"Obatnya sudah dibawa? Sudah makan, kan?" Tiano menatap Tiana yang kini masuk ke dalam mobilnya. Gadis itu mengangguk dengan sangat antusias dan senang. Bagaimana Tiana tidak kesenangan saat Papinya memberikan izin pergi ke perpustakaan, asalkan di sana Tiana bersama Renhard. Dan Syukurlah Renhard mau menemani Tiana. "Nanti jangan pulang kalau Kakak belum ke sana, atau telfon Kakak saja, ngerti?" seru Tiano menasihati Tiana. "Iya Kak." Gadis itu sibuk dengan ponselnya. "Bagus." Setelah beberapa menit, akhir mobil milik Tiano baru sampai di sebuah gedung perpustakaan besar di kota. Tiana melambaikan tangannya pada Tiano. Sang kembaran pun langsung bergegas pergi seketika, dan Tiana masuk ke dalam perpustakaan sendirian. Pandangannya mengedar, dia mencari Renhard di sana. "Sepertinya Renhard belum datang," gumam Tiana cemberut. Gadis itu mengambil tempat di dekat dinding kaca dan diam di sana setelah memilih beberapa buku. Tiana mengucek kedua matanya berkali-kali, ia merasa m
Sebastian kebingungan mencari Tiana yang sejak siang pergi, tapi nyatanya di perpustakaan sore ini pun tidak ada. Dia mencari putrinya ke mana-mana, hingga Tiano menghubungi Renhard dan sahabat Tiana itu mengatakan kalau Tiana dibawa oleh Aldrich. Sebastian yang marah, dia mendatangi kediaman Aldrich dan akan membawa pulang putrinya. "Jangan marah-marah di rumah orang Pi, ingat..." Tino yang ikut bersamanya, dia berkali-kali mengingatkan Papinya. "Bagaimana tidak marah! Adikmu dibawa sama Aldrich, kalau terjadi sesuatu bagaimana?! Tiana itu sedang tidur dibawa sama Aldrich, kenapa pula Tiana pergi pagi-pagi sekali setelah minum obat! Ya ampun, ada-ada saja!" kesal Sebastian mengumpat berkali-kali. Tino merotasikan kedua matanya jengah. "Pi, Aldrich tidak mungkin macam-macam dengan Tiana, Pi. Percaya deh!" "Kau itu anak Papi atau bukan sih?! Dari tadi malah terkesan nyalahin Papi!" omel Sebastian. "Halah... Terserah Papi lah!" amuk Tino mendengkus kesal. Cukup lama perjalanan
Aldrich menceritakan semuanya pada Tiana, tentang hubungan mereka yang tenggang, juga tentang Sarah, wanita yang Aldrich belikan hadiah boneka kapan hari. Karena laki-laki itu tidak mau membuat Tiana bertambah sedih, akhirnya Aldrich berinisiatif pergi pagi ini untuk membelikan Tiana boneka juga, bahkan saat Tiana masih tidur. Hingga Tiana bangun, Aldrich belum juga kembali. Tiana merasa ada yang tidak beres dengan semua ini. "Ke mana Aldrich? Kenapa Tiana ditinggal sendirian di sini?" gumam gadis itu dengan wajah bingung. Tiana keluar dari dalam kamar, Di sana ia melihat makanan yang sudah tertata rapi di meja makan. Gadis itu masih kepikiran orang tua dan kembarnya. Tiana mencoba menghubungi Mami, Papi, dua kembarannya pun tak bisa. "Aldrich, ada apa sih?" Tiana bingung sendiri. "Dia ke mana?" Langsung Tiana mendekati meja makan, gadis itu mendapati secarik kertas di atas meja. 'Sarapan yang kenyang, minum obat, dan istirahat lagi. Aku akan kembali pukul sembilan nanti.' Tia
Tiano berjalan masuk ke dalam sebuah klub malam, dia tahu sedikit tentang pemuda bernama Samuel Lionel, adik dari atasannya di akademi militer. Sampai akhirnya Tiano masuk ke dalam tempat itu dan menepuk sosok orang yang ia cari, laki-laki yang kini tengah minum-minum dengan beberapa temannya."Samuel!" Tiano menarik pundak laki-laki itu hingga membuatnya menoleh cepat. Dia ternganga sejenak dan mengarahkan telunjuknya pada Tiano."Kau..." "Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, ikut denganku!" Tiano, langsung menarik bagian belakang krah kemeja yang Samuel pakai. Dan bodohnya Samuel tidak melawan sama sekali, dia ikut bersama dengan Tiano keluar dari dalam tempat itu. Mereka berdua kini berada di luar klub dan berdiri di tempat yang sepi. Samuel mengenali Tiano, dia bisa membedakan mana Tino dan Tiano, apalagi Tiano adalah rekan Kakak Samuel. "Ada apa?" tanya Samuel sedikit gugup karena Tiano sosok yang sangat tegas. "Kau tahu di mana Aldrich?!" tanya Tiano. "Aldrich? Bukanny
