Adam tidak dekat dengan orang tuanya selama ini. Kesibukan mereka membuat hubungan mereka bertiga berjarak jauh. Namun, ketika mendengar ayahnya sedang sekarat, Adam merasakan perasaan tidak nyaman yang sulit untuk diungkapkannya.
Saat Adam dan Pak Ali tiba dirumah kediaman Widjaja, disana sudah terparkir beberapa mobil mewah.
Adam bisa mengenali beberapa mobil yang ada disana, tak lain adalah mobil kerabat jauh keluarga ayahnya. Namun kedatangan mereka serasa tidak lazim, karena hari itu bukan hari spesial dimana keluarga besar harusnya berkumpul.
"Kenapa banyak orang disini, Pak?" Tanya Adam mengungkapkan rasa penasarannya.
"Kamu lupa? Bukankah Bapak sudah mengatakan padamu kalau ayahmu sedang sekarat. Semua orang disini untuk menunjukkan dukungannya pada ayahmu, dan seharusnya kamu juga begitu." Jawab Pak Ali, lalu keluar dari mobil.
Adam lagi-lagi hanya bisa terdiam. Kondisi seperti ini membuatnya merasa tidak nyaman, Ia tidak dekat dengan ayah atau ibunya. Baginya, kedua orang tuanya tidak lebih sebagai mesin ATM-nya.
Mungkin karena alasan itu juga membuat karakter Adam cenderung labil dan impulsif. Tidak heran jika pertemuan dirinya dan orang tuanya selalu berakhir dengan pertengkaran. Adam bahkan tidak ingat lagi, kapan terakhir kali mereka benar-benar bersikap layaknya keluarga yang saling menyayangi.
Sekarang, kondisi ayahnya sedang sekarat. Semua orang yang ada di dalam sana, pasti sangat bersimpatik dengan ayahnya.
Lalu dia?
Adam bahkan tidak tahu, apa Ia harus berpura-pura terlihat sedih atau bersikap cuek layaknya selama ini.
"Nak, ayo turun. Temui ayahmu." Panggilan dari Pak Ali membuyarkan lamunan Adam.
Adam keluar dari mobil dan berjalan mengikuti Pak Ali yang sudah masuk lebih dulu ke dalam rumah. Di dalam rumah sudah banyak anggota keluarga berkumpul dan beberapa rekan bisnis keluarganya.
Ketika mereka melihat Adam masuk ke dalam rumah, banyak di antara mereka yang memandang sinis pada Adam. Tatapan mereka sudah cukup mengartikan,betapa jijiknya mereka melihat Adam.
Anak yang selalu membuat masalah untuk orang tuanya, anak yang hanya bisa mencoreng nama baik orang tuanya, anak yang tidak bisa diandalkan sama sekali, anak pembawa masalah, keturunan yang gagal, dan masih banyak lagi pandangan negatif yang ditujukan ke arahnya.
Namun, seperti biasa, Adam berlalu dengan cuek. Bahkan Ia sama sekali tidak perlu menunjukkan keramahan pada semua orang yang sedang menatapnya. Adam sama sekali tidak mempedulikan semua pandangan orang terhadapnya. Ia sudah terbiasa dengan semua tanggapan negatif orang-orang terhadapnya.
Jujur, Ia pun muak dengan mereka semua.
Adam menganggap mereka semua adalah orang yang munafik, toh mereka bersikap baik pada keluarganya, karena ayahnya telah memberi makan mereka semua dengan baik.
Adam berlalu dengan acuh melewati semua orang, Ia memilih untuk mengikuti langkah Pak Ali yang sedang berjalan menuju kamar orang tuanya.
Sementara itu, didalam kamar mewah tersebut terbaring seorang pria tua. Ditangan kirinya terpasang selang infus dan wajahnya yang biasa bersemangat, hari itu terlihat sedikit gelap dan pucat.
Dokter Pramudya yang bertugas sebagai dokter keluarga, sudah berulang kali mengingatkan agar Ia dapat menjaga kondisi pikirannya tetap tenang. Meskipun begitu, Ia bisa mengerti alasan kenapa seorang Eka Salim Widjaja bisa kembali mengalami serangan jantung. Itu semua karena perilaku putra semata wayangnya yang seakan tidak pernah berhenti untuk membuat ulah. Ada saja kelakuan nakalnya yang membuat kedua orang tuanya tidak tenang. Apa anak itu menginginkan orang tuanya cepat mati? Sampai Ia merasa puas dan berhenti berbuat onar.
