Share

Bab 6

Sekolah adalah satu-satunya tempat dimana tidak ada Luke disepanjang mata Valeri memandang. Itupun tentu karena titah Valeri sendiri. Pernah dulu sekali, Luke mengekori Valeri hingga ke sekolah dan berakhir ditegur oleh guru. Kedua kalinya, memang guru tak lagi dapat melihat Luke meski vampir itu berdiri di depannya. Hanya saja, itu membuat Valeri merasa terganggu. Jadi dengan iming-iming seteguk darah kehidupannya, Valeri meminta Luke agar hanya mengantar jemputnya saja. Tak perlu sampai mengekorinya di sekolah.

Hari ini, saat jam makan siang, Valeri memilih menghabiskan waktu di perpustakaan. Ujian tinggal menghitung hari, ia tidak ingin kehabisan waktu untuk belajar. Jika ia lulus dengan nilai bagus, Luke berjanji akan menuruti apapun keinginannya tanpa imbalan darah. Itu menggiurkan, kesempatan langka yang tak boleh disia-siakan.

"Hai, boleh aku duduk di sini?"

Seorang pemuda tampan tersenyum hangat saat Valeri mengangkat wajahnya, mencamoakkan buku yang sedang ia baca. Gadis itu mengenalnya. Mereka teman sekelas. Murid biasa saja, bukan dari kalangan paling pintar tapi pernah beberapa kali membelanya dari rundungan siswi-siswi. Yah, sebagian dari mereka hanya iri dengan wajah cantik Valeri. Sebagian lagi membenci karena Valeri memiliki tato di pergelangan tangannya. Seakan itu adalah sebuah label moral seorang gadis. Entahlah, mengapa hal seperti itu menjadi sesuatu yang penting untuk mereka.

"Hai, Jeffrey." Valeri membalas senyuman itu, menyelipkan anak rambut yang berantakan ke belakang telinga.

"Aku sedikit tidak mengerti dengan bagian ini. Bisakah kau membantuku?" Pemuda bernama Jeffrey menyodorkan buku Fisika, telunjuknya menunjuk ke bagian yang tidak ia mengerti.

Valeri mengernyit untuk beberapa saat, tengah berpikir. Tak lama kemudian ia berkata; "Sejujurnya aku juga tidak terlalu mengerti. Kita bisa mempelajarinya bersama jika kau mau."

"Kau tidak keberatan?"

Valeri menoleh, menatap pemuda yang duduk di sampingnya dengan kerutan dalam di dahi.

"Kenapa aku harus keberatan?"

Jeffrey mengendik bahu. "Hanya saja, kulihat kau lebih senang menyendiri daripada berkumpul dengan teman."

"Memang, sih." Wajah Valeri tertunduk sesaat, lalu kembali mendongak menatap Jeffrey. "Tapi kurasa tidak apa-apa jika denganmu. Lagipula kau selalu baik padaku."

Dan sejak itu, Jeffrey dan Valeri terlihat sering bersama di area sekolah. Terutama di jam-jam kosong dan waktu istirahat. Terkadang Jeffrey diam-diam membelikan Valeri susu strawberry kesukaannya. Bahkan menggandeng tangannya ketika berjalan di koridor sekolah. Dan hal itu pula yang membuat tatapan siswi-siswi yang membencinya semakin sengit.

***

Valeri baru selesai mengembalikan buku di rak perpustakaan saat ia hendak kembali ke kelas dan dihadang oleh tiga gadis lain. Pelakunya masih gadis yang sama dengan yang merundungnya beberapa hari yang lalu.

"Minggir." Valeri bernada dingin. Terbiasa hidup dengan vampir tidak berhati membuatnya tidak pernah takut dalam menghadapi banyak hall.

Sejujurnya saat sedang dirundungpun ia lebih banyak memilih tidak menganggapi apalagi menangis. Hanya saja, entah mengapa Jeffrey selalu datang membantunya seperti pahlawan kesiangan. Sayangnya, hari ini sepertinya pahlawan kesiangan itu tidak mungkin datang karena sejak tadi Valeri belum melihat pemuda itu di kelas.

"Hei, Jalang. Kau berkencan dengan Jeff, ya?" Kalimat pedas itu meluncur dari gadis bersurai pendek sebahu.

Valeri meliriknya sinis. "Bukan urusanmu."

Namun rupanya itu menyulut amarah gadis lainnya. Bahu Valeri didorong sehingga ia harus mundur selangkah.

"Sombong sekali kau! Kudengar kau yatim piatu yang kaya raya. Bagaimana caranya? Jangan-jangan rumor itu benar."

