya juga. Kenapa Nayla seolah ingin mengakuinya sendiri?“Aku sama sekali belum pernah melihatnya. Bisakah ki
Alvin terkejut setibanya di rumah. Viona melemparnya dengan majalah yang memang wanita itu gemari. Tatapannya nyalang, menghunus hampir membunuhnya. Wanita dengan lekuk tubuh indah itu berkacak pinggang ketika Alvin membuka pintu rumah mereka.“Apa yang kau lakukan?” tanya Alvin bingung. Baru saja pulang, bukannya disambut dengan mesra penuh senyum, pria itu justru mendapati perilaku sang istri yang cosplay menjadi makhluk lain.“Harusnya aku yang bertanya seperti itu. Apa yang kamu lakukan di luar selain bekerja?” sentak Viona dengan suara meninggi.Alvin mendengkus. Dia melonggarkan dasinya. Rasa lelah di tubuh sudah cukup membuatnya tak bersemangat hari ini. Di tambah kelakuan Viona yang membuatnya semakin pusing.Selalu begitu. Wanita itu akan selalu menuduhnya dan mencecar berbagai pertanyaan. Apalagi jika Alvin terlambat pulang, atau tidak pulang tanpa izin.Tidak ada kehangatan dalam rumah tangganya. Ataupun peran penting dirinya yang sebagai seorang suami yang seharusnya menda
Di rumah Alvaro. Laki-laki itu terus kelimpungan karena Nayla yang terus menerus mengeluarkan isi perutnya setelah kepergian Alvin.Hatinya sangat khawatir ketika melihat kondisi Nayla yang semakin pucat karena sering mual dan muntah. Wanita sangat mencemaskan kondisinya, ditambah hanya sedikit saja makanan yang mau dia makan. Tubuhnya terlihat lemah di atas pembaringan.“Aku akan menghubungi dokter.”Alvaro mengeluarkan ponselnya untuk bersiap menghubungi dokter keluarga. Nayla masih terlibat lemah. Mbok Asih membantunya mengolesi minyak angin agar mual Nayla perlahan hilang.“Aku akan pulang saja,” pinta wanita itu yang langsung mendapat tatapan menghunus dari Alvaro.“Tetaplah di sini. Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada anak itu,” tegas Alvaro.Melihat sikap Alvaro, membuat Nayla sedikit tersentuh. Andai saja yang melakukannya adalah Alvin, ayah dari anaknya, tentu saja itu membuat Nayla sangat senang.Ah, andai saja Alvaro ayah dari anaknya. Tentu Nayla akan sangat beruntung. Ta
“Kamu hati-hati, ya, Nay. Inget jangan capek-capek. Jaga juga kandungan kamu.” Nayla hanya tersenyum ketika mendengar peringatan dari Lira yang seolah berubah sangat bawel.“Iya, bawel! Udah sana berangkat. Ntar terlambat, lho.” Mata Nayla melotot, berpura-pura galak terhadap Lira.Pagi itu, setelah mengantar Nayla menggunakan sepeda motornya, Lira kembali menuju tempat kerjanya.Ketika melihat Nayla telah berada d depan pintu, gadis berusia sebaya Nayla itu sangat senang karena ternyata sahabatnya memilih pulang ke rumahnya yang sangat sederhana, bahkan terkesan sangat jauh berbeda dari rumah bak istana mertua Nayla.Meski tidak pernah berkunjung ke tempat itu. Namun, mereka adalah keluarga konglomerat di negeri ini. Siapa yang tidak tahu tentang ketenarannya? Bahkan, saat ini keluarga itu tengah menjadi sorotan publik karena putra bungsu keluarga Rayes diduga memiliki wanita lain. Dia dengan tega mengkhianati istrinya yang tengah hamil.Lira tak banyak menanggapi. Dia tahu siapa wan
Lira baru saja sampai dari tempat produksi. Wanita itu kini duduk di balik meja kerjanya untuk mengecek banyaknya email yang masuk. Tiba-tiba perutnya terasa lapar, sebab saat istirahat tadi tidak sempat makan ataupun sekedar membasahi tenggorokan.Jam istirahat sudah lewat satu jam yang lalu. Tidak masalah, dia akan pergi ke pantry, menyeduh minuman sereal hanya untuk sekadar mengganjal sampai jam pulang tiba.“Lira, kamu dipanggil ke ruangan Bos.” Ucapan salah seolah temannya membuat mengurungkan niat.“Bukannya Bu Bos pergi ke Bandung hari ini?” jawab Lira. Dia tahu betul jadwal bosnya. Sebagai asisten manajer, Lira sudah mendapat mandat lebih banyak dari biasanya ketika manajer tidak ada di tempat.“Bukan Bu Bos. Tapi wanita rese itu. Entah apa maksudnya dia memaksa agar kamu segera menemuinya,” bisik teman kerjanya dengan tatapan mengintimidasi. Rekan kerjanya lantas pergi setelah menyampaikan amanah.Lira seketika kehilangan rasa laparnya. Dengan hanya menelan ludahnya sendiri,
Di ruangan kerjanya, Alvaro tampak frustrasi. Tatapannya tajam menatap email yang masuk. Dia tidak menyangka jika kondisinya semakin berbahaya seperti ini.Begitu pintu ruangan terbuka, tanpa pria itu menoleh dia dapat tahu siapa orang baru saja masuk ke ruangannya.“Semuanya sudah siap, Bos. Tinggal menunggu jadwal take off nanti malam.” Anjar berdiri di depan meja kerja Alvaro. Memang, saat ini Alvaro tidak ingin bertemu siapapun, apalagi mengadakan meeting.Alvaro menghentikan jemarinya di atas papan keyboard. Dia mulai merencanakan apa yang harus dia perbuat terlebih dahulu.“Kau sudah menghubungi pengacara keluarga kita? Secepatnya dia harus mengurus perceraian Alvin dan Nayla,” pinta Alvaro tegas.“Sudah. Dan berkas-berkas yang Bos minta sudah saya berikan padanya.”Meski awalnya ragu karena Alvaro seolah mendukung perceraian adiknya, tetapi setelah menelisik alasannya, Anjar mengerti kenapa Alvaro melakukan itu. Selain demi wanita yang dicintainya, dia juga tidak ingin Alvin te