Tiana gemetar memegang gagang pintu di balik tubuhnya saat sosok laki-laki itu berdiri menyapanya setelah dua setengah tahun mereka tidak bertemu. Seulas senyum terukir di bibir Aldrich, ia maju satu langkah dan membungkukkan badannya di hadapan Tiana. "Kau sama sekali tidak berubah, hem?" lirihnya. "Me-memangnya mau berubah jadi apa?!" pekik Alesha dengan wajah masam. "Aku suka dengan diriku yang sekarang, kau mengerti! Permisi!" Alesha melewati Aldrich begitu saja, tidak disangka-sangka kalau gadis itu akan memiliki nyali sekedar untuk mengabaikan seorang Aldrich Hubert. Meskipun kini Tiana merasakan dadanya bergemuruh dengan rasa tak karuan. Gadis itu kembali ke depan, ia langsung duduk di samping Maminya. "Kau tidak bertemu dengan Aldrich?" tanya Tiano menatap Tiana. "Tidak," jawab Tiana, dia berdusta dan menutupi semua rasa aneh yang bergelanyar di tubuhnya. "Syukurlah..." Tiana kembali fokus pada makanannya, sedangkan Papanya sibuk berbincang dengan Papa Aldrich, terny
"Jangan menangis, tidak sakit, Tiana..." Aldrich mengobati kaki dan tangan Tiana yang terluka. Hal itu membuat Aldrich juga merasakan cemas. Pasalnya Tiana menangis dan kesakitan. Luka lecet di pergelangan kakinya dibersihkan oleh Aldrich, memberikan obat yang ia bawa di mobilnya, karena selalu menyediakan. "Sakit tahu, Aldrich..." Tiana meringis dan memukuli lengan Aldrich. "Iya ini sudah pelan, Tiana. Tidak papa, jangan nangis." Laki-laki itu menatap wajah Tiana yang masam. Ingin sekali dia tertawa, namun Tiana pasti akan memakinya dengan kesal. Situasi ini membuat ia merasa senang bisa bersama Tiana, namun setengahnya lagi juga membuat Aldrich merasa sedih, gadis itu asing padanya. "Sudah," ucap Aldrich memasangkan plaster di kaki Tiana. "Tolong telefonkan Tino dan Tiano, suruh mereka menjemput Tiana di sini," pinta gadis cantik itu. "Biar aku yang mengantarkanmu pulang." "Aaaa... Tidak mau! Kalau begitu carikan taksi saja!" pekik Tiana cemberut. Dia tidak sadar dengan po
Pagi ini sesuai dengan janjinya kalau Tiano mendatangi sebuah tempat di mana ia membuat janji dengan Aldrich semalam. Di sebuah cafe, di sana Aldrich pun juga sudah menunggunya. Laki-laki dengan balutan tuxedo hitam itu memperhatikan Tiano yang masuk ke dalam tempat itu. "Hai, bagaimana kabarmu?!" Aldrich bangkit dari duduknya dan ia langsung berjabat tangan dengan Tiano. "Baik, lama sekali kita tidak bertemu heh!" Tiano tersenyum seraya duduk di hadapan Aldrich. Mereka memesan sebuah kopi, dan mengobrolkan tentang karier masing-masing, sebelum Aldrich tak sabar ingin bertanya apa yang membuat Tiano mengajaknya bertemu. Seperti yang semua orang tahu, termasuk Tiano kalau Aldrich bukanlah orang yang mudah diajak basa-basi."Apa ada masalah dengan Tiana?" tanya Aldrich menatap Tiano lekat-lekat. "Ya, aku hanya ingin bertanya sedikit saja denganmu." "Apa?" Tiano bingung ingin bertanya dari mana pada rekan sekaligus orang yang pernah seperti saudara dengannya ini. "Apa kau sunggu
"Hari ini Sarah ingin mengajakmu fitting baju pengantin, Al." Suara Emma membuka pintu kamar Aldrich, wanita itu menatap putranya yang kini duduk di sofa sembari membaca untuk berkali-kali semua surat milik Tiana. "Aldrich," panggil Emma lagi, apa itu? Apa yang kau baca?" Emma mendekat dan wanita itu bertemu tatap dengan sang putra. Aldrich menyergah napasnya berat. "Aku tidak bisa melanjutkan pertunanganku dengan Sarah, Ma," ujar Aldrich. "Apa maksudmu hah?! Jangan aneh-aneh, Al!" seru Emma seraya menyahut kertas di tangan Aldrich. Wanita itu membacanya, semuanya. Satu persatu dan ia menatap Aldrich dengan tatapan bingung. Putranya pun hanya diam dengan wajah datar penuh kekecewa. Sebuah kebohongan yang tertutup dengan rapi dan bersih seperti sesuatu yang suci, tersembunyi dan seolah sampai kapanpun tidak akan bisa terbongkar. "Al, i-ini milik Tiana?" tanya Emma menunjuk kertas di tangannya. "Heem. Tiano yang memberikan ini padaku." Aldrich beranjak dari duduknya dan menatap