Padahal Adam, putra tunggalnya Eka Salim Widjaja sudah berusia 25 tahun. Namun, Ia lebih suka hidup bermalas-malasan dan bergaya semaunya. Eka Widjaja tentu saja sangat pusing memikirkan perilaku anaknya, padahal Adam adalah harapan satu-satunya yang Ia miliki sebagai penerusnya kelak.
Saat itu, terdengar ketukan di pintu kamar mereka yang sengaja dibiarkan terbuka. Disana sudah berdiri Pak Ali dengan Adam berada disampingnya.
Pak Ali dengan sopan meminta ijin untuk masuk ke dalam kamar.
Setelah Eka Widjaja mempersilakan mereka untuk masuk, barulah Pak Ali berani masuk ke dalam kamar tuan dan nyonyanya tersebut. Adam sendiri tampak begitu acuh berjalan dibelakangnya Pak Ali. Sepertinya, Ia masih kesal karena orang tuanya terlalu lama mengeluarkannya dari penjara.
Sadar jika mereka akan membahas masalah internal keluarga, Dokter Pramudya berencana keluar dari ruangan itu. Namun Halimah yang sudah tahu apa yang telah direncanakan suaminya dengan kedatangan Adam hari itu, sengaja menahan langkah Dokter Pram.
Mereka tidak keberatan dengan keberadaan Dokter Pramudya yang sudah mereka anggap sebagai bagian dari keluarga. Halimah justru merasa lebih cemas jika Dokter Pram tidak ada saat emosi suaminya meledak dan membuat penyakit jantungnya kambuh nantinya.
Melihat putranya masuk ke dalam kamar, Eka Salim merasakan keperihan dalam dadanya setiap kali melihat Adam. Selama ini, mereka mungkin telah salah karena kurang memperhatikan pertumbuhan Adam sedari kecil, tapi semua yang mereka lakukan agar anak mereka bisa mendapatkan yang terbaik dimasa depan.
Kerja keras mereka selama ini, terbayarkan dengan semua pencapaian yang telah mereka raih. Tapi dibalik itu semua, mereka seakan mengorbankan kebutuhan dasar anak mereka satu-satunya, yaitu kasih sayang.
Berbagai cara sudah mereka lakukan untuk menebus kembali apa yang tidak pernah mereka berikan untuk Adam. Tapi, Adam sepertinya sudah berjalan terlalu jauh menuju arah yang salah. Sehingga apapun yang coba dilakukan oleh kedua orang tuanya, tidak pernah dipandangnya layak.
Ia berkembang menjadi karakter liar dan sukar untuk dikendalikan.
"Duduklah!" Pinta Eka Widjaja dengan lembut meski suaranya terdengar serak sambil menunjuk tepian kasur tempatnya berbaring.
Adam bukannya melakukan apa yang diperintahkan oleh ayahnya, Ia justru mengabaikannya dan melengah ke arah lain. Seolah Ia enggan untuk duduk didekat ayahnya.
Apa yang dilakukan oleh Adam, membuat irisan kecil didalam hati Eka Widjaja dan juga Halimah.
"Adam, duduk dekat ayahmu." Ujar Pak Ali tegas, Ia tidak tahan melihat sikap berontak Adam. Bahkan saat ayahnya dalam kondisi seperti itu, Ia masih menunjukkan sikap angkuhnya.
Setelah itu, Ia menatap tuan besarnya dengan tatapan meminta maaf. Bagaimanapun itu adalah reaksi spontannya melihat Adam yang tidak mengindahkan perintah ayahnya.
Eka mengangguk kecil dan memberikan tatapan yang menunjukkan rasa terimakasihnya karena Pak Ali telah membantunya bicara.
Adam memang sangat segan dengan pak Ali, begitu mendengar Pak Ali ikut bicara dengan nada yang tegas. Adam baru beranjak duduk diatas kasur sebelah sang ayah.
Dengan dibantu istrinya, Eka Widjaja menegakkan posisi duduknya. Ia harus bicara terus terang dan membuat keputusan hari itu juga. Sebelum semuanya terlambat atau sebelum ajalnya datang menjemput.
