"Hahh, kenapa orang itu mengikutiku terus sih?! Siapa dia dan apa maunya?!" Tiana berlari di tengah hujan, dia mencari Legolas dan tidak berhasil menemukannya. "Legolas... Legolas di mana?!" Tiana berdiri di tengah jalanan yang sepi, di sebuah lorong gang. "Bu-bukannya tadi penjualnya ada di sekitar sini?! Kenapa sekarang tidak ada?!" Rasa bingung dan takut menyerang Tiana bersamaan, air hujan membasahi wajahnya, pandangannya buram karena kaca mata yang dia pakai kini basah. Tiana menoleh ke kanan dan ke kiri, dia melihat siluet seorang laki-laki yang sejak tadi mengikutinya. Begitu Tiana hendak berlari, dia tergelincir batu paving dan terjatuh. Hujan semakin deras tak terkira saat ini. Kaca mata bening itu jatuh, namun Tiana diam dan tidak berusaha mencarinya. Ia menundukkan kepalanya dan pikirannya seolah kosong. Hanya ada satu nama, Legolas, di mana dia kini?Suara langkah kaki mendekati Tiana. "Si-siapa..." Tiana mendongak, tapi pandangannya yang buruk membuat ia merasa perc
Angin berhembus dingin, Tiana takut untuk sekedar pergi ke kampusnya pagi ini. Bayangan bagaimana bila tiba-tiba saja Aldrich datang dan muncul di hadapannya, Tiana tidak siap untuk hal itu. "Nona Tiana," sapa Legolas mendekati Tiana yang melamun duduk di teras. "Ya?" jawab Tiana dengan ekspresi wajah bingung. "Nona Tiana tidak pergi bersiap untuk kuliah hari ini?" tanya laki-laki itu memperhatikan wajah pucat Tiana. "Kepalaku pusing, sepertinya karena aku kehujanan kemarin, Legolas," jawab Tiana tersenyum memamerkan gigi putihnya. Senyuman tipis terukir di bibir Legolas. Dia menarik satu kursi kayu dan langsung duduk di samping Tiana. Mereka berdua mengobrol hingga seorang pelayan muncul membawakan teko berisi teh. "Apa Nona masih memikirkan Aldrich?" tanya Legolas menebak dan ia pun sesungguhnya sudah tahu jawabannya. "Kenapa Nona mengabaikan dia kalau Nona masih mencintainya?" "Keluarganya tidak merestui, aku itu penyakitan," ujar Tiana menundukkan kepalanya. "Dia tidak pa
Dua Tahun Kemudian..."Tidak ada yang berubah, semuanya tetap sama." Tiana, gadis itu menatap sekitar dari jendela mobil. Dia kembali ke Inggris setelah dua setengah tahun tinggal di Prancis. Kini gadis itu menjadi sosok gadis yang sangat cantik berkaca mata, rambutnya panjang, tubuhnya kecil ramping, kulitnya putih, dia seperti boneka hidup. "Pak, tolong berhentikan saya di halte depan ya, Pak. Saya mau meminta jemput kembaran saya," ujar Tiana pada sang sopir taksi. "Baik Nona." Mobil taksi itu berhenti tepat di sebuah halte. Tiana pun langsung turun, dia membawa kopernya pink miliknya dan duduk di bawah pohon di musim semi pertama di Inggris. Angin pagi berhembus dengan sejuk dan segar menyapa Tiana. Gadis menatap anak-anak kecil pergi bersekolah. 'Rasanya seperti lama sekali aku tidak pulang. Padahal hanya beberapa tahun saja, kan? Kangen Mami, kangen Papi, kangen Kakak kembar...' Tiana mengeluarkan ponselnya, ia menghubungi Tino saat itu juga. "Halo, Kak Tino di mana?" t
"Cepat siap-siap, katanya ingin ikut menjemput Tiano!" Seruan keras itu terdengar dari Tino, dia yang kini menunggu Tiana di lantai satu. Dan akhirnya Tiana pun muncul tak lama kemudian. Gadis itu memakai dress floral berwarna kuning cerah, rambutnya diikat tinggi dan memakai kaca mata berbingkai emas. Dia, sangat cantik. "Sudah, ayo Mi, Pi," ajak Tiana pada orang tuanya. "Tiana satu mobil sama Tino ya," bujuk Sebastian. "Iya Pi." Gadis itu langsung menoleh pada Tino yang kini membuang muka. Sontak ia menarik lengan sang Kakak. "Sama adik tidak boleh begitu! Dosa!" seru Tiana. "Sok tahu banget bocah, pakai dosa-dosaan segala!" Tino menjitak kening Tiana. Gadis itu mendorong-dorong punggung Tino seketika. Memang tidak seru bagi mereka kalau tidak ribut. Mau tidak mau akhirnya Tiana satu mobil dengan Tino. Di dalam mobil itu, Tiana sesekali mengecek ponselnya. Dia banyak mengirimkan pesan pada Legolas kalau dirinya baik-baik saja. "Dia tidak bisa tenang sedikit atau bagaimana