"Apa yang kau lakukan dengan calon suamiku, hah?!" Sarah berteriak hendak menyerang Tiana. Namun Aldrich lebih dulu berdiri di hadapan Tiana dan memberikan tatapan tajam pada Sarah. Keduanya diselimuti amarah yang hebat, Sarah dan Aldrich begitu emosi satu sama lain. Situasi ini tidak memungkinkan, semua orang menatap mereka dengan tatapan bingung. "Mau apa kau, hah?! Kenapa kau tidak pernah sadar siapa dirimu di dalam hidupku," desis Aldrich pada Sarah. Gadis itu berkaca-kaca."Aku... Aku ini calon istrimu Al!" "Itu bagimu, tapi tidak bagiku." Dengan penuh penekanan Aldrich berucap. "Apa kau pernah mendengar kalau aku menyebutmu sebagai calon istriku?!" "Aldrich..." Sarah seperti orang yang paling tersakiti di sana. Dia kembali menatap Tiana. Tiana yang terdiam antara takut dan sekujur tubuhnya menjadi sangat gemetar hebat dengan pertengkaran mereka yang ditonton banyak orang. "Sa-Sarah, jangan salah paham. Aku tadi hanya-""Apa?!" teriak Sarah menuding wajah Tiana. "Turunk
Sore ini tidak biasanya kedua orang tua Aldrich datang ke rumah Sebastian. Momen ini seperti Dejavu saat si kembar masih anak-anak. Tiana pun tidak mengerti dengan kedatangan mereka, hingga dia memutuskan untuk bersembunyi di dalam kamarnya dan tidak mau keluar sama sekali. "Tiana di mana? Kenapa tidak kelihatan sama sekali?" tanya Emma menatap Shela. "Iya. Ke mana anak itu?" gumam Shela menoleh ke lantai atas. Mau tidak mau kini Shela berjalan naik ke lantai dua dan mencari Tiana di dalam kamarnya. Shela mengetuk pintu kamar sang putri. Beberapa kali meskipun tidak ada jawaban, mungkin putrinya itu takut kalau ada masalah lagi antara keluarga Morgan dan keluarga Hubert."Sayang, Tiana... Buka pintunya dulu, nak," panggil Shela mengetuk pintu kamar sang putri. "Iya Mami, sebentar!" Pintu kamar itu terbuka, muncullah Tiana yang kini memeluk boneka besarnya dan menatap Shela penuh tanda tanya. "Ada apa, Mi?" tanya gadis itu bingung. Shela tersenyum manis. "Ayo Sayang, ada Tante
Makan malam berdua dengan Tiana membuat Aldrich merasakan malamnya kini jauh berbeda. Apalagi gadis itu lebih banyak bercerita, tersenyum dan menceritakan tentang kehidupannya selama di Prancis. Aldrich memperhatikan Tiana dalam-dalam. Ada sesuatu pertanyaan yang terbesit di hatinya. "Siapa laki-laki yang waktu itu bersamamu, Sayang? Dia bukan kekasihmu, kan?" tanya Aldrich menatap Tiana yang tengah memakan daging panggangnya. "Legolas yang kau maksud?" tanya Tiana tersenyum tipis. "Dia adalah pengawal yang diberikan Kakek untuk menjagaku. Aku tidak terlalu tahu tentang seluk-beluk Prancis, jadi Kakek memberikan aku seorang bodyguard. Dia bernama Legolas." "Dia yang mengajakmu pergi ke Jerman setelah awalanya kau pikir aku menikah dengan Sarah, bukan? Legolas, Legolas itu!" Tiana menggigit ujung sendoknya dan menatap Aldrich sebelum dia cemberut. Hal itu membuat Aldrich terkekeh karena ekspresi tidak senangnya Tiana akibat dia tahu kalau Aldrich membaca semua surat-surat rahasia
"Apa?! Aldrich sakit?!" Suara pekikan itu berasal dari Tiana, gadis yang kini terbaring di atas ranjang kamarnya. Tiana terkejut saat kekasihnya pagi hari menghubunginya dan mengatakan kalau dia sedang sakit. "Ya ampun... Kalau begitu aku ke sana!""Jangan berangkat sendiri ya, Sayang. Maaf tidak bisa menjemputmu," ujar Aldrich dari balik panggilan itu. "Iya, iya, sekarang matikan telfonnya!" pekik Tiana panik. Gadis itu langsung beranjak dari atas ranjang. Tiana membuka lemari pakaiannya dan memilih baju yang tepat. Tiana tidak bisa mendengar seseorang yang dia sayangi tengah sakit, gadis itu akan merasa cemas dan panik berlebihan. "Bagaimana bisa sakit, kemarin denganku juga masih biasa-biasa saja. Dasar Aldrich!" omel Tiana seraya masuk ke dalam kamar mandi. Gadis itu bersiap untuk beberapa menit, sebenarnya hari ini Tiana ada janji dengan Midi dan Rosse untuk menyiapkan dekorasi baru di beberapa kedainya, namun mungkin akan di undur sampai besok. Tiana berjalan turun ke l