"Kamu 'kan bisa membangunkanku jika ingin sesuatu." suara Hadi masih terdengar panik."Kamu kelelahan, Di. Aku ngga mau mengganggu," jawabku pelan. Rasa sakit masih menggangguku."Kamu selalu begitu. Merasa merepotkan. Aku ini suamimu, Nadia. Bukan orang lain."Aku terdiam. Selama menikah dengan Hadi, aku memang sudah terbiasa mengerjakan semuanya sendiri. Tanpa bantuan campur tangannya. Mungkin ini sebabnya aku menjadi canggung jika harus menunggu bantuan dari Hadi."Kamu dengar, Sayang. Kondisimu belum stabil. Jika keras kepala, bukan hanya kamu yang jadi korban, tapi juga calon anak kita. Tolong mengertilah!"Hadi membingkai wajahku. Aku mengangguk seperti seorang anak kecil yang sedang dinasehati oleh orang tuanya."Nah, begitu!" serunya lagi sambil mengacak rambutku pelan.Aku membatalkan niat ke kamar mandi. Perlahan aku merebahkan badan dan memejamkan mata. Bukan tidur, hanya untuk meringankan rasa pusing yang tiba-tiba mendera. Refleks, aku menarik kaki sebelah kanan. Kurasaka
"Nanti aku akan bicara dengan Tiara. Aku harus lebih sering menemanimu, karena kamu sedang hamil. Mana bisa aku membiarkan kamu sendirian begini. Kalau kamu jatuh lagi seperti tadi, gimana?" Hadi sudah bisa mengontrol diri kembali. Meski wajahnya masih terlihat sedikit memerah."Nanti dia marah, gimana?" tanyaku mencoba memastikan."Aku akan mengaturnya." Hadi menimpaliku sambil mengedipkan sebelah matanya.Beberapa saat kemudian, setelah menyelesaikan sarapan, Hadi berpamitan untuk berangkat kerja.***Belum sampai dua jam Hadi pergi, rasa bosan kian menyerang. Sejak tadi tak ada pekerjaan berarti yang kukerjakan selain duduk di depan televisi, sambil sesekali membuka-buka majalah tentang kehamilan. "Jangan lakukan apapun. Cukup minta Mbok Inah untuk membantumu," begitu pesannya sebelum pergi tadi.Lelah duduk, aku memilih merebahkan badan di atas sofa. Layar televisi telah mati, tidak ada acara berbobot yang ditayangkan. Semua hanya mengandalkan acara saling ejek untuk menciptakan
"Di ... Ha-di! Mun-tah!"Tiara meringis di atas sofa. Hadi berjalan mendekati wanita itu. Pemandangan selanjutnya membuat hatiku memanas. Lelaki berkemeja lengan panjang itu mencoba mendudukkan Tiara. Namun, wanita itu terlihat tidak berdaya. Kepalanya terkulai lemas. Dengan sigap Hadi menyandarkan tubuh Tiara ke sofa. Beberapa kali juga ia tampak mengusap pelipis serta membelai rambut wanita itu.Aku masih berdiri mematung menyaksikan mereka berdua. Entah kenapa kakiku terasa berat untuk melangkah, padahal merasa tak suka melihat perhatian yang diberikan Hadi pada Tiara.Astaghfirullah ....Berulang kali aku beristighfar di dalam hati. Memohon ampunan Tuhan karena belum bisa menerima dengan ikhlas kondisi rumah tanggaku. Meski bibirku mengatakan tidak keberatan, akan tetapi tidak dengan hatiku. Jika penyakit hati ini masih aku pertahankan, sia-sia saja semua perjuanganku untuk menerima Tiara sebagai madu.Di mana letak ikhlas itu? Kenapa aku begitu emosi melihat Tiara? Seharusnya ak
"Ka-mu se-nang li-hat a-ku be-gi-ni?" tanya Tiara tersendat."Kamu jangan mengada-ada. Mana mungkin aku senang," jawabku sambil membentangkan selimut menutupi sebagian tubuhnya."Bo-hong! Ma-tamu me-nyi-rat-kan i-tu." Dia masih memaksakan kehendaknya. Memang dasar keras kepala!"Kamu bukan peramal. Sebaiknya kamu fokus saja pada kesembuhanmu." Aku sedikit menekan suara."A-ku ta-u ji-ka Ha-di su-dah mu-lai men-cin-ta-i-mu. Di-a ...,""Stop! Apa kamu selalu begini? Susah mendengarkan saran dari orang lain. Memaksa orang lain hanya mendengarkanmu?" Aku memotong kalimat Tiara. Menurutku sekarang bukanlah saat yang tepat untuk membahas masalah rumah tangga kami. Aku saja sekuat tenaga berusaha untuk meredam emosi. Berusaha untuk menepis cemburu melihat keintimannya dengan Hadi. Aku berusaha untuk menjadi partner yang baik untuk Hadi dan untuk maduku. Namun, kenapa wanita itu seolah tak peduli? Apa dia mengira hanya dia yang tersakiti? Apa hanya dia yang punya hati? Ck!"Ka-mu ...,""Kalau