Tiana gemetar memegang gagang pintu di balik tubuhnya saat sosok laki-laki itu berdiri menyapanya setelah dua setengah tahun mereka tidak bertemu. Seulas senyum terukir di bibir Aldrich, ia maju satu langkah dan membungkukkan badannya di hadapan Tiana. "Kau sama sekali tidak berubah, hem?" lirihnya. "Me-memangnya mau berubah jadi apa?!" pekik Alesha dengan wajah masam. "Aku suka dengan diriku yang sekarang, kau mengerti! Permisi!" Alesha melewati Aldrich begitu saja, tidak disangka-sangka kalau gadis itu akan memiliki nyali sekedar untuk mengabaikan seorang Aldrich Hubert. Meskipun kini Tiana merasakan dadanya bergemuruh dengan rasa tak karuan. Gadis itu kembali ke depan, ia langsung duduk di samping Maminya. "Kau tidak bertemu dengan Aldrich?" tanya Tiano menatap Tiana. "Tidak," jawab Tiana, dia berdusta dan menutupi semua rasa aneh yang bergelanyar di tubuhnya. "Syukurlah..." Tiana kembali fokus pada makanannya, sedangkan Papanya sibuk berbincang dengan Papa Aldrich, terny
"Jangan menangis, tidak sakit, Tiana..." Aldrich mengobati kaki dan tangan Tiana yang terluka. Hal itu membuat Aldrich juga merasakan cemas. Pasalnya Tiana menangis dan kesakitan. Luka lecet di pergelangan kakinya dibersihkan oleh Aldrich, memberikan obat yang ia bawa di mobilnya, karena selalu menyediakan. "Sakit tahu, Aldrich..." Tiana meringis dan memukuli lengan Aldrich. "Iya ini sudah pelan, Tiana. Tidak papa, jangan nangis." Laki-laki itu menatap wajah Tiana yang masam. Ingin sekali dia tertawa, namun Tiana pasti akan memakinya dengan kesal. Situasi ini membuat ia merasa senang bisa bersama Tiana, namun setengahnya lagi juga membuat Aldrich merasa sedih, gadis itu asing padanya. "Sudah," ucap Aldrich memasangkan plaster di kaki Tiana. "Tolong telefonkan Tino dan Tiano, suruh mereka menjemput Tiana di sini," pinta gadis cantik itu. "Biar aku yang mengantarkanmu pulang." "Aaaa... Tidak mau! Kalau begitu carikan taksi saja!" pekik Tiana cemberut. Dia tidak sadar dengan po
Pagi ini sesuai dengan janjinya kalau Tiano mendatangi sebuah tempat di mana ia membuat janji dengan Aldrich semalam. Di sebuah cafe, di sana Aldrich pun juga sudah menunggunya. Laki-laki dengan balutan tuxedo hitam itu memperhatikan Tiano yang masuk ke dalam tempat itu. "Hai, bagaimana kabarmu?!" Aldrich bangkit dari duduknya dan ia langsung berjabat tangan dengan Tiano. "Baik, lama sekali kita tidak bertemu heh!" Tiano tersenyum seraya duduk di hadapan Aldrich. Mereka memesan sebuah kopi, dan mengobrolkan tentang karier masing-masing, sebelum Aldrich tak sabar ingin bertanya apa yang membuat Tiano mengajaknya bertemu. Seperti yang semua orang tahu, termasuk Tiano kalau Aldrich bukanlah orang yang mudah diajak basa-basi."Apa ada masalah dengan Tiana?" tanya Aldrich menatap Tiano lekat-lekat. "Ya, aku hanya ingin bertanya sedikit saja denganmu." "Apa?" Tiano bingung ingin bertanya dari mana pada rekan sekaligus orang yang pernah seperti saudara dengannya ini. "Apa kau sunggu
"Hari ini Sarah ingin mengajakmu fitting baju pengantin, Al." Suara Emma membuka pintu kamar Aldrich, wanita itu menatap putranya yang kini duduk di sofa sembari membaca untuk berkali-kali semua surat milik Tiana. "Aldrich," panggil Emma lagi, apa itu? Apa yang kau baca?" Emma mendekat dan wanita itu bertemu tatap dengan sang putra. Aldrich menyergah napasnya berat. "Aku tidak bisa melanjutkan pertunanganku dengan Sarah, Ma," ujar Aldrich. "Apa maksudmu hah?! Jangan aneh-aneh, Al!" seru Emma seraya menyahut kertas di tangan Aldrich. Wanita itu membacanya, semuanya. Satu persatu dan ia menatap Aldrich dengan tatapan bingung. Putranya pun hanya diam dengan wajah datar penuh kekecewa. Sebuah kebohongan yang tertutup dengan rapi dan bersih seperti sesuatu yang suci, tersembunyi dan seolah sampai kapanpun tidak akan bisa terbongkar. "Al, i-ini milik Tiana?" tanya Emma menunjuk kertas di tangannya. "Heem. Tiano yang memberikan ini padaku." Aldrich beranjak dari duduknya dan menatap