Hari Rabu pagi Tiana sudah pulang dari rumah sakit. Gadis itu kini merasa senang karena Maminya akan menetap di Prancis selama beberapa hari sampai kondisi Tiana benar-benar pulih. Gadis itu juga tidak boleh melakukan apapun untuk sementara waktu. "Kalau sudah di rumah, jangan melakukan apapun. Diam saja di dalam kamar, ngerti!" tegas Tino yang kini menggendong Tiana. "Iya, iya... Kak Tino tidak capek ya, dari tadi marahin Tiana terus," protes gadis itu cemberut. "Ya lagian, yang sakit kepalanya, jalan saja tidak mau! Ini kaki genap dua, panjang pula, tapi tidak berguna, potong aja sekalian!" seru Tino. Tiana menoleh ke belakang. "Pi, nakal nih..." "Sudah, sana naik ke atas dengan Kakakmu," ujar Sebastian. Tino memasang wajah jahil dan menjulurkan lidahnya pada Tiana. Dia tahu Tiana berharap Tino akan dimarahi oleh Sebastian meskipun nyatanya tidak. Mereka berdua berjalan masuk ke dalam kamar, Tiana meletakkan dagunya di pundak Tino. "Kak Tino..." "Emm, apa lagi?" seru Tino
Tiana sedang memilih bunga tulip di sebuah toko bunga, namun gadis itu menoleh ke belakang saat dia merasa ada yang tengah memperhatikannya. "Ada apa, Nona?" tanya Legolas saat Tiana memperhatikan ke belakang terus menerus. "Seperti ada yang memperhatikanku," jawab Tiana langsung memeluk lengan Legolas. Laki-laki itu menoleh ke belakang, dia merangkul pundak Tiana. "Kita gegas pulang saja, Nona. Mungkin hanya firasat Nona Tiana saja," ujar Legolas menatap wajah resah Tiana. Gadis cantik itu menganggukkan kepalanya. "Iya. Langsung pulang saja, perasaanku juga mendadak tidak enak." Legolas segera membayar bunga tulip yang Tiana beli, mereka pun bergegas pergi dari sana dan segera pulang. Tiana tidak tahu siapa yang tengah memperhatikannya, namun firasatnya tidak pernah salah, ada seseorang yang tengah melihatnya tadi. **'Tiana, bersama seorang laki-laki? Bukan Tino ataupun Tiano, lalu siapa laki-laki itu? Secepat itu dia melupakan aku?! Mengapa... Mengapa Tiana?' Aldrich mengu
Saat jam kampus sudah habis, Tiana masih menunggu Legolas bersama dengan dua temannya. Mereka berdua duduk di depan sebuah halte dan nampak bercanda tawa bersama. "Tiana, bagi dong nomor telfon bodyguard-mu itu... Jangan pelit-pelit, katanya kita ini teman!" seru Anika merangkul Tiana. "Kalian ini! Kan Tiana sudah berkali-kali bilang kalau Legolas itu punya kekasih! Dia punya pacar yang jauh lebih dewasa dari kita!" balas Tiana pada mereka semua. "Huh, kebiasaan sekali Tiana. Nomor kembaranmu deh kalau begitu!" sahut Leana. "Hehh, kok malah melunjak sih! Kalau itu jelas tidak boleh!" seru Tiana memukuli lengan sahabatnya hingga tawa tercipta di antara mereka semua. Sampai akhirnya sebuah mobil berwarna putih milik Jannes datang. Leana dan Anika pun berpamitan untuk pulang lebih dulu pada Tiana. "Kita duluan ya, Tiana... Hati-hati!" pekik Jannes. Tiana mengangguk. "Iya, jangan khawatir." Mobil mereka pun berjalan pergi dan Tiana sendirian di sana. Cuaca memasuki akhir tahun jug
"Hahh, kenapa orang itu mengikutiku terus sih?! Siapa dia dan apa maunya?!" Tiana berlari di tengah hujan, dia mencari Legolas dan tidak berhasil menemukannya. "Legolas... Legolas di mana?!" Tiana berdiri di tengah jalanan yang sepi, di sebuah lorong gang. "Bu-bukannya tadi penjualnya ada di sekitar sini?! Kenapa sekarang tidak ada?!" Rasa bingung dan takut menyerang Tiana bersamaan, air hujan membasahi wajahnya, pandangannya buram karena kaca mata yang dia pakai kini basah. Tiana menoleh ke kanan dan ke kiri, dia melihat siluet seorang laki-laki yang sejak tadi mengikutinya. Begitu Tiana hendak berlari, dia tergelincir batu paving dan terjatuh. Hujan semakin deras tak terkira saat ini. Kaca mata bening itu jatuh, namun Tiana diam dan tidak berusaha mencarinya. Ia menundukkan kepalanya dan pikirannya seolah kosong. Hanya ada satu nama, Legolas, di mana dia kini?Suara langkah kaki mendekati Tiana. "Si-siapa..." Tiana mendongak, tapi pandangannya yang buruk membuat ia merasa perc
