Share

Bab 5

Luke menepati janjinya. Ia baru saja menurunkan Valeri dari gendongannya saat ruang tamu mewah bernuansa putih gading dihuni sosok yang terlihat kontras dengan pakaian yang ia kenakan.

Gaun hitam sepaha yang kepalang seksi, memamerkan kaki jenjang, dan gelombang di berbagai tempat. Luke mengernyit melihat sosok cantik bersurai silver itu tersenyum ke arahnya.

"Kenapa kau ada disini?" Luke bernada dingin. Sementara Valeri menatap bingung diantara dua orang itu bergantian. Merasa tidak mengenal si gadis bersurai perak tersebut. Namun melihat reaksi Luke, bisa Valeri pastikan gadis cantik ini bukanlah manusia.

Gadis itu mengamati kuku-kuku panjangnya yang diwarnai semerah darah. "Ibu menyuruhku mengawasimu. Jadi aku akan tinggal disini bersama kalian."

Luke menggulir bola matanya. "Kembalilah. Bilang pada ibu bahwa itu tidak perlu." Kemudian menarik tangan Valeri, membawanya masuk ke bagian rumah yang lebih inti. Namun saat sampai di ruang tengah, gadis bersurai silver sudah lebih ada di sana. Bersandar di dinding, melipat tangan di dada.

"Sekali-kali bersikap santunlah pada kakakmu." Ia bilang.

Genggaman tangan Luke pada Valeri terlepas, beralih mencengkeram lengan atas gadis bersurai perak. "Dengar ya, wahai kakakku yang manis, cantik, dan memuakkan, sebaiknya kau pergi saja sebelum kutendang bokongmu sampai ke neraka."

"Ouhh, manisnya adikku." Gadis itu justru mengusak kepala Luke, membuat Luke semakin kesal saja.

"Huh? Kakak?" Valeri membatu. Ia menelisik gadis yang mendreklarasikan diri sebagai kakak Luke dengan seksama. Dari ujung kaki hingga ke ubun-ubun. Ia memang telah mendengar bahwa Luke lahir sebagai 12 bersaudara. Namun ia tak menyangka salah satunya adalah gadis secantik ini.

Luke dan gadis itu menoleh seketika. Selanjutnya, si gadis menghempas tangan Luke dan mendekati Valeri.

"Hai manis, kau pasti Valeri. Perkenalkan, namaku Lucia Hannalee. Kau bisa memanggilku Hani."

Kelopak mata Valeri berkedip-kedip lucu. Terlihat kikuk saat membalas jabatan tangan Hani dan mendesiskan namanya; "Valeri."

"Astaga, kau kurus sekali. Adikku pasti menyiksamu, benar 'kan? Kasian."

"Kakak!" Luke memperingati. Masalahnya, Hani adalah sejenis makhluk yang senang sekali menjatuhkan harga diri adiknya. Yah, mereka memang cukup dekat. Bahkan jauh lebih dekat daripada hubungan antara Luke dengan Sean.

"Kak Hani, kau cantik sekali." Valeri memuji tulus. Ah, seandainya ia secantik Hani, apakah Luke akan jatuh cinta padanya? Ia bertanya-tanya dalam hati.

"Ah, benarkah? Kau juga cantik, sayang. Hanya perlu sedikit sentuhan make up dan beberapa perawatan dasar," tutur Hani sembari tersenyum manis dan menghipnotis.

"Tinggallah di sini, aku tidak keberatan sama sekali."

"Apa?!" Kali ini Luke memekik tak terima. Sementara itu Valeri langsung menatap sengit kepadanya.

"Diamlah! Ini keinginanku. Kau pikir aku tidak lelah hidup dikelilingi para pria?"

"Tapi, Val. Dia ini vampir yang sangat licik, asal kau tahu." Luke menuding kakaknya sendiri.

Valeri berdecak kesal. "Jika kubilang ini keinginanku berarti ini keinginanku. Sudah mutlak."

Dan lagi-lagi, setiap keinginan Valeri membuat Luke tak dapat berkutik.

***

Semenjak Hani tinggal di rumah besar itu, Valeri menjadi lebih manusiawi, dalam artian ia seperti memiliki kakak perempuan yang mengajarinya cara mempercantik diri dan melakukan perawatan kulit. Tapi sebaliknya, itu menjadi mala petaka untuk Luke. Karena kini sesi mandi Valeri selalu diambil alih oleh kakaknya. Begitu juga dengan tidur malam. Bisa dibilang, Luke kehabisan waktu berduaan dengan Valeri dan itu membuatnya muak.