Aku memutuskan ikut bersama Azzam. Sebelumnya aku sudah menghubungi Hadi untuk memberitahu sekaligus meminta izin padanya, akan tetapi setelah beberapa kali dihubungi, lelaki itu tidak menjawab panggilan dariku."Lelaki dungu itu sudah kelewatan. Istri sedang hamil begini malah dibiarkan sendirian." Azzan terdengar menggerutu."Aku yang melarangnya, Zam. Tiara sedang tidak sehat. Dia lebih membutuhkan Hadi berada di sampingnya." Aku mencoba membela Hadi. Karena memang seperti itu kenyataannya tadi. Hadi sudah melarangku, tetapi aku yang bersikeras untuk pulang menggunakan taksi."Bela terus sampai kucing bertelur! Buka mata kamu, Nadia. Lihat dengan akal sehat, dia lebih mementingkan siapa?"Aku merasa kesal mendengar ucapan Hadi. Tidak pantas menurutku jika ia terlalu jauh mencampuri urusan rumah tanggaku."Aku bisa mengerti keadaannya sekarang. Dia pasti bingung menghadapi kamu berdua. Makanya aku ngga mau membuat Hadi tambah pusing. Selama aku bisa melakukan sendiri, aku ngga akan
"Sudahlah, Di. Aku mau istirahat. Lelah!" seruku sambil berlalu meninggalkan lelaki itu."Aku belum selesai bicara, Nadia.""Kamu bukan sedang berbicara, melainkan membentak-bentak. Sebaiknya tenangkan dirimu terlebih dahulu." Aku berujar sambil terus berjalan ke arah kamar. Punggungku terasa sangat sakit. Seharian berada di rumah sakit membuat peredaran darah serasa kaku."Nadia. Sudah berapa kali secara diam-diam kamu menemui lelaki itu?"Mendengar pertanyaan Hadi yang sudah sangat berlebihan, membuat emosiku pun ikut tersulut."Aku bukan perempuan murahan. Camkan itu! Silakan kamu hubungi Azzam dan tanyakan apa saja yang ingin kamu tanyakan. Karena percuma juga aku menjelaskan, toh kamu tidak percaya."Aku menutup pintu kamar dan tak lupa menguncinya. Sebaiknya lelaki yang sedang berdiri di depan pintu kamar itu segera pergi dan menenangkan dirinya. Dia salah orang jika menuduhku yang tidak-tidak.Setelah membersihkan diri mengenakan pakaian yang lebih longgar, aku pun menonaktifka
Aku menghubungi Ibu dan meminta kedua mertuaku untuk datang ke rumah sakit. Sampai kapan hubungan orang tua dan anak itu akan dingin-dingin saja? Selaku orang tua, mereka pasti merasa kesal dan tidak dihargai. Dibohongi oleh semata wayang dan sangat disayangi. Namun, meski nasi sudah menjadi bubur, toh masih tetap mengenyangkan dan enak untuk dimakan?Di satu sisi aku sangat bersyukur saat Abi mendukunh semua keputusan yang telah kuambil untuk rumah tanggaku. Walau Ibu masih bersikeras dengan pendapatnya, tapi setidaknya aku menjadi kuat karena dukungan dari Abi. "Apa perlu Ibu dan Ayah datang? Bukannya mereka bisa menghandel semuanya sendiri?"Suara Ibu terdengar datar di seberang telepon."Bu, kondisi Tiara sedang kritis. Entah apa penyebabnya. Aku juga baru tiba di rumah sakit. Mungkin Hadi sudah tau, tapi masih menyembunyikannya dariku. Ibu dan Ayah datang, ya. Hadi butuh Ibu dan Ayah di sini. Kasihan, Bu."Aku berusaha mengambil hati Ibu. Wanita itu tidaklah sekeras Umi. Hati Ib
Ibu dan Ayah akhirnya berpamitan. Pada Hadi mereka berpesan banyak hal. Kulihat Hadi tak henti menganggukkan kepalanya. Aku bisa mendengar dengan jelas, karena posisiku berada tak jauh dari mereka."Jaga Nadia baik-baik. Dia sedang mengandung. Prioritaskan perhatianmu padanya," ucap Ayah tegas."Ibu sedang memperbaiki hubungan persahabatan Ibu dengan uminya Nadia. Jangan sampai hubungan kami retak lagi karena ulahmu, Hadi. Dia itu sahabat yang sangat berarti bagi ibu. Kami telah melewati berbagai fase kehidupan bersama," ujar ibu nelangsa.Kulihat Hadi mengangkat wajahnya. Mata lelaki itu tampak berkaca-kaca."Maafkan aku, Yah, Bu." Hanya permintaan maaf yang keluar dari bibirnya."InsyaAllah Hadi sedang menapak menuju arah yang lebih baik, Bu. Dia butuh kita orang-orang terdekat dengannya. Dia butuh dukungan dari kita semua." Aku ikut bersuara. Memberitahukan pada ayah dan ibu jika Hadi memang sedang berusaha untuk berubah. "Iya. Karena semuanya tidak lepas dari campur tanganmu, Nad