"Kek, aku ikut tinggal di sini juga ya? Please... Aku tidak akan merepotkan kalian! Boleh ya, Kek..." Tino nampak tengah merayu-rayu Graham, jujur saja kalau dia merasa kesepian di rumahnya. Tiano, kembarannya yang satu itu pendiam, belum lagi dia aktif di kemiliteran. Papinya juga sibuk di kantor, Maminya sibuk di toko roti. Dan Tino di rumah sering kali menghabiskan waktunya seperti pengangguran tidak jelas meskipun ia bekerja. "Kek... Boleh ya? Cucu sendiri masak tidak boleh, sih? Sayang tidak sih sama Tino? Masak sayangnya sama Tiana si manja itu saja?" Tino menatap sang Kakek dengan bibir manyun. Graham memijit pelipisnya pelan. "Kau ini, astaga Tino..." "Iya dong! Kan Tiana Cucunya Kakek dan Nenek!" sahut Tiana, gadis itu berjalan seraya menarik lengan Legolas. Tino merotasikan kedua matanya jengah, sungguh Tiana kini menyebalkan sekali. Tino semakin niat dan antusias berdebat dengan kembarannya tersebut. Kini Tiana duduk di salah satu kursi di ruang makan, dia menatap be
"Apa kau tidak menemukan informasi apapun tentang Tiana dan keluarga Morgan? Tidak ada bocoran sama sekali di mana dia?" Aldrich menatap dua orang laki-laki berpakaian hitam di hadapannya yang kini tengah melaporkan apa saja yang dia cari. Dua laki-laki itu menggelengkan kepala dengan serius. "Maaf Tuan Aldrich, kami benar-benar tidak mendapatkan informasi apapun. Bahkan saat kami meminta seseorang menyelidiki di Prancis, nampaknya keluarga Morgan di sana juga masih sama, beraktivitas seperti biasanya. Kalau Nona Tiana ada di sana, sudah jelas Nyonya Monica akan menjaganya, tapi kali ini Nyonya Monica masih keluar masuk kantor." Penjelasan anak buahnya itu membuat Aldrich menyergah napas panjang. Kepalanya sungguh pusing memikirkan di mana Tiana-nya berada. Aldrich mungkin merelakan Tiana pergi ke mana saja gadis itu berada, tapi hal yang tidak bisa ia terima adalah di mana kini gadisnya itu berada. "Ke mana mereka menyembunyikan Tiana dariku?" Aldrich menjentuskan kepalanya di
Beberapa Bulan Kemudian..."Mami sama Papi menginap di sini beberapa hari saja dulu ya, temani Tiana..." Gadis itu mencekal lengan Shela dan memeluknya, untuk pertama kali setelah Tiana tinggal lima bulan di Prancis, dia dikunjungi oleh Mami dan Papinya. Shela memeluk gadis itu dengan erat, ia sangat merindukan Tiana. Kabar Tiana jatuh sakit membuat Sebastian dan dua anaknya langsung pergi ke Prancis menjenguk Tiana. "Iya Sayang, Mami sama Papi akan di sini. Tiana jangan sakit-sakit lagi dong, Mami kan kepikiran nak," ujar Shela mengusap kedua pipi putih Tiana. "Iya Mi, maaf. Tiana juga tidak tahu kenapa kemarin Tiana pulang kuliah langsung pingsan." Gadis itu cemberut. "Jangan terlalu lelah, ikut kelas tambahan lagi?" Sebastian menatap tajam sang putri. Dengan rasa takut Tiana mengangguk. "Ta-tapi cuma sebentar kok, Pi..." "Kan Papi sudah bilang! Kalau sakit it-""Sudah Pi, jangan marah. Dia sakit, kalau Papi marah dia makin pusing!" sahut Tino melirik sang Papi. "Tahu si Pap
Hari Rabu pagi Tiana sudah pulang dari rumah sakit. Gadis itu kini merasa senang karena Maminya akan menetap di Prancis selama beberapa hari sampai kondisi Tiana benar-benar pulih. Gadis itu juga tidak boleh melakukan apapun untuk sementara waktu. "Kalau sudah di rumah, jangan melakukan apapun. Diam saja di dalam kamar, ngerti!" tegas Tino yang kini menggendong Tiana. "Iya, iya... Kak Tino tidak capek ya, dari tadi marahin Tiana terus," protes gadis itu cemberut. "Ya lagian, yang sakit kepalanya, jalan saja tidak mau! Ini kaki genap dua, panjang pula, tapi tidak berguna, potong aja sekalian!" seru Tino. Tiana menoleh ke belakang. "Pi, nakal nih..." "Sudah, sana naik ke atas dengan Kakakmu," ujar Sebastian. Tino memasang wajah jahil dan menjulurkan lidahnya pada Tiana. Dia tahu Tiana berharap Tino akan dimarahi oleh Sebastian meskipun nyatanya tidak. Mereka berdua berjalan masuk ke dalam kamar, Tiana meletakkan dagunya di pundak Tino. "Kak Tino..." "Emm, apa lagi?" seru Tino