Angin berhembus dingin, Tiana takut untuk sekedar pergi ke kampusnya pagi ini. Bayangan bagaimana bila tiba-tiba saja Aldrich datang dan muncul di hadapannya, Tiana tidak siap untuk hal itu. "Nona Tiana," sapa Legolas mendekati Tiana yang melamun duduk di teras. "Ya?" jawab Tiana dengan ekspresi wajah bingung. "Nona Tiana tidak pergi bersiap untuk kuliah hari ini?" tanya laki-laki itu memperhatikan wajah pucat Tiana. "Kepalaku pusing, sepertinya karena aku kehujanan kemarin, Legolas," jawab Tiana tersenyum memamerkan gigi putihnya. Senyuman tipis terukir di bibir Legolas. Dia menarik satu kursi kayu dan langsung duduk di samping Tiana. Mereka berdua mengobrol hingga seorang pelayan muncul membawakan teko berisi teh. "Apa Nona masih memikirkan Aldrich?" tanya Legolas menebak dan ia pun sesungguhnya sudah tahu jawabannya. "Kenapa Nona mengabaikan dia kalau Nona masih mencintainya?" "Keluarganya tidak merestui, aku itu penyakitan," ujar Tiana menundukkan kepalanya. "Dia tidak pa
Dua Tahun Kemudian..."Tidak ada yang berubah, semuanya tetap sama." Tiana, gadis itu menatap sekitar dari jendela mobil. Dia kembali ke Inggris setelah dua setengah tahun tinggal di Prancis. Kini gadis itu menjadi sosok gadis yang sangat cantik berkaca mata, rambutnya panjang, tubuhnya kecil ramping, kulitnya putih, dia seperti boneka hidup. "Pak, tolong berhentikan saya di halte depan ya, Pak. Saya mau meminta jemput kembaran saya," ujar Tiana pada sang sopir taksi. "Baik Nona." Mobil taksi itu berhenti tepat di sebuah halte. Tiana pun langsung turun, dia membawa kopernya pink miliknya dan duduk di bawah pohon di musim semi pertama di Inggris. Angin pagi berhembus dengan sejuk dan segar menyapa Tiana. Gadis menatap anak-anak kecil pergi bersekolah. 'Rasanya seperti lama sekali aku tidak pulang. Padahal hanya beberapa tahun saja, kan? Kangen Mami, kangen Papi, kangen Kakak kembar...' Tiana mengeluarkan ponselnya, ia menghubungi Tino saat itu juga. "Halo, Kak Tino di mana?" t
"Cepat siap-siap, katanya ingin ikut menjemput Tiano!" Seruan keras itu terdengar dari Tino, dia yang kini menunggu Tiana di lantai satu. Dan akhirnya Tiana pun muncul tak lama kemudian. Gadis itu memakai dress floral berwarna kuning cerah, rambutnya diikat tinggi dan memakai kaca mata berbingkai emas. Dia, sangat cantik. "Sudah, ayo Mi, Pi," ajak Tiana pada orang tuanya. "Tiana satu mobil sama Tino ya," bujuk Sebastian. "Iya Pi." Gadis itu langsung menoleh pada Tino yang kini membuang muka. Sontak ia menarik lengan sang Kakak. "Sama adik tidak boleh begitu! Dosa!" seru Tiana. "Sok tahu banget bocah, pakai dosa-dosaan segala!" Tino menjitak kening Tiana. Gadis itu mendorong-dorong punggung Tino seketika. Memang tidak seru bagi mereka kalau tidak ribut. Mau tidak mau akhirnya Tiana satu mobil dengan Tino. Di dalam mobil itu, Tiana sesekali mengecek ponselnya. Dia banyak mengirimkan pesan pada Legolas kalau dirinya baik-baik saja. "Dia tidak bisa tenang sedikit atau bagaimana
Tiana gemetar memegang gagang pintu di balik tubuhnya saat sosok laki-laki itu berdiri menyapanya setelah dua setengah tahun mereka tidak bertemu. Seulas senyum terukir di bibir Aldrich, ia maju satu langkah dan membungkukkan badannya di hadapan Tiana. "Kau sama sekali tidak berubah, hem?" lirihnya. "Me-memangnya mau berubah jadi apa?!" pekik Alesha dengan wajah masam. "Aku suka dengan diriku yang sekarang, kau mengerti! Permisi!" Alesha melewati Aldrich begitu saja, tidak disangka-sangka kalau gadis itu akan memiliki nyali sekedar untuk mengabaikan seorang Aldrich Hubert. Meskipun kini Tiana merasakan dadanya bergemuruh dengan rasa tak karuan. Gadis itu kembali ke depan, ia langsung duduk di samping Maminya. "Kau tidak bertemu dengan Aldrich?" tanya Tiano menatap Tiana. "Tidak," jawab Tiana, dia berdusta dan menutupi semua rasa aneh yang bergelanyar di tubuhnya. "Syukurlah..." Tiana kembali fokus pada makanannya, sedangkan Papanya sibuk berbincang dengan Papa Aldrich, terny