Petang-petang sekali Sebastian dan Shela mendatangi rumah Tino. Sepanjang jalan Sebastian sudah marah-marah, Shela hanya bisa menundukkan kepalanya antara menahan amarah dan menangis memikirkan di mana Irish berada. Sesampainya di rumah Tino, keduanya mendengar keributan hebat di sana. "Siapa yang menyuruhmu di rumahku, wanita sialan!" teriak Tino mendorong Felia di sofa. "Tino, semalam aku-""Beraninya kau! Pergi dari rumahku!" teriak Tino. Teriakan keras Tino membuat Sebastian dan Shela masuk ke dalam rumah, sampai akhirnya seorang gadis berlari berpapasan dengan Shela dan Sebastian. "TINO!" teriak Sebastian berjalan penuh amarah mendekat putranya. PLAAAKKK....Suara tamparan yang sangat renyah di telinga. Shela hanya diam memejamkan kedua matanya, kali ini dia tidak akan membela putranya. "Brengsek!" umpat Sebastian mencengkeram erat krah kemeja yang Tino pakai. "Pi, aku bisa jelaskan semuanya!" pekik Tino. "Apa lagi hah?! Sekarang Papi tanya padamu, di mana Irish?!" teria
"Nona Irish demam tinggi, mungkin karena kedinginan dan kondisi tubuhnya yang menurun drastis. Lebih baik untuk istirahat yang cukup dan jangan terlalu banyak pikiran." Dokter menjelaskan kondisi Irish setelah Shela dan Sebastian memanggil dokter ke ruang mereka. Mereka berdua merasa sedih, menatap Irish yang tengah tertidur nyenyak dengan wajah pucat. "Terima kasih, dok," ucap Shela lirih. "Iya Nyonya, sama-sama." Dokter pun keluar dari dalam kamar, kini hanya ada Shela dan Sebastian, juga Irish. Shela mengusap pucuk kepala Irish dengan lembut. "Biarkan dia di sini sampai sembuh, jangan biarkan dia tinggal dengan Tino," ujar Shela menatap Irish. "Ya," jawab Sebastian singkat. "Ayo kita keluar, biarkan Irish istirahat. Ayo Sayang." Sebastian mengulurkan tangannya pada Shela. Barulah Shela ikut bersama suaminya. Mereka berdua keluar dari dalam kamar Irish, keduanya menuju ke lantai satu dan melihat siapa yang datang. Shela masih kesal dan enggan berbicara dengan Tino. Rasany
Mendengar kata perceraian dari Irish membuat Tino melebarkan kedua matanya. Namun detik selanjutnya Tino terkekeh seperti orang yang tidak bersalah. "Bercerai?" Tawa pelannya terasa kesal. Laki-laki itu menatap Irish dan menangkup satu pipinya. "Hanya karena sebuah kesalahpahaman kau langsung ingin bercerai?" Irish melepaskan tangan Tino dari pipinya. "Bu-bukannya dengan be-begitu kau menjadi se-senang? La-lagipula aku juga ti-tidak ada artinya u-untukmu." Tino menatapnya dalam-dalam sebelum laki-laki itu meraih mangkuk berisi sup yang kini sudah hangat. "Sudahlah, jangan membahas perceraian. Jangan kekanakan Rish, cerai bukanlah hal yang bisa menyelesaikan masalah!" seru Tino dengan nada menekan. Hati Irish seperti di remas kuat. Ia tidak tahu, tidak mengerti, sebenarnya apa yang Tino inginkan. Laki-laki itu hendak menyuapinya, dengan cepat Irish merebut mangkuk di tangan Tino dan memangkunya dengan hati yang terasa kosong. "Kau bisa pergi, tinggalkan aku sendiri," pinta Iris
"Irish sudah tidak sakit lagi, kan? Hihhhh aku cemas tahu!" Tiana yang asik berguling-guling di atas ranjang kamar Irish menatapnya dengan ekspresi kesal. Sejak pagi tadi, Aldrich sudah mengantarkan Tiana ke sini. Irish ikut berbaring dan menatap Tiana dengan kepala mengangguk. "Su-sudah tidak papa, Tiana." "Syukurlah!" Tiana tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya. "Andai saja Sora juga ada di sini, hemmm... Pasti ramai sekali rumah Mami." "Heem, Ti-Tiano mu-mungkin sibuk. A-aku juga ka-kangen dengan Sora." Pintu kamar terbuka tiba-tiba, muncul Tino yang berjalan masuk ke dalam kamar. Kedua mata Irish mengikuti tiap-tiap Tino bergerak, laki-laki itu mendekatinya. "Kak, sudah dibelikan?" tanya Tiana menatap Tino. "Sudah, ada di lantai satu.""Asik...!" Tiana langsung beranjak cepat meninggalkan Tino dan Irish. Sementara Tino hanya berdua dengan Irish di sana, ia memperhatikan istrinya yang masih diam membisu mengabaikannya. Sampai Tino mengulurkan tangannya di hadapan I
