"Jangan bertengkar lagi, malu dilihat semua orang... Kemejamu juga jadi kotor." Tiana mengelap kemeja Aldrich yang kotor karena jus jeruk menyumpahinya. Laki-laki itu diam tidak menjawab. Dia masih marah dan kesal, namun hanya diam saat bersama Tiana belum lagi gadis itu kini mengomelinya habis-habisan. "Sudah-sudah, jangan marah lagi." Tiana memeluk tubuh Aldrich dan tidak peduli kemeja basah itu akan mengotori jaketnya. "Kemejaku kotor Sayang," bisik Aldrich tertunduk mengusap pucuk kepala Tiana. Gadisnya tetap diam dan tidak mengatakan apapun. Namun detak jantung Tiana yang berpacu mampu Aldrich rasakan saat ini. Ia pun memeluk Tiana dengan erat, mengusap punggungnya lembut. "Tidak papa. Semuanya sudah berakhir dan tidak ada keributan lagi, jangan takut," bisik Aldrich mengecup pucuk kepala Tiana. "Jangan seperti itu lagi ya, kau bisa menegurnya hati-hati, bukan malah marah seperti tadi, Aldrich..." Tiana meremas kemeja yang Aldrich pakai. "Maafkan aku, Tiana." Laki-laki i
"Aldrich ngapain ke sini tidak bilang-bilang sih, Tiana belum dandan!" Gadis cantik itu menatap kekasihnya yang baru saja datang dan sudah rapi dengan pakaian formalnya. Dia hanya tersenyum melihat Tiana yang nampak tengah kebingungan dan heboh sendiri. "Tidak berdandan pun kau masih tetap cantik, Sayang..." Aldrich mengusak gemas pucuk kepala Tiana. "Ihhh... Ya jelas tidak! Kalau tidak pakai make up pasti Tiana jelek sekali." "Sudah ayo masuk," ajak Aldrich mengajak Tiana masuk ke dalam rumahnya. Di dalam rumah ada Sebastian yang hendak berangkat ke kantor, laki-laki itu melihat Tiana yang nampak digodain oleh Aldrich saat ini. Nampak Aldrich yang begitu hangat dan sangat perhatian, dia menggoda Tiana menarik pipinya, mengacak rambutnya, dan membuat Tiana cemberut sebelum Aldrich itu pula yang memberikannya sebuah pelukan agar tidak marah. "Cepat masuk ke dalam rumah dan mandi, aku akan mengajakmu ke suatu tempat," ujar Aldrich pada Tiana. "Memangnya mau mengajakku ke mana?"
Suara bell pintu rumah Aldrich berbunyi, sampai sore pun Tiana masih di sana menemani Aldrich yang baru saja kembali dari kantor setelah berangkat sedikit lebih siang. Tiana membuka pintu rumah itu dan melihat dua orang wanita dewasa kini menatapnya seraya membawa beberapa tas."Selamat sore, ini kediaman Tuan Aldrich, kan?" tanya salah satu wanita berambut pirang itu. "Ya, benar. Ada perlu apa ya?" tanya Tiana bingung. "Oh maaf mengganggu waktu Nona, apa Kakak Nona ada? Saya sudah membuat janji dengan Tuan Aldrich sore ini," jelas wanita itu. Tiana masih bingung. Mereka membuat janji apa dengan Aldrich, dua wanita dewasa dan modis, belum lagi mereka menganggap kalau Tiana adalah adik dari Aldrich. Sungguh menjengkelkan sekali baginya. Ia membuka pintu lebar-lebar dan meminta mereka untuk masuk ke dalam rumah. "Silakan masuk, biar saya panggilkan Aldrich," pamit Tiana. "Baik Nona, terima kasih." Tiana pun bergegas naik ke lantai dua, ia membuka pintu kamar dan melihat Aldrich
"Tiana mana Mi? Kok rumah tumben sepi begini sih?" Tino menatap ke dalam rumah menatap ke arah Mami dan Papinya yang tengah duduk berdua di ruang keluarga menonton sebuah acara. "Adikmu tidak mau pulang di tempat Aldrich, katanya dia masih marah padamu," jawab Sebastian. "Ohh..." Hanya jawaban itu yang terdengar dari Tino. Pemuda itu kembali masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya. Pemandangan ini di luar dugaan Shela dan Sebastian, karena biasanya kalau adiknya tidak di rumah, maka Tino pun juga ikut tantrum rasanya. "Tumben dia tidak protes," gumam Sebastian. "Mungkin sedang ada masalah di kantornya," jawab Shela lirih. "Entahlah... Apa jangan-jangan dia kesal juga dengan Tiana?"Shela menatap suaminya. Sebastian mendengkus pelan dan menggeleng. "Mereka sudah dewasa Sayang. Tidak papa, lagipula kalau Tiana sudah menikah pasti dia juga akan merindukan adiknya, Sayang." Mendengar apa yang Sebastian katakan membuat Shela paham dan membenarkannya. Namun tak lama setelah
