Pov : Lisha "Lisha, apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Dokter Akbar saat papa mengajakku makan malam bersama di Adelia Resto. Papa yang nyatanya nggak datang, dengan alasan mendadak mengantuk. Aku yakin itu hanya alasan papa agar aku dan Dokter Akbar makan malam berdua. "Tanya apa ya, Dok?" tanyaku singkat. "Sudah kubilang jangan panggil dokter, kan?" ucap Dokter Akbar dengan tawa kecilnya. "Dulu kamu nggak manggil itu," ucapnya lagi, mulai mengingatkanku dengan masa lalu saat masih dekat dengannya. Aku memang dulu memanggilnya dengan sebutan Abang. Tapi sejak menikah dengan Mas Dimas, aku mulai membiasakan diri untuk memanggilnya Dokter Akbar, seperti panggilan papa untuknya. "Oke, aku panggil Abang seperti sebelumnya," jawabku lirih tanpa menatap kedua matanya. Aku mengalihkan pandangan dengan memainkan sedotan di gelas berisi cappuccino latte, minuman favoritku. "Begitu jauh lebih bagus dan enak terdengar," ucap Dokter Akbar lagi sambil tersenyum lebar."Kamu nggak tan
|Tes DNA sekarang atau kamu akan menyesal dan terus dirasuki penasaran selama hidupmu!|Pesan dari Brama waktu itu, membuatku berpikir untuk melakukan Tes DNA beberapa hari yang lalu. Tak apa lah, biar aku dan Arnila sama-sama tenang siapa ayah biologis Azima sebenarnya. Aku atau Brama. Ingin rasanya menyalahkan Arnila atas perzinaan itu, tapi lagi-lagi dia bilang bukan atas nama suka sama suka melainkan diperk0s4. Aku pun berusaha mengerti, biar lah. Aku ingin membuka lembaran baru bersamanya tanpa harus terus dibayangi dengan masa lalu. Dokter bilang hari ini hasil tes DNA Azima ke luar. Aku dan ibu pun ke rumah sakit mengambil hasil tes itu sebagai bukti kuat siapa sebenarnya ayah bayi mungil itu, sementara Nila dan bapak ada di rumah menjaga Azima. Bayi prematur memang sedikit lebih ribet merawatnya dibandingkan bayi yang terlahir cukup bulan. Arnila pun kadang melamun, entah apa yang sedang dia pikirkan. Sepertinya dia kelelahan. Ibu memang membantunya setiap waktu namun Azima
Pov : Dimas Detik ini, hatiku berdebar tak karuan. Aku seperti kehilangan muka karena terpaksa bertamu ke rumah Lisha, bukan untuk sekadar silaturakhim melainkan untuk pinjam uang. Ingin rasanya pinjam ke papa, tapi aku takut mendapat makiannya. Mungkin lebih baik pinjam ke Lisha saja, yang penting aku bisa dapatkan Azima kembali. Anak itu tak bersalah, tak pantas ikut merasakan perseteruan orang tuanya. Satpam rumah Lisha -- Pak Joni pun membukakan gerbangnya untukku. Dia tersenyum tipis sembari menganggukkan kepala, masih begitu hormat meski aku tak lagi menjadi majikannya."Maaf, Pak. Apa Lisha ada di rumah?" tanyaku singkat.Kulirik mobilnya yang masih parkir di garasi, sepertinya dia memang masih seperti dulu, sering kali di rumah bila weekend tiba. Jam di tangan menunjuk angka sembilan lebih sedikit. "Mbak Lisha ada di dalam, Pak. Baru saja pulang joging dengan Pak Bos dan Dokter Akbar," ucap Pak Joni lagi. Mendengar nama Dokter Akbar, entah mengapa masih ada rasa cemburu d
POV : Dimas"Kurang ajar! Mana anakku, Bram? Kamu apakan dia?" tanyaku ketus sembari menampar pipinya sekali.Brama kembali terbahak tanpa peduli dengan kebingungan dan kekhawatiranku. Kaki kanannya mengalirkan darah. Om Yudha bilang, terpaksa menembak kakinya karena dia berusaha melarikan diri dengan koper uang itu. Tak berselang lama tempat kejadian mulai ramai dengan warga. Aku berulang kali menanyakan keberadaan Azima namun Brama hanya terbahak seperti orang gila. Mungkin dia memang benar-benar sudah gila. Bahkan saat polisi dan warga membantuku mencari Azima di gedung tua itu, Azima tetap tak ada di sana. "Mungkin di panti asuhan Cinta Bunda, Mas. Kemarin Bu Eny-- pengurus panti bilang menemukan bayi di depan pintu panti asuhan. Cek saja dulu barang kali itu memang bayi yang mas cari," ucap seorang warga. Aku melotot kaget mendengar kabar itu. Gegas pamit ke Om Yudha untuk mencari Azima di sana. "Membu$uk di penjara kamu, Bram!" Bentakku sengit lalu meninggalkannya. Aku harus