"Ini ruam-ruam karena alergi, apa Nona memakan suatu yang memicu alergi?" tanya Dokter Lilia pada Irish. Gadis itu mengangguk takut. "I-iya dok, ta-tapi saya hanya ma-makan se-sedikit." Irish menundukkan kepalanya saat Tino menatapnya tajam. Dokter Lilia mengangguk dan mengambil beberapa obat. "Nona memakan apa? Kacang, cokelat, atau..." "Cokelat, dok." Irish menjawabnya pekan. "Baiklah, jangan diulangi lagi ya, nanti bisa berbahaya. Ini saja rasanya pasti di kulit seperti terbakar, iya kan?" Dokter itu memperhatikan wajah Irish yang was-was. "Tidak papa kok, ini obatnya diminum dan salebnya dioleskan saja." "Terima kasih dok," ucap Tino merangkul pundak Irish. "Sama-sama Tuan." Irish dan Tino keluar dari dalam ruangan dokter, Tino masih merangkul pundak Irish dengan sangat posesif. Ia sendiri tidak tahu kalau ternyata makanan yang ia belikan siang tadi malah membuat istrinya sakit. "Harusnya tadi kau bilang kalau kau alergi!" seru Tino sembari membuka pintu mobil. "A-aku t
Semakin malam udara semakin dingin, Tino terbangun merasakan seseorang memeluknya dengan sangat-sangat erat. Laki-laki itu pada mulanya tidak akan bisa tidur bila seseorang memeluknya, kecuali dia yang memeluk orang tersebut. Decakan terdengar dari bibirnya, ia membuka kedua mata dan hampir mengumpat. Namun pemandangan pertama yang ia lihat ada Irish dengan wajah cantiknya dan masih setia tengkurap dengan satu tangan memeluknya. "Ya ampun," lirih Tino beranjak pelan untuk duduk. Laki-laki itu memperhatikan selimut yang turun dan menampakkan punggung kecil Irish yang putih dalam cahaya remang. Tino menatapnya dari dekat, ia meraih salep di atas nakas dan mengobatinya di beberapa ruam-ruam yang sudah tak separah sebelumnya. "Luka apa saja ini?" gumam lirih Tino melihat punggung Irish yang dipenuhi beberapa luka di sana. "Tidak mungkin dia dicambuk, kan?" Saat jemarinya mengikuti arah luka di kulit putih Irish, tiba-tiba gadis itu bergerak dan sedikit memiringkan tubuhnya. "Astaga
Irish menatap sarapannya, ia merasa tidak tenang setelah kejadian pagi tadi bersama Tino. Laki-laki itu membuat dada Irish berdebar tak karuan hanya dengan melihat wajah tampannya saja. Tiba-tiba tangan Irish meremas kuat sendok garpu di tangannya. 'Pembohong! Dia bilang dia tidak suka denganku, tidak tertarik denganku, tapi... Tapi dia mengecupku berkali-kali sampai aku rasanya hampir mati kehabisan oksigen!' Irish cemberut kesal, memakan makanannya. Ekspresinya mampu dibaca oleh Tino yang tak sengaja menatapnya. "Makan yang benar, setelah itu minum obatmu." Tino berucap. "I-iya." Selesai sarapan, Irish meminum obatnya dan merasakan gatal-gatal di tubuhnya juga ruamnya pun mulai menghilang. Gadis itu kini berada di kamarnya setelah ia menyelesaikan sarapannya. Irish tengah menata beberapa peralatan balet miliknya, dari rok tutu dari kain tile berwarna merah muda, hingga sepatunya yang sedikit usang. Sedangkan Tino memperhatikannya dari sofa, sembari memangku laptopnya. Ia men
Jam makan siang membuat Irish meninggalkan kelas dengan cepat. Apalagi saat salah satu anak didiknya mengatakan kalau ada seseorang yang menunggu Irish di depan. Gadis itu berjalan ke depan, di sana ia melihat Tino yang tengah berdiri menunggunya."Tino..." Irish mendekatinya. Laki-laki itu menoleh, ia menatap Irish yang masih dengan rok balet yang dia pakai. Lucu sekali. "Sudah jam makan siang, ayo pergi makan dulu," ajak Tino. "Ah ya, tu-tunggu sebentar. Barang-barangku be-belum aku kemasi!" seru Irish. Tino mengangguk, ia memperhatikan istrinya yang bergegas lari ke dalam sebuah ruangan. Di sana, Tino diam menatap pemandangan kota dari dalam gedung tersebut. Sampai tiba-tiba saja seorang laki-laki tidak sengaja berjalan di lorong tersebut hingga Tino menoleh dan menatapnya. "Oh, kau suaminya Irish?" tanya laki-laki itu. Tino mengerutkan keningnya, laki-laki yang menyapanya ini, laki-laki yang pagi tadi menyapa Irish. Dia, Edward. "Ya, aku suaminya," jawab Tino. Edward ter