"Rumor?" Valeri mengerut dahi. Ia belum pernah mendengar rumor mengenai dirinya selain tentang perdikat 'nakal' karena memiliki tato.

"Jangan berlagak bodoh. Aku pernah melihatmu berciuman dengan pria dewasa yang setiap hari mengantar jemputmu. Katakan! Dia ayah gulamu, kan?"

Ah, jadi karena itu. Tidak perlu dijelaskan, Valeri tahu benar yang mereka maksud adalah Luke. Vampir kurang ajar yang kerap mencuri ciuman darinya. Kali ini, Valeri melipat kedua tangan di dada. Dengkusan panjang terdengar dari hidung mancungnya.

"Bagaimana jika kukatakan jika dia calon suamiku sekaligus vampir yang bisa menghisap darah kalian sampai habis?"

Valeri tahu ia akan berakhir ditertawai. Memangnya siapa yang akan percaya bahwa Luke seorang vampir? Tiba-tiba Valeri merasakan sakit yang teramat sangat karena rambutnya ditarik ke belakang. Pelakunya adalah gadis yang berdiri di tengah, rambutnya panjang, tapi wajahnya tak lebih cantik dari Valeri. Jika Valeri ingat, namanya adalah Jennie.

"Akh!!" Valeri memekik, kedua matanya terasa panas menahan pening di kepala. Ia ingin menangis rasanya.

"Rupanya kau bukan cuma penggoda, hm? Kau juga penipu! Vampir kau bilang? Kau pikir kami bodoh?"

Gadis bernama Jennie menarik paksa rambut Valeri. Mengabaikan gadis mungil itu menjerit kesakitan. Lalu ia menghempas tubuh mungil itu ke dalam gudang. Menguncinya di sana.

Namun siapa sangka, baru saja mereka bertiga selesai mengunci gudang dan berbalik, Jeffrey sudah ada di belakang mereka. Berdiri santai sembari mengantongi kedua tangan. Di mulutnya tersemat sebutir lolipop.

"Buka pintunya." Ia memerintah dengan suara tenang tanpa beban.

"Oh, Jeff... Maukah kau pulang bersamaku?" Jennie merangkul lengan Jeffrey. Sementara dua temannya yang lain saling membisikkan ketakutannya masing-masing.

"Kubilang, buka pintunya." Jeffrey mengulangi ucapannya. Namun kini dengan nada yang lebih dingin dari sebelumnya.

"Kenapa? Lebih baik kau ke rumahku saja." Jennie membelai pipi Jeffrey dengan telunjuknya. Membuat pemuda itu risih dan menepis tangannya.

"Berikan kuncinya padaku." Jeffrey merampas kunci yang sedari tadi digenggam oleh gadis lainnya. Jennie masih tidak gentar, menarik-narik lengan Jeffrey agar menjauhi pintu gudang namun justru ia sendiri yang terpelanting, jatuh tersungkur di lantai karena Jeffrey mendorongnya.

"Pergilah sebelum aku menghancurkan wajah cantik kalian."

Mendengar ancaman Jeffrey membuat Jennie merengut sebal. Dua temannya yang lain membantunya berdiri untuk segera menjauhi Jeffrey, sementara ia sendiri meronta tak terima. Ayolah, Jeffrey itu bukan hanya tampan, namun juga terkenal dengan pukulannya karena gelar sabuk hitam yang disandangnya. Gadis-gadis centil seperti mereka mana berani menentangnya?

***

Valeri masih menunduk, memegangi kepalanya yang terasa pening. Lututnya juga perih, terluka akibat menghantam lantai barusan.

"Ck! Darah ini akan sia-sia," desisnya getir melihat tetesan darah mengalir dari kulitnya yang robek.

Suara pintu yang terbuka menginterupsi. Membuat Valeri mendongak. Hatinya terasa lega melihat Jeffrey berdiri disana, melangkah mendekatinya lalu berlutut di hadapannya. Pemuda yang manis.

"Kau baik-baik saja?" Surai kelam Valeri yang berantakan perlahan disisir menggunakan jemari oleh Jeffrey. Sungguh, Valeri ingin menangis.

Bukan, bukan karena perundungan tadi adalah perkara berat. Itu hanya soal ringan yang sama sekali tidak ia takuti. Hanya saja, ia sempat berharap bahwa Luke akan datang untuknya. Bahwa Luke yang akan kembali menjadi pahlawannya. Tanpa pamrih, tanpa perjanjian, tanpa imbalan seteguk darah.

Andai Luke adalah manusia biasa seperti Jeffrey. Andai Luke bisa ia cintai tanpa luka yang mengancam di kemudian hari.

Ah, seandainya Loey manusia biasa seperti Lucas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status