Pov : DimasJarum jam menunjuk angka tujuh. Kulihat Arnila belum juga beranjak dari tempat tidurnya. Dia masih terdiam di sana dengan melipat kedua kaki. Pandangannya kosong ke depan. Datar, tanpa ekspresi. Sejak kepergian Azima seminggu yang lalu, Arnila memang masih sangat depresi. Dia sering mengamuk dan melempar barang-barang di sekitarnya. Tak hanya itu saja, beberapa kali kutemukan dia berusaha menyakiti dirinya sendiri dengan gunting. Sebab itulah, benda-benda tajam di kamar ini aku simpan serapat mungkin agar tak terlihat olehnya. Kubuka pintu perlahan, membawakan bubur ayam untuknya. Bubur langganan yang biasanya sangat dia suka. Seketika dia mendongak. Menatapku dengan tajam tanpa berkedip sekian detik lamanya. Hening. Tak ada tanya atau sapa darinya. Aku masih berusaha untuk tersenyum, sembari membawa mangkuk berisi bubur itu ke meja di sebelahnya. "Selamat pagi, Sayang. Kamu sarapan dulu, ya? Ini aku bawakan bubur langganan kesukaanmu. Aku suapi ya?" ucapku selembut m
Pov : Dimas "Dim, jangan lupa rumah ini belum lunas pembayarannya. Kamu sudah menunggak tiga bulan. Bapak harap tanggal 10 nanti kamu bisa mencari dana untuk membayarnya. Bapak nggak ingin debt collector datang mengusir kita." Pesan dari bapak kemarin membuat kepalaku pusing. Rumah itu cicilan bulanannya hampir satu juta dan sekarang sudah menunggak tiga bulan karena aku tak bekerja. Darimana aku mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat coba? Sementara keadaanku sekarang masih seperti ini. Menjadi pekerja lepas di Sasmita WO juga hanya beberapa kali dalam seminggu, dengan gaji tiga ratus ribuan per hari. Hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari, itupun pas-pasan. Sungguh, kehidupanku kini terlalu berbeda dengan kehidupanku yang dulu saat bersama Lisha. Benar-benar bertolak belakang. Berbeda 180 derajat lah. Kadang aku ingin kembali seperti dulu. Berandai-andai begini dan begitu, tapi saat sadar hanya bisa pasrah. Buat apa berandai-andai segala. Semua sudah terjadi d
Pov : Lisha|Jangan merebut kebahagiaan orang lain, karena bisa saja esok atau lusa kebahagiaanmu direbut orang pula|Sebuah pesan masuk ke ponselku. Tanpa nama. Entah dari siapa. Awalnya aku memang tak terlalu peduli. Namun akhir-akhir ini pesan itu semakin sering muncul di whatsappku.Aneh. Padahal aku tak suka memberikan nomer ponselku ke sembarang orang, tapi kenapa dia tahu nomerku? Tahu darimana coba? Apa ini bidan Anita lagi? Seperti hari-hari sebelumnya dia memang sering mengirimiku pesan mirip seperti ini. Dia bilang memiliki hubungan khusus dengan Bang Akbar padahal ternyata hanya berteman karena kerja di lingkungan yang sama. Hanya seputar rekan kerja saja, tak lebih dari itu. Namun aku dan dia sudah bertemu sebelumnya. Bahkan Bang Akbar pun sudah memperkenalkanku dengannya kemarin. Tak ada yang aneh dari Bang Akbar meski kulihat bidan Anita sedikit gugup saat laki-laki itu memperkenalkanku sebagai calon istrinya. Jika memang Bang Akbar memiliki hubungan spesial dengan
"Maaf, Lisha. Apa aku mengganggumu?" Laki-laki itu entah mengapa mendadak begitu ramah dan sopan sejak kugugat cerai. Mungkin dia memang sudah menyadari semua kesalahannya selama ini atau sadar jika hanya aku yang selalu membantunya saat dia kesusahan. Meskipun berulang kali dia menyakitiku tapi tetap saja aku menolongnya di saat terpuruk. Bukan karena cinta, hanya saja ada rasa tak tega sebagai sesama manusia. "Silakan duduk, Mas. Ohya, Bi. Tolong buatkan minuman sama bawakan camilan, ya?" ucapku kemudian. Bi Minah mengangguk pelan lalu undur diri untuk menyiapkan hidangan yang kuperintahkan. "Tak perlu repot-repot, Sha. Aku cuma sebentar kok," ucap Mas Dimas dengan senyum tipisnya. Dia sedikit gelisah saat aku menyambutnya seperti biasa menyambut tamu yang lain. Mungkin dia pikir aku sudah tak marah atau kecewa, padahal dalam hati rasa itu tetaplah ada. Aku hanya menghormatinya sebagai tamuku, itu saja. "Nggak repot, memang wajibnya menjamu tamu," balasku singkat. Kulihat