"Adam, sampai kapan kamu akan seperti ini?" Eka Salim Widjaja bertanya dengan ekspresi serius. Sudah terlalu lama ada kerenggangan antara hubungannya dengan sang anak, tapi hari itu Ia harus membuat keputusan sebelum semuanya terlambat. Ia sudah membicarakan hal itu dengan istrinya, mereka tidak dapat membiarkan Adam terus-terusan berbuat semaunya. Adam seperti sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan sang ayah, namun egonya terlalu tinggi untuk bisa berdamai dengan ayahnya. Dia hanya diam dan memasang ekspresi wajah datar. Eka Salim Widjaja menghela nafas dalam, "Papa dan Mama telah mengambil keputusan. Mulai hari ini, semua fasilitas dan juga tabungan yang kamu miliki akan kami putus." Duar Adam tersentak dan membelalakkan matanya melihat sang ayah, Ia jelas saja tidak bisa menerima keputusan ini. Ia sudah terbiasa dengan semua fasilitas mewah yang dimilikinya selama ini, mulai dari deretan mobil mewah, tabungan yang berjumlah puluhan miliyar dalam rekeningnya, belum lagi kar
Adam beranjak menuju kamar tidurnya dan mengumpulkan beberapa pakaian yang bisa dibawanya, kepalanya masih panas dan dipenuhi oleh emosi. Ia masih tidak terima, orang tuanya mencabut semua fasilitas dan tabungannya. Bahkan sampai mengusirnya, dalam hati Ia bertekad akan pergi selamanya dari sana. 'Lihat saja, kalian akan menyesalinya.' Saat Adam sedang berkemas, Pak Ali masuk ke dalam kamarnya. Pak Ali hanya diam dan melihat Adam yang sedang kesal memasukan pakaiannya kedalam tas ransel. Pak Ali paling tahu bagaimana karakter Adam, jadi dia sengaja menonton semua yang dilakukan Adam tanpa mengomentarinya sedikitpun. "Kenapa? Apa Bapak mau menahanku disini?" Tanya Adam gusar karena Pak Ali sama sekali tidak bicara. Dia tidak keberatan seandainya Pak Ali marah atau akan memberinya nasehat seperti biasanya. Namun tidak, Pak Ali hanya diam. Situasi tersebut jauh membuatnya lebih canggung. "Tidak, kamu dapat melakukan apapun yang kamu inginkan." Jawab Pak Ali dengan senyum tenangnya.
Adam duduk disebuah Halte setelah lelah berjalan sekian lama, Ia pergi hanya membawa satu ransel pakaian dan sama sekali tidak membawa kendaraannya. Ia terlanjur emosi dan membenci orang tuanya, sehingga apapun yang diterima dari orang tuanya, ditinggalkan begitu saja. Sekarang, Adam baru merutuki keputusannya. Karena tidak ada kendaraan, Ia tidak bisa bebas pergi kemanapun yang diinginkannya. Kondisinya semakin payah, begitu Adam memeriksa dompetnya. Uangnya hanya tersisa tiga juta rupiah saja saat ini. Bagi Adam yang sudah terbiasa dengan gaya hidup mewah, melihat uang segitu seperti bencana baginya. Kartu kredit dan debit yang ada didalam dompetnya, jangan ditanya! Pasti semuanya sudah diblokir oleh orang tuanya saat ini. Sebelumnya, uang belanja Adam tidak kurang dari tigapuluh juta setiap harinya. Itu batas minimal uang jajannya dalam sehari, sekarang dengan hanya ada uang tiga juta dalam dompetnya, Adam merasa seperti orang paling sengsara di dunia. Adam coba menghubungi beb
Seminggu sudah Adam menginap di losmen, keuangannya sudah sangat menipis. Biaya menginap di losmen sederhana seperti itu saja, sudah menelan uangnya 300 ribu rupiah per-malamnya. Saat ini, dalam dompet Adam hanya tersisa 50 ribu. Jelas malam ini, Ia tidak dapat lagi menginap di losmen tersebut. Adam coba memutar otaknya untuk bisa menghasilkan uang. Semua daftar temannya telah dihubunginya, namun tidak ada satupun dari mereka yang bersedia membantunya dan bahkan banyak dari mereka yang telah memblokir nomornya. Tidak hanya mereka, bahkan para wanita yang pernah singgah di masa lalunya juga menolak membantu Adam dan menghindar dengan berbagai alasan. Lebih parahnya, saat ini semua orang seakan berusaha menghindari Adam. Hal itu membuat Adam hampir frustasi. Kenyataan ini membuatnya sadar satu hal, semua orang yang dikenalnya 'baik' dimasa lalu, hanya karena kekayaan dan status yang dimilikinya saat itu. Saat Ia menjadi orang terbuang seperti sekarang, Adam dapat melihat seperti apa