Saat ini, bersama Joshua, Luke tengah menyiapkan makan malam sementara Valeri bercanda gurau dengan Hani di depan televisi. Luke geram sekali hingga ia menenggak segelas air seakan itu adalah wiski.

"Sejujurnya, Nona Hani hanya mengkhawatirkan Lord saja. Itu bisa dimengerti." Joshua membuka suara. Tangannya begitu terampil memasak spagetti.

"Aku ini pangeran mahkota. Memangnya apa yang dikhawatirkan dariku?" ketus Luke tak terima.

"Tidakkah Lord merasa terlalu dekat dengan Nona Valeri?"

"Huh? Maksudmu?"

"Tidak, saya hanya wajah Lord terlalu tampan. Saya khawatir Nona Valeri jatuh hati suatu saat nanti."

Luke berbalik, menatap Joshua lekat. Mata waspadanya sibuk mengamati gerak-gerik anak buahnya itu, sementara tangan kanannya meraba wajahnya sendiri.

"Benarkah? Haruskah aku mengganti wajahku?"

Joshua menggeleng heran. Sedang menerka-nerka bagaimana bisa seorang pangeran mahkota bisa bertingkah konyol seperti ini.

"Saya rasa selama Lord dan Nona Valeri tidak melakukan hubungan intim, itu tak jadi soal."

"Kau pikir begitu?"

Joshua mengangguk. "Manusia itu rumit, tapi mudah ditebak. Mereka cenderung cepat mengikat hati pada seseorang yang sudah berbagi keringat bersamanya." 

Luke menatap nyalang Joshua yang memindah spagetti ke atas piring dan melanjutkan menata menu-menu di meja makan. Soal hati sentimentil manusia, ia sudah paham betul. Mereka memang selalu seperti itu sejak dulu. Manusia mudah jatuh cinta, mengumbar janji, lalu mengkhianatinya sendiri. Mengingat hal itu membuat Luke tersenyum sarkas.

"Yah, ibu benar. Selalu benar." Ia menghela napas sembari menompang dagu.

"Wah, Joshi. Kau pandai sekali memasak," puji Hani sesaat setelah piring-piring berisi spagetti dan steak hadir di meja. 

Joshua hanya tersenyum. Ia tidak turut serta di meja makan, melainkan sedang mengelap gelas-gelas anggur di konter dapur. Sementara Luke memilih bergabung dengan para gadis. Bukan untuk makan, tapi untuk menyuapi bayi besarnya, Valeri. 

Sudah kubilang, kan? Luke itu Memperlalukan Valeri kepalang manis. Hani saja hanya bisa menggeleng tak percaya melihatnya.

"Valeri, kau kelas berapa sekarang?" tanya Hani sebelum melahap potongan steak.

"Ini tahun terakhirku di sekolah."

"Hm.. Murid jaman sekarang, pasti tampan-tampan bukan? Kau memiliki kekasih?"

Mulut Valeri berhenti mengunyah. Gadis itu tampak bingung harus menjawab apa. Ia melirik Luke, rupanya Luke sedang menatap ke arahnya. Tidak perlu kata-kata untuk menjelaskan perasaan Valeri saat ini. Luke langsung tahu begitu ia melihat kerutan tipis di wajah gadis itu, sehingga ia pun langsung merengek pada kakaknya.

"Kakak..."

"Ah benar, aku lupa kau akan menikahi adikku. Tapi jika boleh kusarankan, sebaiknya kau mengencani beberapa pria sebelum menikah dengan vampir tak berguna ini. Atau kau akan menyesal seumur hidupmu."

"A-ah, sebenarnya aku tidak pernah berpikir untuk kencan dengan siapapun." Valeri mendadak dilanda canggung. Ia bahkan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Jangan katakan kau jatuh cinta pada adikku. Manusia dan vampir itu..."

"KAKAK!!" Pukulan keras pada permukaan meja makan seketika membuat ruang makan menjadi hening. Awalnya wajah Valeri tertunduk, sampai ia mengangkat pandangannya dan memamerkan senyum yang ia paksakan.

"Manusia dan vampir dilarang jatuh cinta. Aku benar, kan? Tenang saja kak. Aku tidak akan pernah jatuh cinta pada vampir manapun."

Hani tersenyum teduh, digenggamnya tangan Valeri dan diusap secara lembut; "Pilihan yang bijaksana," tuturnya.

Luke meremat meja. Entah mengapa batinnya terasa sakit mendengar jawaban Valeri. Padahal sejak ia sudah tahu mengenai hal itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status