Meeting telah berakhir setengah jam yang lalu. Di dalam sebuah ruangan hanya ada Aldrich, Sebastian, dan juga Ferdi. Mereka baru saja membahas sebuah proyek penting yang akan mereka kerjakan di bulan-bulan ini. Aldrich mengusap wajahnya pelan, menjelang hari pernikahannya banyak sekali pekerjaan, dan waktunya dengan Tiana pun juga berkurang. "Biar Opa yang membawa dokumen hasil keputusan persetujuan, nanti akan Opa minta orang-orang kepercayaan Opa untuk mengerjakannya. Sisanya kau tangani dengan Papa mertuamu," ujar Ferdi meraih beberapa berkas. "Iya Opa. Tapi aku mungkin masih belum bisa menyelesaikan semua ini dalam satu Minggu ini." Aldrich menatap frustrasi tumpukan berkas di depannya. Melihat ekspresi Aldrich yang tertekan membuat Sebastian tertawa. "Al, urus saja keperluan pribadimu mana yang penting untuk bulan ini. Biar Papi sama Om Vir yang menangani urusan kantor. Kan Papi sudah bilang, menjelang pernikahanmu, kau sibuk. Iya kalau Papi sibuk, ada Mami Shela yang jadi b
Usai membersihkan tubuhnya, Aldrich langsung bergegas ke lantai satu di mana Tiana sedang menunggunya untuk makan malam bersama. Gadis itu tengah menyiapkan nasi dan lauk untuknya. "Sudah selesai," ujar Tiana begitu Aldrich mendekat. "Heem," jawabnya bergumam. Tiana tersenyum manis dan ia duduk berhadapan dengan calon suaminya tersebut. Baru Aldrich sadari kalau meja makannya kini dihias seolah-olah seperti rumah makan megah. Lilin hias, bunga-bunga, dan makanan yang lezat terhidang. "Ide siapa semuanya ini, Sayang?" tanya Aldrich tersenyum gemas. "Tentu saja ideku sendiri! Karena aku tahu kau pasti lelah kalau aku ingin mengajakmu dinner di luar. Jadi kita dinner di rumah saja, kan sama saja seperti makan malam di luar dengan hiasan seperti ini. Apalagi ini masakan spesial dariku, untuk calon suamiku yang baik!" seru Tiana berbunga-bunga. Wajah Aldrich menjadi teduh, ia tidak bisa mengungkapkan rasa terima kasihnya karena telah memiliki seorang wanita seperti Tiana. "Aku tid
"Papa dan Mama tidak pulang?! Sepuluh hari lagi aku dan Tiana akan menikah, bagaimana kalau kalian tidak datang?!" Aldrich marah-marah pada Papanya melalui sambungan telepon. Ia sengaja keluar dan duduk di teras samping rumah, karena tidak mau Tiana bangun hanya mendengar obrolan pertengkaran tersebut. "Papa sibuk, Aldrich! Kalau sempat Papa ke sana, kalau tidak biar Papa meminta seseorang untuk datang." "Pa! Aku ini anakmu, Pa! Bagaimana bisa Papa sejauh ini..."Aldrich tidak mampu berkata-kata, dia mengusap wajahnya dan tertunduk putus asa. Padahal mulanya dia pikir Papanya akan memudahkan ia dan Tiana setelah terlepasnya dari perjodohan dengan Sarah. Beberapa orang kepercayaannya Aldrich di dalam bisnis pun sampai Aldrich berikan pelukan besar bekerja sama dengan Papanya setelah Ayah Sarah memutuskan untuk tidak lagi bekerja sama. Malah perusahaan milik Papa Aldrich berjalan lebih lancar sekarang ini dibandingkan kapan hari. "Aku tidak tahu harus membujuk Papa yang bagaimana l
"Heh, Lalat Buah... Semalam kau tidak macam-macam dengan adikku, kan?!" Tatapan tajam Tino tertuju pada Aldrich yang duduk di depannya. Di samping Aldrich ada Tiano yang memangku laptop. Aldrich mendengkus kesal. "Tanyakan sendiri pada adik kembaranmu. Aku apakan dia," seru Aldrich menjawabnya. "Halah wajah-wajah suka mencari kesempatan dalam kesempitan, sudah terlihat!" seru Tino menuduhnya. "Kau sendiri, ke Italia ngapain? Ngurung anak orang ya, kabarnya?" sindir Aldrich. Tiano langsung menoleh. "Ngurung anak orang?" "Tidak! Jangan dengarkan Lalat Buah!" pekik Tino mengelak. Aldrich langsung tertawa, mereka yang seumuran adik bagi Aldrich sangat lucu bila dalam keributan seperti ini. Sampai akhirnya muncul Tiana membawa sebuah nampan berisi camilan dan jus. Gadis itu langsung mengambil posisi duduk di samping Aldrich, bersandar di lengan calon suaminya. "Kakak nanti berangkat lagi, Tiana. Papi dan Mami belum kembali, ikut dengan Aldrich lagi ya," ujar Tino. Kedua mata Tian