Adam baru saja selesai memindahkan 50 karung beras ke dalam kiosnya Ncang Ari, salah satu juragan beras di pasar tempat dia bekerja sebagai buruh lepas. Tiga minggu bekerja sebagai buruh lepas, Adam mulai menyadari betapa beratnya bekerja sebagai seorang buruh dan menghasilkan uang 50 hingga 70 ribu sehari. Itupun dengan harus menggunakan tenaga kasar dan sering seluruh tubuhnya terasa sakit dan sangat penat begitu selesai bekerja. Sering bekerja di bawah terik matahari membuat Adam tidak lagi terlihat bersih seperti sebelumnya. Kulitnya mulai menggelap, rambutnya juga sudah mulai memanjang dan jambang yang tumbuh diwajahnya. Sore itu, setelah memberikan upah pada para pekerja, Ncang Ari sengaja memanggil Adam. Meski baru beberapa hari bekerja, ternyata Ncang Ari sudah memperhatikan Adam layaknya pekerjanya yang lain. Dari sana Ia bisa menyimpulkan, jika Adam terlihat berbeda dari seluruh buruh yang bekerja padanya. Ncang Ari melihat Adam memiliki potensi yang tinggi, sangat aying
Ali sedang berada di ruang kerja Eka Salim Widjaja saat Adam menghubunginya. Saat itu, Eka Salim Widjaja baru saja selesai kontrol kesehatan dengan dokter pribadinya. Kondisinya sudah jauh lebih baik, tapi Ia harus rutin memeriksakan kondisi kesehatannya dan menghindari beban pikiran secara berlebihan. Karena itu, Eka Widjaja harus berusaha untuk membuat pikirannya bisa tetap rileks. Terakhir, kondisinya sampai drop kembali karena masalah dengan Adam, putranya. Satu-satunya yang mampu memberikan tekanan berat dalam pikirannya adalah anaknya. Eka menyayangi Adam dan ingin anaknya dapat berubah menjadi lebih baik. Sehingga, jika Ia tiada kelak, Adam akan dapat diandalkan untuk menggantikan dirinya. Beruntung bagi Eka Widjaja, dia memiliki Ali Tanjung sebagai tangan kanannya. Ali bukan hanya kepala pengawalnya, tapi juga sudah dianggap sebagai bagian dari keluarganya. Ali telah mengirimkan orang-orang kepercayaannya untuk selalu memantau perkembangan Adam, tanpa sepengetahuan Adam te
Saat melihat dirinya didalam cermin, Adam tersenyum getir. Ia melihat pantulan dirinya yang sedang mengenakan seragam OB berwarna biru. "Huft..." Adam menghela nafas dalam. Namun bukan saatnya Ia harus mengeluh. Bagaimanapun dia lah yang telah meminta pekerjaan kepada Pak Ali. Adam coba berpikiran positif, setidaknya pekerjaan itu jauh lebih baik dibanding menjadi buruh lepas. Ia bekerja ditempat yang jauh lebih teduh, kulitnya tidak perlu lagi terbakar dibawah terik panas matahari. Selain itu, pekerjaan ini juga jauh lebih ringan jika dibanding dengan Ia harus mengangkat karung-karung beras yang beratnya 50 kiloan lebih. "Adam, You can do it." Ucap Adam menyemangati dirinya sendiri. Hari itu, Adam resmi bekerja menjadi office boy di Widjaja Corporation. Sebenarnya, Adam bisa masuk keesokan harinya, sesuai dengan kontrak kerjanya. Tapi, Adam sendiri yang menginginkan untuk langsung masuk kerja hari itu, karena Ia juga tidak memiliki kegiatan lain yang harus dikerjakannya. Secara
Baru hari pertama bekerja sebagai OB, emosi Adam sudah langsung diuji.Banyak di antara karyawan yang melihat aneh kearahnya begitu Ia keluar dari ruangan Pak Robert, namun Adam cepat berlalu disana untuk mendinginkan kepalanya yang sedang panas.Kembali ke ruang pantri, Menik dan Yaya terkejut melihat pakaian Adam sudah basah oleh tumpahan kopi."Adam, pakaian kamu kenapa jadi kotor begini?" Tanya Menik heran.Yaya melihat Adam kena tumpahan kopi, sepertinya mengerti alasan kenapa pakaian Adam sampai kotor seperti itu. Apalagi melihat wajah Adam seperti orang yang sedang menahan marah begitu. Ia dengan cepat mengambil handuk kecil yang masih bersih dan menyerahkanya pada Adam.Lalu, dengan buru-buru berkata pada Menik."Nik, sebaiknya segera anterin kopinya Pak Robert keruangannya." "Eh, pak Robert memang sudah meminta kopi?" Tanya Menik terkejut tapi tampak enggan. Sepertinya dia malas untuk pergi menemui manajer personalia tersebut."Iya, ini Adam yang mengantar kopi ke ruangannya