Tiana sedang memilih bunga tulip di sebuah toko bunga, namun gadis itu menoleh ke belakang saat dia merasa ada yang tengah memperhatikannya. "Ada apa, Nona?" tanya Legolas saat Tiana memperhatikan ke belakang terus menerus. "Seperti ada yang memperhatikanku," jawab Tiana langsung memeluk lengan Legolas. Laki-laki itu menoleh ke belakang, dia merangkul pundak Tiana. "Kita gegas pulang saja, Nona. Mungkin hanya firasat Nona Tiana saja," ujar Legolas menatap wajah resah Tiana. Gadis cantik itu menganggukkan kepalanya. "Iya. Langsung pulang saja, perasaanku juga mendadak tidak enak." Legolas segera membayar bunga tulip yang Tiana beli, mereka pun bergegas pergi dari sana dan segera pulang. Tiana tidak tahu siapa yang tengah memperhatikannya, namun firasatnya tidak pernah salah, ada seseorang yang tengah melihatnya tadi. **'Tiana, bersama seorang laki-laki? Bukan Tino ataupun Tiano, lalu siapa laki-laki itu? Secepat itu dia melupakan aku?! Mengapa... Mengapa Tiana?' Aldrich mengu
Saat jam kampus sudah habis, Tiana masih menunggu Legolas bersama dengan dua temannya. Mereka berdua duduk di depan sebuah halte dan nampak bercanda tawa bersama. "Tiana, bagi dong nomor telfon bodyguard-mu itu... Jangan pelit-pelit, katanya kita ini teman!" seru Anika merangkul Tiana. "Kalian ini! Kan Tiana sudah berkali-kali bilang kalau Legolas itu punya kekasih! Dia punya pacar yang jauh lebih dewasa dari kita!" balas Tiana pada mereka semua. "Huh, kebiasaan sekali Tiana. Nomor kembaranmu deh kalau begitu!" sahut Leana. "Hehh, kok malah melunjak sih! Kalau itu jelas tidak boleh!" seru Tiana memukuli lengan sahabatnya hingga tawa tercipta di antara mereka semua. Sampai akhirnya sebuah mobil berwarna putih milik Jannes datang. Leana dan Anika pun berpamitan untuk pulang lebih dulu pada Tiana. "Kita duluan ya, Tiana... Hati-hati!" pekik Jannes. Tiana mengangguk. "Iya, jangan khawatir." Mobil mereka pun berjalan pergi dan Tiana sendirian di sana. Cuaca memasuki akhir tahun jug
"Hahh, kenapa orang itu mengikutiku terus sih?! Siapa dia dan apa maunya?!" Tiana berlari di tengah hujan, dia mencari Legolas dan tidak berhasil menemukannya. "Legolas... Legolas di mana?!" Tiana berdiri di tengah jalanan yang sepi, di sebuah lorong gang. "Bu-bukannya tadi penjualnya ada di sekitar sini?! Kenapa sekarang tidak ada?!" Rasa bingung dan takut menyerang Tiana bersamaan, air hujan membasahi wajahnya, pandangannya buram karena kaca mata yang dia pakai kini basah. Tiana menoleh ke kanan dan ke kiri, dia melihat siluet seorang laki-laki yang sejak tadi mengikutinya. Begitu Tiana hendak berlari, dia tergelincir batu paving dan terjatuh. Hujan semakin deras tak terkira saat ini. Kaca mata bening itu jatuh, namun Tiana diam dan tidak berusaha mencarinya. Ia menundukkan kepalanya dan pikirannya seolah kosong. Hanya ada satu nama, Legolas, di mana dia kini?Suara langkah kaki mendekati Tiana. "Si-siapa..." Tiana mendongak, tapi pandangannya yang buruk membuat ia merasa perc
Angin berhembus dingin, Tiana takut untuk sekedar pergi ke kampusnya pagi ini. Bayangan bagaimana bila tiba-tiba saja Aldrich datang dan muncul di hadapannya, Tiana tidak siap untuk hal itu. "Nona Tiana," sapa Legolas mendekati Tiana yang melamun duduk di teras. "Ya?" jawab Tiana dengan ekspresi wajah bingung. "Nona Tiana tidak pergi bersiap untuk kuliah hari ini?" tanya laki-laki itu memperhatikan wajah pucat Tiana. "Kepalaku pusing, sepertinya karena aku kehujanan kemarin, Legolas," jawab Tiana tersenyum memamerkan gigi putihnya. Senyuman tipis terukir di bibir Legolas. Dia menarik satu kursi kayu dan langsung duduk di samping Tiana. Mereka berdua mengobrol hingga seorang pelayan muncul membawakan teko berisi teh. "Apa Nona masih memikirkan Aldrich?" tanya Legolas menebak dan ia pun sesungguhnya sudah tahu jawabannya. "Kenapa Nona mengabaikan dia kalau Nona masih mencintainya?" "Keluarganya tidak merestui, aku itu penyakitan," ujar Tiana menundukkan kepalanya. "Dia tidak pa