Sebastian berlari masuk ke dalam sebuah lorong apartemen bersama Vir setelah ia mendapat telfon dari Tiano di mana apartemen milik Aldrich tempat Tiana berada. Mereka berdua masuk ke dalam lift dengan perasaan tak karuan. "Semoga putriku tidak papa... Ya Tuhan, Tiana!" Sebastian panik tak terkira. "Tenang Bas, Tiana pasti baik-baik saja." Vir menenangkan Sebastian berkali-kali. Sampai tiba akhirnya mereka tiba di lantai tempat apartemen Aldrich berada. Tepat di nomor dua. "Di sini!" Vir menepuk pundak Sebastian. Mereka menarik gagang pintu di depannya dan tidak bisa dibuka juga. Sebastian menekan bell yang ada di depannya, ia tahu Tiana-nya sedang dikunci di dalam sana, gadis itu pasti sekarang sangat ketakutan. Sementara Tiana di dalam tempat itu, dia terbangun dari tidurnya beberapa menit yang lalu, Tiana kini tengah duduk di ruang makan menangis kebingungan. "Siapa yang datang," gumam gadis itu dengan rasa takut luar biasa. Tiana melangkah ke depan, gadis itu menyentuh pi
"Kau pikir dengan apa yang kau lakukan kau pantas bersanding Tiana! Dasar bodoh!" Teriakan itu bergitu keras menampar Aldrich yang baru saja bangun dari tidurnya. Dia terkejut begitu bangun ada di rumahnya, bukan di apartemen. Dan amukan sang Papa yang membuat Aldrich sadar, Tiana sudah tidak lagi ada bersamanya saat ini. "Kau membuat keluarga kita malu, Al! Di mana otakmu itu, hah?!" teriak Roghan lagi dan lagi. "Jangan diam saja, katakan sesuatu. Jelaskan pada Mama dan Papa, Aldrich!" Emma mendorong-dorong dan memukuli punggung Aldrich berulang kali. "Kalian memutuskan perjodohanku dengan Tiana tanpa memberitahuku. Tiana menjauhiku karena itu, hanya karena dia sakit, Mama dan Papa beranggapan kalau Tiana akan mati! Di sini kalian yang jahat, bukan aku. Aku hanya ingin mengambil apa yang harusnya menjadi milikku." Aldrich menjelaskan dengan sangat putus asa. Bahkan Emma sampai mengusap wajahnya berkali-kali, dia tidak habis pikir saja dengan apa yang Aldrich lakukan. "Tapi tid
"Kenapa kau mengikutiku terus? Aku hanya ingin jalan-jalan di taman saja kok! Aarrgghh... Merepotkan sekali!" Tiana memasang ekspresi kesal pada Legolas, sang pengawal pilihan Kakeknya. Laki-laki tampan itu hanya diam, seperti patung arca, hanya saja dia bergerak dan mengikuti Tiana seperti hantu. "Legolas! Ihhhh pergi sana, jangan ikuti Tiana dong!" Tiana menoleh ke belakang memasang wajah galak pada Legolas yang hanya menatapnya datar. "Tapi Tuan Graham yang akan memarahi saya kalau Nona tidak saya awasi," jawab laki-laki itu. Tiana menaikkan dagunya dengan wajah angkuh, tapi di mata Legolas, laki-laki dua puluh lima tahun itu, Tiana masih terlihat seperti anak kecil yang memang patut dijaga. Apalagi dia memiliki penyakit yang cukup keras. "Hemm, aku itu sudah dewasa tahu! Sudah delapan belas tahun dua hari lagi! Jadi aku bisa menjaga diriku sendi- akhhh...!" Gadis itu memekik keras, hampir saja Tiana terjungkal andai Legolas tidak menarik lengannya, lantai rumah kaca yang li
"Laki-laki bernama Aldrich itu mencintai Nona Tiana secara ugal-ugalan. Hemm... Hebat!"Kedua mata Tiana memicingkan begitu Legolas malah menyanjung sikap Aldrich seperti yang sejujurnya Tiana ceritakan dari awal mengenal Aldrich hingga detik ini. Tiana mendengkus pelan. "Hebatnya dari mana, dia mengunciku di apartemennya tiga hari! Aku tidak boleh pulang bertemu Mami dan Papi, bagimu apa itu hebat?!" "Bukan, maksud saya bagus karena tidak semua laki-laki akan memiliki perasaan dan cinta seperti Aldrich." Legolas menyandarkan punggungnya. "Hah?" Kedua mata Tiana melebar perlahan. Legolas tersenyum dan jemarinya mengetuk meja kayu di hadapannya. Pandangannya jauh menerawang dan kemudian dia kembali menatap Tiana. "Nona Tiana, tidak semua laki-laki memiliki kesetiaan yang tinggi. Apalagi Nona dan Aldrich sudah mengenal sejak kecil, tapi dia masih tetap menjadikan Nona sebagai cinta pertamanya dan konsisten dalam mencintai. Saya rasa, saya juga akan menjadi seperti Aldrich bila pert